Mohon tunggu...
Priyanto Sukandar
Priyanto Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Taksi Online dan Equal Playing Field

31 Maret 2016   21:05 Diperbarui: 31 Maret 2016   21:10 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan Maret (14/3) yang lalu kegaduhan di sektor transportasi terjadi lagi. Kegaduhan ini merupakan kali ke dua di era Jokowi JK. Para pengemudi angkutan umum yang didominasi oleh supir taksi berujuk rasa. Mereka mendesak pemerintah agar mau menutup layanan taksi on line atau ride sharing. Para pengemudi taksi tersebut menuntut agar pemerintah mau segera menutup layanan aplikasi yang saat ini tengah digandrungi masyarkat ibukota tersebut. Mereka melakukan unjuk rasa di depan kantor Balai Kota DKI dan Kementrian Komunikasi dan Informatika.

Pemerintah melalui Kementrian Perhubungan menggeluarkan surat rekomendasi agar Kementrian Komunikasi dan Informatika agar segera menutup layanan aplikasi tersebut. Namun Menteri Kementrian Komunikasi dan Informatika, Rudiantara engan memenuhi permintaan teman sejawatnya di cabinet tersebut. Justru Rudiantara ingin mencarikan solusi terbaik agar masyarakat yang selama ini mendapatkan manfaat positif dari layanan ride sharing dapat diakomodir. Namun tetap dalam koridor aturan dan perundang-undangannya yang ada.

Solusi tersebut adalah para pengembang aplikasi ride sharing ini diminta agar membuat badan hukum di Indonesia. Selain itu para pengemudi yang ingin bergabung dalam layanan ride sharing diminta untuk membentuk badan hukum berupa koperasi atau perusahaan rental.

Meskipun pemerintah sudah menetapkan bahwa layanan ride sharing ini tak akan ditutup dan meminta para pengembang aplikasi ini untuk membuat badan hukum di Indoesia, tetap saja para pengusaha taksi dengan menggunakan tameng pengemudi, berencana mengadakan aksi demo pada Senin (21/3) mendatang.

Para pengusaha taksi tersebut tetap ngotot agar layanan aplikasi ride sharing ini ditutup selama-lamanya dari Indonesia. Berbagai upaya dan cara mereka tempuh agar aplikasi taksi on line ini. Mereka tak segan-segan merangkul oknum Kementrian Perhubungan dan oknum Organda untuk memuluskan rencana mereka.

Tentu saja wajar mereka menekan pemerintah dan menghalalkan segala cara agar layanan ride sharing ini ditutup. Alasannya pangsa pasar mereka selama ini tergerus dengan adanya layanan ride sharing ini. Namun demikian pemerintah juga tak bisa menutup mata terhadap dinamika dan perkembangan transportasi berbasis aplikasi ini yang jauh lebih baik serta memiliki harga yang lebih murah ketimbang taksi konvensional.

Pada satu kesempatan, Direktur Utama PT Blue Bird Tbk Purnomo Prawiro mengakui perkembangan moda transportasi darat berbasis aplikasi yang sangat marak belakangan ini merupakan suatu keniscayaan. Menurutnya, Blue Bird siap bertarung dengan penyedia jasa aplikasi ride sharing. Namun Purnomo meminta agar pemerintah menyediakan arena berkompetisi yang setara antara perusahaan taksi konvensional dengan perusahaan transportasi berbasis aplikasi. Tujunnya agar tariff Blue Bird dan ride sharing dapat setara sehingga mereka dapat berkompetisi.

Tentu saja permintaan pentolan Blue Bird ini bisa dimaklumi. Namun bagaimanapun ketika pemerintah telah memberikan equal playing field, tetap saja Blue Bird tetap saja akan mendorong agar pengemudinya untuk terus demo. Ini dikarenakan mereka ingin tetap menjadi pemain utama alias memonopoli bisnis taksi di Indonesia.

Sebenarnya ketika pemerintah sudah memerintahkan pengembang aplikasi ride sharing untuk membuat badan hukum di Indonesia dan mematuhi segala perundang-undangan yang berlaku, regulator telah menciptakan equal playing field. Lalu equal playing field apa yang diminta lagi oleh pemain utama taksi tersebut?

Ketika Blue Bird meminta equal playing field kepada pengebang aplikasi ride sharing serta mitra drivernya, apakah mereka tak sadar berapa besar keuntungan yang selama ini diberikan pemerintah kepada angkutan umum?

Selama Blue Bird memakai plat kuning alias mengantungi ijin angkutan umum, mereka dibebaskan dari pembayaran PPnBM kendaraan bermotor. Selain itu pengusaha angkutan umum tak dibebani dengan pajak progresif yang kerap dikenakan bagi pemilik kendaraan bermotor pribadi atau plat hitam.


Jika Blue Bird benar-benar menginginkan equal playing field yang sesungguhnya, beranikah mereka membayar pajak kendaraan bermotor sesuai dengan aturan kepemilikan mobil pribadi yang dikenakan oleh mitra penyedia aplikasi ride sharing.

Meskipun mitra penggemudi taksi on line ini tak meminta pengurangan PPnBM kendaraan bermotor kepada pemerintah, namun tetap saja mereka bisa memberikan tariff lebih kompetitif serta pelayanan yang jauh lebih bagus ketimbang taksi konvensional.

Disinyalir masih tingginya tariff taksi konvensional disebabkan mereka tak efesien dalam menggelola armadanya. Seharusnya jika mereka efesien, merek masih memiliki ruang untuk menurunkan tarifnya. Sehingga mereka bisa bersaing dengan layanan taksi on line.

Sekadar mengingatkan saja. Jika di awal pemerintahan Jokowi JK, Blue Bird dan Organda mendesak menaikkan pemerintah untuk menaikan tariff angkutan umum di Indonesia. Alasannya dikarenakan adanya kenaikkan harga BBM yang diberlakukan di awal pemerintahan Jokowi JK. Alhasil pemerintah menetapkan kenaikkan tariff angkutan umum. Sehingga untuk taksi yang dahulu ada dua tariff (tariff atas dan tariff bawah) sekarang hanya ada satu tarif saja.

Namun kini ketika harga BBM sudah turun dan akan kembali turun lagi di bulan April mendatang, tariff taksi dan angkutan umum yang ada di Indonesia tak beranjak berkurang.

Jika tariff taksi tak turun namun memberikan dampak positif bagi pendapatan driver, itu sah-sah saja. Namun selama ini harga BBM yang turun dan tariff taksi yang tetap tinggi, tak membuat pengemudi taksi semakin sejahtera. Justru menurut penuturan beberapa pengemudi, pengusaha taksi melakukan berbagai ‘manuver’ agar pendapatan supir berkurang.

Ketika target pertama tercapai dan supir diminta untuk mencapai target kedua, justru pendapatan supir berkurang. Menurut penuturan sang penggemudi, turunnya pendapatan tersebut dikarenakan management memangkas insentif kepada supir untuk target yang lebih tinggi lagi. Itu yang membuat keenganan supir taksi untuk mendapatkan target yang lebih tinggi lagi.

Melihat kondisi seperti ini seharunya pemerintah, pengemudi taksi dan pengusaha taksi melakukan introspeksi dengan keberadaanya taksi on line. Jika memang belum ada UU yang mengatur mengenai taksi on line seharunya Kementrian Perhubungan harus membuat peraturan menteri atau aturan lainnya untuk mengakomodir layanan taksi berbasis aplikasi ini. Jangan sampai akibat tak becusnya salahsatu kementrian dalam bekerja, menimbulkan permasalahan di kementrian lainnya atau membuat gaduh di masyarakat.

Supir taksi juga harus lebih cerdas lagi jika ingin berdemo. Apakah demo tersebut membawa manfaat bagi kesejahteraan mereka atau tidak. Jangan sampai supir menjadi kambing hitam atau bemper bagi kepentingan perusahaan tempat mereka bekerja.

Selain itu pengusaha taksi serta organda juga harus bisa mengkaji kembali aturan tariff yang mereka terapkan selama ini. Jangan ‘merengek-rengek’ kepada pemerintah ketika harga BBM naik. Namun ketika harga BBM turun, para pengusaha dan organda diam seribu bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun