Mengulas tentang Raja Ali Haji, dengan segera kita akan diarahkan pada sosok sastrawan dan budayawan masa Kerajaan Riau Lingga abad ke-19. Tentu tidak diragukan perihal kepiawaian beliau dalam hal bahasa dan sastra. Begitu banyak karya-karya agung yang dihasilkan, misalkan saja Gurindam Dua Belas yang sangat fenomenal. Selain itu terdapat Kitab Pengetahuan Bahasa yang merupakan kamus satu Bahasa Melayu (monolingual melayu) pertama yang disusun pada 1858 dan baru dicetak oleh Mathba'at al-Ahmadiyah pada tahun 1929. Karya tersebut memaparkan tata bahasa Melayu dan uraian makna kata yang dipadankan dalam sudut Ilmu Tasawuf.[1] Dari karangan itu nantinya Bahasa Indonesia modern lahir, yang mana pada peristiwa bersejarah yakni Kongres Sumpah Pemuda tahun 1928, Kitab Pengetahuan Bahasa dijadikan pedoman Bahasa Indonesia.[2]
Kendati demikian, tokoh yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tidak sebatas Bapak Bahasa Indonesia maupun budayawan masa peradaban Melayu. Raja Ali Haji sejatinya merupakan seorang ulama dengan multidisiplin ilmu. Menilik secara mendalam, pada dasarnya Gurindam Dua Belas bukan sekedar karya sastra klasik. Tetapi juga mengandung falsafah dalam bidang ketatanegaraan, hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal Keduabelas:
Raja mufakat dengan menteri,
Seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
Tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
Tanda raja beroleh inayat.
Kasihkan orang yang berilmu,
Tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
Tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
Itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
Kepada hati yang tidak buta.
Berdasarkan bait-bait dalam pasal tersebut, apabila dikaji merupakan nasehat atau pedoman kepada seorang raja (kepala pemerintahan sebuah negara) dalam menjalankan pemerintahan. Kata-kata mufakat, betul hati, adil, ilmu, mati dan akhirat telah memperlihatkan konsep-konsep utama dalam pandangan semesta Melayu Islam yang menjadi tunjang kepada adab ketatanegaraan yang ditujukan kepada raja yang memerintah.[3]Â
Dan melalui pasal itu pula, secara mendasar berkenaan dengan adab ketatanegaraan dapat dikelompokkan menjadi empat bentuk, yaitu hubungan antara raja dan menteri, hubungan raja dan rakyat, hubungan raja dan ilmuwan, dan hubungan raja dengan pribadinya sendiri.[4] Faishal Shadik dalam tesisnya berjudul Politik Islam Melayu (Studi Pemikiran Raja Ali Haji 1808-1873) menyatakan bahwa Gurindam Dua Belas merupakan ringkasan yang menjadi intipati dari dua karya ketatanegaraan Raja Ali Haji yakni Muqaddimah fi Intizam al-Waza'if al-Mulk dan Tsamarat al-Muhimmah Dhiayafatan lil Umrai wa-al-Khubrai li-Ahl-al-Mahkamah.[5]
Menduduki jabatan sebagai Penasihat Kerajaan di dua masa kepemimpinan Yang Dipertuan Muda Riau (Raja Ali Marhum Kantor dan Raja Abdullah Marhum Mursyid) juga menunjukkan kemahiran dan keluasan ilmu di bidang politik, kenegaraan, dan pemerintahan. Kesarjanaan beliau di bidang tersebut dapat juga dibuktikan ketika Temenggung Abu Bakar menyambanginya ke Riau pada 18 April 1868 untuk mendapatkan khidmat nasihat tentang ketatanegaraan Kerajaan Johor.[6]Â
Bahkan Raja Ali Haji telah memberikan tujuh buah buku sebagai pedoman sebagai rujukan Sultan Abu Bakar ketika di tahun yang sama Raja Ali Haji menjadi tamu kehormatan pada pertabalan Tumenggung Abu Bakar sebagai Sultan Johor.[7] Dipinjamkannya buku itu tersebut untuk memudahkan usaha sultan dalam menjalankan roda pemerintahan. Adapun hasil daripada khidmat nasihat dan rujukan yang diberikan ini, kita dapat lihat pada Undang-Undang Tubuh Kerajaan Johor yang ditulis oleh Sultan Abu Bakar dan diisytiharkan pada tahun 1895.[8]
Dengan demikian, Raja Ali Haji hakekatnya bukan sekedar ahli bahasa, budayawan, maupun sastrawan. Tetapi beliau juga merupakan tokoh yang fasih dalam berbagai ragam ilmu baik agama, politik, sejarah, kenegaraan, dan hukum. Meskipun berbagai pemikirannya bertitik tolak pada syariat Islam dan kebudayaan melayu. Tidak mengherankan jika pada masanya beliau dikenal luas oleh para ulama, cendekiawan, bangsawan, tokoh-tokoh kerajaan, sastrawan, maupun para kolonial. Dan pemikiran beliau juga menunjukkan bahwa Raja Ali Haji adalah pemikir hukum ketatanegaraan pada masa peradaban Melayu. Hal itu terangkum dalam beberapa karyanya, seperti Muqaddimah fi Intizam, Tsamarat al-Muhimmah, Tuhfat an-Nafis, Syair Hukum Nikah, dan karya besar lainnya yang ditulis dalam aksara Jawi dan menyampaikannya menggunakan gubahan syair.
[1] Rahmatika D. Amalia. "Raja Ali Haji: Bukan Sekedar Bapak Bahasa Indonesia", diakses dari https://nuun.id/raja-ali-haji-bukan-sekadar-bapak-bahasa-indonesia.
[2] Laksa Mahardikengrat. "Raja Ali Haji Sang Bapak Bahasa Indonesia yang Jadi Pemersatu Bangsa", diakses dari www.brilio.net/sosok/raja-ali-haji-sang-bapak-bahasa-indonesia-yang-jadi-pemersatu-bangsa-1710199.html#