Jika Blue Bird benar-benar menginginkan equal playing field yang sesungguhnya, beranikah mereka membayar pajak kendaraan bermotor sesuai dengan aturan kepemilikan mobil pribadi yang dikenakan oleh mitra penyedia aplikasi ride sharing.
Meskipun mitra penggemudi taksi on line ini tak meminta pengurangan PPnBM kendaraan bermotor kepada pemerintah, namun tetap saja mereka bisa memberikan tariff lebih kompetitif serta pelayanan yang jauh lebih bagus ketimbang taksi konvensional.
Disinyalir masih tingginya tariff taksi konvensional disebabkan mereka tak efesien dalam menggelola armadanya. Seharusnya jika mereka efesien, merek masih memiliki ruang untuk menurunkan tarifnya. Sehingga mereka bisa bersaing dengan layanan taksi on line.
Sekadar mengingatkan saja. Jika di awal pemerintahan Jokowi JK, Blue Bird dan Organda mendesak menaikkan pemerintah untuk menaikan tariff angkutan umum di Indonesia. Alasannya dikarenakan adanya kenaikkan harga BBM yang diberlakukan di awal pemerintahan Jokowi JK. Alhasil pemerintah menetapkan kenaikkan tariff angkutan umum. Sehingga untuk taksi yang dahulu ada dua tariff (tariff atas dan tariff bawah) sekarang hanya ada satu tarif saja.
Namun kini ketika harga BBM sudah turun dan akan kembali turun lagi di bulan April mendatang, tariff taksi dan angkutan umum yang ada di Indonesia tak beranjak berkurang.
Jika tariff taksi tak turun namun memberikan dampak positif bagi pendapatan driver, itu sah-sah saja. Namun selama ini harga BBM yang turun dan tariff taksi yang tetap tinggi, tak membuat pengemudi taksi semakin sejahtera. Justru menurut penuturan beberapa pengemudi, pengusaha taksi melakukan berbagai ‘manuver’ agar pendapatan supir berkurang.
Ketika target pertama tercapai dan supir diminta untuk mencapai target kedua, justru pendapatan supir berkurang. Menurut penuturan sang penggemudi, turunnya pendapatan tersebut dikarenakan management memangkas insentif kepada supir untuk target yang lebih tinggi lagi. Itu yang membuat keenganan supir taksi untuk mendapatkan target yang lebih tinggi lagi.
Melihat kondisi seperti ini seharunya pemerintah, pengemudi taksi dan pengusaha taksi melakukan introspeksi dengan keberadaanya taksi on line. Jika memang belum ada UU yang mengatur mengenai taksi on line seharunya Kementrian Perhubungan harus membuat peraturan menteri atau aturan lainnya untuk mengakomodir layanan taksi berbasis aplikasi ini. Jangan sampai akibat tak becusnya salahsatu kementrian dalam bekerja, menimbulkan permasalahan di kementrian lainnya atau membuat gaduh di masyarakat.
Supir taksi juga harus lebih cerdas lagi jika ingin berdemo. Apakah demo tersebut membawa manfaat bagi kesejahteraan mereka atau tidak. Jangan sampai supir menjadi kambing hitam atau bemper bagi kepentingan perusahaan tempat mereka bekerja.
Selain itu pengusaha taksi serta organda juga harus bisa mengkaji kembali aturan tariff yang mereka terapkan selama ini. Jangan ‘merengek-rengek’ kepada pemerintah ketika harga BBM naik. Namun ketika harga BBM turun, para pengusaha dan organda diam seribu bahasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI