Mohon tunggu...
P Riswanto Halawa
P Riswanto Halawa Mohon Tunggu... lainnya -

Manusia berusaha menuju paham. Ia tidak puas dengan hanya menunjukkan "ini" atau "itu". Ia akan bertanya, "Apa itu?". Manusia menuju paham dengan melihat suatu kesatuan dalam banyak hal yang secara individual berlainan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Kematian Allah” untuk Kehendak Berkuasa

21 September 2014   00:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:06 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nietzsche (1844-1900) adalah seorang filsuf yangtidak pernah menguraikan filsafatnya secara sistematis sehingga sulit memahami perkembangan pikirannya. Ia dipengaruhi oleh komponis Jerman Richard Wagner(1813-1883), yang melukiskan tragedi peperangan dalam musiknya. Ia juga dipengaruhi oleh Schopenhauer yang menekankan pentingnya kehendak. Filsafatnya bersifat ateistis. Karya utamanya ialah Also Sprach Zarathusta (Demikianlah Sabda Zarathusta).

Dalam ajarannya, Nietsche menekankan “kehendak untuk berkuasa”. Menurut Nietsche, dalam tingkah laku manusia (dan kejadian alam semesta), satu-satunya faktor yang menentukan adalah daya pendorong hidup atau hawa nafsu yang vital. Nafsu-nafsu yang vital itu bisa bersifat jasmani ataupun rohani. Orang yang memberanikan diri untuk hidup seturut hawa nafsunya mengembangkan suatu sikap “moral tuan”. Sebaliknya manusia yang hidup seturut “moral budak” tidak memberanikan diri untuk melampiaskan hawa nafsu tetapi “memperalat roh yang menaklukan hawa nafsu”.

Orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya suatu saat akan mencapai suatu tingkat Manusia Atas, suatu tingkatan di mana manusia mengetahui bahwa “Allah sudah mati”, bahwa tidak ada sesuatu yang “melampaui” dunia ini. Manusia Atas mengakui dunia ini seratus persen. Ia menerima segala konsekuensi kodrat dirinya bahwa ia makhluk yang berkehendak untuk berkuasa. Manusia Atas adalah tujuan dan manusia biasa sekarang ini hanya merupakan jembatan ke arah tujuan itu. Manusia biasa hanyalah semacam tali yang di satu pihak dikaitkan kepada binatang dan di pihak lain dikaitkan kepada Manusia Atas. Manusiai biasa bukan tujuan pada dirinya sendiri.

Ajaran Nietsche mengenai kematian Allah berpuncak pada kritiknya atas agama Kristen. Dari antara para filsuf modern, ia termasuk seorang pemikir yang paling ekstrim mengajarkan dan menghayati ateisme. Dalam sebuah perumpamaannya, Nietsche melukiskan dirinya sebagai seorang gila yang mengumumkan dan meramalkan datangnya suatu zaman ateistis. Kegilaan di sini ialah kehilangan Allah, dan orang-orang zaman itu tidak memahaminya sampai datangnya zaman kegilaan universal, yakni penemuan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Allah. Nietsche menyambut datangnya zaman itu sebagai zaman kreativitas dan kemerdekaan, sebab dengan “kematian Allah” terbukalah segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tiada lagi larangan atau perintah dan kita tidak akan lagi menoleh ke dunia transenden (Budi Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 256-282.)

Keadaan manusia tanpa Allah adalah kemerdekaan mutlak. Meskipun demikian, “kematian Allah” itu juga membuat manusia kehilangan arah, sendirian dan kesepian. Sebuah lautan luas dan kosong terbentang di hadapannya. Situasi ini disebutnya dengan istilah “nihilisme’. Nihilisme adalah suatu keadaan tanpa makna, hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang berlaku dalam agama Kristen akibat “kematian Allah” itu. Nietsche meramalkan bahwa keadaan yang demikian di masa depan akan merajalela.

Ajaran Nietsche mengenai kematian Allah (sungguh) didasari oleh keinginannya untuk berkuasa. Kehadiran Allah dipandang sebagai penghalang baginya untuk berbuat secara bebas dan merdeka. Figur Allah yang dipahaminya sama dengan figur Allah yang diajarkan dalam agama Kristen (berbelas kasih, penyayang, perhatian, penolong dsb). Atribut-atribut ini (sungguh) menghalangi kehendaknya untuk berkuasa secara absolut.

Ajaran Nietsche mengenai kematian Allah dapat menjadi cerminan bagi para penguasa (secara umum) dan bagi kita sendiri (secara pribadi) dalam memaknai kekuasaan dalam hubungannya dengan eksistensi Allah. Penguasa yang berjiwa melayani pasti tidak akan mengingkari akan adanya Allah karena figur Allah itu sendiri adalah “Pelayan, Pencinta dan Pemelihara”.(Ps Riswanto Halawa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun