Mohon tunggu...
Rilo PambudiS
Rilo PambudiS Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau. Pengelana yang haus kesuksesan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mensyukuri Nikmat Hujan

12 September 2019   23:29 Diperbarui: 14 September 2019   15:12 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesedihan tampak pada raut wajah 60 orang petani itu. Betapa tidak? Setelah  menunggu sekian lama, mereka harus dihadapkan pada kenyataan gagal panen. Padi-padi yang tadinya hijau nan segar seketika menjadi kuning nan kering. 

Apa sebabnya? Tak lain karena kemarau yang menerpa dalam beberapa bulan terakhir. Alhasil, 25 hektar sawah di Desa Lambadeuk, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar itu tak mendapat asupan air.

"Kondisi tanaman padi kami sudah kering, karena musim kemarau, dan tidak ada sumber air yang dapat dialiri," ucap Razali seraya meratapi nasibnya.

Tak ayal, Pemerintah Aceh diberondong dengan pelbagai pertanyaan dan harapan yang berbalut kekecewaan. Wajar saja, lantaran mereka merugi dengan total ratusan juta rupiah. Parahnya, modal telah tiada untuk kembali menanam padi musim depan.

****

Prolog di atas hanyalah satu di antara banyak kasus yang membuktikan bahwa air sangat berarti. Bahkan, kesejahteraan masyarakat juga dipengaruhi oleh ketersediaan air. Contohnya saja petani di atas. Ada tidaknya air berdampak pada perekonomian mereka.

Mungkin kita bisa bertahan hidup dalam seminggu tanpa makan, tapi tidak halnya tanpa minuman. Sebab, hampir 70% bagian tubuh manusia terdiri dari air. Oleh karena itu, peran air sangat krusial dalam mendukung fungsi kerja organ tubuh secara optimal.

Sebuah studi pakar Biologi kenamaan, R. K. Packer menyebutkan bahwa dalam kondisi cuaca panas, orang dewasa akan kehilangan 1-2 liter keringat apabila tidak minum dalam sehari. Kalau ini terjadi akan mengakibatkan dehidrasi dan lambat laun berdampak pada kegagalan fungsi organ. Inilah bukti bahwa air dan kehidupan adalah dua komponen yang saling interdependen.

Sumber Penghidupan yang Terabaikan

Hujan adalah salah satu sumber ketersediaan air di muka bumi. Meskipun kalau menilik siklusnya, hujan tidak datang tiba-tiba. Asal-muasalnya dari laut, sungai, danau, ataupun rawa. 

Tapi bayangkan kalau sumber-sumber air itu tak bertransformasi menjadi hujan? Bangun pagi harus ke rawa, itupun kalau tak ada buaya. Mau minum harus plesiran ke Danau Toba ternyata nggak cukup dana. Sulit bukan?

Mandi, memasak, mencuci, menyiram tanaman, hingga memadamkan kebakaran adalah wujud pemanfaatan air hujan. Tak perlu itu, hal yang sederhana pun terkadang terjadi akibat adanya hujan. "Guys hujan-hujan gini, enaknya makan bakso nih." Pernah dengar atau mengucapkan? Begitulah nikmatnya hujan. Disadari atau tidak, kehadirannya sering dirindukan.

Namun sayang, meskipun banyak arti bagi kehidupan, air hujan masih jarang digunakan. Hasil lokadata Beritagar.id menyebutkan pada tahun 2016 hanya 2,4% rumah tangga di Indonesia yang menggunakan air hujan untuk minum sehari-hari. Anehnya, persentase itupun menurun grafiknya dibandingkan tahun 2006. 

Sumber: Beritagar.id
Sumber: Beritagar.id

Tidak hanya itu, sebanyak 56% populasi Indonesia yang mendiami Pulau Jawa, cuma 0-10% yang menggunakan air hujan untuk minum. Menjadi ironi, padahal Bappenas RI dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJM 2019 memproyeksikan ketersediaan air di Jawa akan mencapai kelangkaan absolut pada tahun 2040. Artinya, daya dukung air tak lagi dapat memenuhi jumlah kebutuhan masyarakatnya.

Sumber: Bappenas RI
Sumber: Bappenas RI

Saat ini saja sudah banyak masalah yang ditimbulkan akibat kelangkaan air di pulau tersebut. Bagaiman tidak? Ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.200 meter kubik per kapita untuk setiap tahun. Di waktu yang sama, kebutuhan air mencapai 1.600 meter kubik per kapita. Artinya, tiap tahun pun sudah mengalami defisit ketersediaan air. Alhasil, gagal panen hingga kesulitan menemukan air untuk penghidupan adalah efek samping tahunan yang sering muncul dalam berita. 

Sumber: Bappenas RI
Sumber: Bappenas RI

Serba-serbi Tanah Gambut dan Airnya

Terlahir di Pulau Burung-wilayah Indragiri Hilir yang berbatasan dengan Pelalawan dan Kepulauan Riau-yang mayoritas dipenuhi oleh lahan gambut memang senang-senang susah. Senangnya karena tanah ini terkenal subur. 

Saking suburnya, biji-biji tanaman dilemparkan pun bisa tumbuh dengan baik. Setidaknya sudah banyak buah-buahan yang tumbuh sendiri di halaman rumah saya. Bahkan beberapa sudah bisa dinikmati hasilnya.

Lihat berita baru-baru ini di Pekanbaru tentang kebakaran lahan? Begitulah gambaran susahnya tinggal di tanah gambut. Ketika musim kemarau percikan api sekecil apapun bisa berbahaya. 

Ladang garapan keluarga saya juga pernah terkena dampaknya. Tinggal nunggu panen, eh malah ludes kebakaran. Penyebabnya puntung rokok yang dibuang sembarangan. Asap, debu, dan panas adalah teman keseharian selama musim kemarau datang.

Asap kebakaran yang menyelimuti Pekanbaru telah menjangkau Pulau Burung. Sumber: riau1.com
Asap kebakaran yang menyelimuti Pekanbaru telah menjangkau Pulau Burung. Sumber: riau1.com

Soal ketersediaan air, di Pulau Burung memang lebih melimpah. Hal ini juga menjadi karakteristik gambut yang terkenal menyimpan banyak kandungan air. Gali saja satu meter, air sudah mengalir dari sela-sela tanah. Meski demikian, tidak lantas menjadi kebahagiaan.

Menurut penelitian, konsumsi air gambut dapat berdampak pada kesehatan. Pasalnya, karakteristik yang dimiliki tidak sesuai untuk keperluan mendasar sehari-hari. Karakteristik yang paling ketara  adalah bau, rasa, dan warnanya. Contohnya saja di tempat tinggal saya. Warna air pekat dan rasanya asam. Anda tahu bagaimana kalau dedaunan atau zat organik lainnya dibiarkan membusuk dalam tanah? Ya begitulah kira-kira baunya.

Pada dasarnya, air gambut tidak memenuhi standar untuk digunakan dalam beberapa keperluan. Hal ini dapat dipahami bila menilik perbandingan antara ketentuan Permenkes Nomor 32 Tahun 2017 jo. Permenkes Nomor 492 Tahun 2010 dengan beberapa penelitian. Nggak percaya? Simak saja infografis di bawah ini!

kompasiana-5d7a6dfa0d82300682037902.jpg
kompasiana-5d7a6dfa0d82300682037902.jpg
Belum lagi membahas permasalahan di kala musim penghujan datang. Di tambah pula tempat tinggal saya datarannya sangat rendah. Bila curah hujan tinggi, air sungai-kami menyebutnya kanal-akan dengan segera memenuhi areal sekitar. Air sumur pun tak bisa digunakan. Soalnya, genangan air bercampur lumpur akan masuk ke dalam sumur.  Akibatnya, air menjadi kotor dan bau menyengat.

Harus diakui-di tempat saya-air gambut mudah ditemukan. Akan tetapi, tak pula menjadi jaminan layak digunakan. Setidaknya itulah kesaksian atas apa yang saya dan keluarga alami hingga detik ini. Sehingga menjadi dalih untuk menggunakan air hujan.

Menampung Hujan: Kebiasaan Sederhana, Manfaat Luar Biasa

Berbeda dengan Jawa, masayarakat Kabupaten Indragiri Hilir adalah masyarakat yang gemar menggunakan air hujan untuk kehidupan. Rilis Beritagar.id membuktikan, 85,62% rumah tangga di kabupaten ini telah menyadari bahwa air hujan dapat menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan air minum. Bangganya, keluarga saya adalah bagian dari 85,62% tersebut.

Kesadaran itu diwujudkan dalam sebuah kebiasaan sederhana. Ya, sesederhana membuka empat tong besar ketika hujan turun untuk menampungnya. Setahu saya, kebiasaan ini telah dilakukan sejak awal transmigrasi ke Pulau Burung pada tahun 1996. Menariknya, usia tong penampung itu sama dengan lamanya kami hidup di daerah trans ini.

INFOGRAFIS
INFOGRAFIS
Sebagai orang awam, alasan kami tak muluk-muluk, yang penting kebutuhan air untuk minum dan memasak dapat terpenuhi hingga musim hujan datang lagi. 

Pernah suatu waktu, ketika air hujan habis, kami memasak menggunakan air gambut. Alhasil, nasi yang harusnya warna putih menjadi merah kecokelatan. Rasanya pun tak lagi gurih. Gara-gara itu, kami membeli beberapa galon ukuran 19 liter untuk penampung tambahan. 

Sedianya, hal ini juga dilatar-belakangi lokasi depot air yang jauh dari rumah. Tepatnya, hanya tersedia di kecamatan. Jaraknya memang cuma 60-70km. 

Masalahnya, jalan yang ada masih dalam bentuk tanah dan hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Untuk sampai ke kecamatan memakan waktu rata-rata 2 jam. Ada alternatif lain, menggunakaan kendaraan air (Pompong). 

Problemanya, waktu tempuh lebih lama. Paling cepat untuk sampai itu 4 jam. Artinya, untuk pulang-pergi butuh waktu 8 jam. Begitulah sulitnya kami memperoleh air layak konsumsi. 

Memang harganya terjangkau yaitu Rp20.000. Tapi, tak ada salahnya kita coba untuk hitung-hitungan. Seperti diketahui, rata-rata kebutuhan manusia dewasa atas air mineral per harinya adalah 2 liter. 

Anggota keluarga saya ada 5 orang, semua telah masuk kategori dewasa. Satu galon besar maksimal isinya 19 liter. Sehingga, jangka waktu habisnya air galon adalah 19 : (5x2)  = 1,9 hari. Kita bulatkan saja menjadi 2 hari. 

Dengan begitu, keluarga saya harus membeli satu galon dalam dua hari. Maka, selama sebulan dibutuhkan 15 galon air. Kalau dikalikan harga, berarti tiap bulannya akan mengeluarkan uang sebesar Rp300.000. Ini baru untuk minum, bagaimana kalau untuk memasak dan keperluan lainnya? Dari sini, kita dapat menilai, memenuhi kebutuhan air dengan menampung hujan lebih hemat berkali lipat.

Manfaat lain yang kami terima dari kebiasaan menampung hujan adalah pahala. Sering kali-karena kini jumlah tabungan air hujan melebihi kebutuhan-kami juga berbagi dengan tetangga untuk keperluannya yang bersifat primer. Betapa nikmatnya. Hanya dengan air, kita bisa menebar kebaikan kepada sesama. Bukan itu saja, juga dapat mempererat tali silahturahmi dengan tetangga.

Kami juga selalu menyimpan air hujan untuk membilas pakaian, termasuk seragam sekolah. Inilah salah satu manfaat langsung yang saya rasakan. Alasannya, bila menggunakan air sumur mungkin nilai kebersihan saya di sekolah tak akan pernah bagus. 

Pasalnya, mencuci pakaian putih hanya menggunakan air gambut akan membuatnya bertambah warna. Belang sana, belang sini tak beraturan, yang jelas tak seindah baju sablonan atau Batik Pekalongan. 

Memang terkesan manfaat yang sangat sederhana. Tapi di balik itu, menjadi justifikasi bahwa menampung air hujan juga mempunyai manfaat luar biasa. 

Misalnya saja, dengan memikirkan bagaimana jika selama 23 tahun ini keluarga saya tidak melakukan kebiasaan tersebut? Atas hal ini pula muncul sebuah pertanyaan. Jika untuk hal sederhana saja, hujan yang ditampung telah menunjukkan manfaatnya, mengapa masih banyak yang tak menyadari dan melakukannya?

Bagi saya, hujan adalah rahmat. Menabungnya adalah wujud syukur atas nikmat. Andai saja, menabung air hujan menjadi kebiasaan semua orang, entah itu menggunakan bejana, tong, embung, atau harus waduk sekalipun. 

Bukan tak mungkin, prediksi Bappenas soal kelangkaan air dapat terbantahkan. Pun para petani, bisa saja tak alami kekecewaan. Lebih utama dapat mempersiapkan kemungkinan tak terduga. Semua tinggal bagaimana kita menentukan pilihan. Ya, pilihan untuk keberlanjutan tersedianya air selama 10 tahun bahkan 100 tahun ke depan.

Referensi:

beritagar.id

cnbcindonesia.com

media.neliti.com

media.neliti.com/media

Permenkes Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.

Permenkes Nomor 32 Tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, dan Pemandian Umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun