Mohon tunggu...
Rilo PambudiS
Rilo PambudiS Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau. Pengelana yang haus kesuksesan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perbandingan Proses Nominasi Capres dan Cawapres antara Indonesia dan Amerika Serikat

5 Mei 2019   18:55 Diperbarui: 5 Mei 2019   19:30 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Partai pengusung Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2019. sumber: jambi.tribunnews.com

Secara umum sistem pemilu amerika dan indonesia tidak begitu berbeda, mungkin karena Amerika Serikat menjadi contoh daripada pelaksanaan demokrasi dewasa ini, di mana Indonesia juga mengadopsi sistem tersebut. Sebab Amerika Serikat disebut sebagai salah satu negara perintis demokrasi yang telah cukup lama dan berpengalaman dalam menjalankan pemilu yang adil, terbuka dan berkala. 

Pemilu presiden ini telah dijalankan Amerika Serikat sejak abad ke-18, saat sistem pemilu demokrasi baru saja berkembang. Sedangkan Indonesia mengalami pasang surut dan perombakan sistem pemilihan. Praktik sebelum amandemen pemilhannya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun sejak amandemen sejalan dengan amanat reformasi pemilihan secara langsung mulai diaplikasikan.

Meski demikian, dalam proses pencalonan (nominasi) presiden dan wakil presiden di antara kedua negara terdapat perbedaan. Berdasarkan konstitusi Indonesia, proses pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusionalnya partai politik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) yang menyebutkan "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." 

Hal ini berarti bahwa siapapun yang ingin menjadi presiden dan wakil presiden harus tergabung dalam partai politik nasional sesuai dengan rezim demokrasi kepartaian. Secara implisit pasal tersebut juga memberikan pembatasan terhadap perseorangan non partai politik untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden melalui jalur independen.

Partai politik yang memiliki hak konstitusional untuk menominasikan calonnya adalah partai yang pada pemilu sebelumnya telah memenuhi ambang batas yakni 20 persen suara di DPR atau 25 persen perolehan suara secara nasional. Yang mana partai tersebut juga harus terlebih dahulu memenuhi parliamentary threshold  sebesar 3.5 persen (meskipun dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dinaikkan menjadi 4% untuk pemilu 2019) dan dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang dalam pertimbangannya tetap mengakui dan memperkuat ambang batas presidensiil meskipun dalam putusan tersebut memerintahkan pelaksanaan pemilihan legislatif dan presiden tidak lagi terpisah tetapi menjadi serentak dalam waktu yang sama. Akibat putusan ini, tidak ada satu pun partai yang secara otomatis dapat mengajukan calon presiden dan wakil presidennya.

Hasil pemilu legislatif 2014 yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum, dari 12 peserta hanya 10 partai politik yang dinyatakan lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 3,5%, mereka adalah PDIP (18,95%), Golkar (14,75%), Gerindra (14,75%), Demokrat (10,19%), PKB (9,04%), PAN (7,59%), PKS (6,79%), Nasdem (6,72%), PPP (6,53%), dan Hanura (5,26%) sebagaimana termuat dalam Surat Keputusan KPU Nomor 412/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 yang Memenuhi Ambang Batas dan Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Secara Nasional dalam Pemilu Anggota DPR Tahun 2014.

Implikasinya adalah dalam menominasikan calonnya partaai politik harus saaling berafiliasi atau berkoalisi, seperti yang terjadi hari ini terdapat dua koalisi besar yaitu Merah Putih dan Indonesia Hebat. Meskipun dalam perjalanannya sering diterpa ketidakstaabilan koalisi.

Menurut Bagus Priyo Prasojo dan Sena Putri Safitri dengan melihat  rekam jejak beberapa pemilihan presiden yang diselenggarakan di Indonesia belakangan ini, terdapat satu benang merah yang dapat ditarik, yakni cara penentuan kandidat calon presiden di partai politik diputuskan oleh elit partai yang berkuasa. 

Masing-masing partai mengajukan para punggawa elit, pemilik atau pun pemimpin partainya. Namun umumnya, memang partai politik terikat dengan dominasi oligarki sebagaimana dinyatakan oleh Robert Michels, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dalam Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi bahwa "political party as an organization in general, always bears oligarchic domination."

Nominasi akibat oligarki ini juga cenderung menjadikan figur popular dan berpengaruh menjadi sosok yang dicalonkan, terlebih ketika ia sebagai petahana. Sehingga menutup akses masyarakat luas untuk turut serta menentukan siapa yang akan menjadi calon presiden dan wakil presiden. Faktanya calon yang muncul umumnya bukan orang-orang yang melalui proses kaderisasi, tetapi lebih mengedepankan hasil survei elektabiltas dari berbagai media.

Berbeda halnya dengan di Amerika Serikat, Seleksi calon presiden dan wakil presiden AS dilaksanakan melalui proses bottom up yang menempatkan anggota partai di level paling bawah sebagai penentu utama. H. Clinton dan Donald Trump terpilih sebagai capres di partainya masing-masing tidak melalui penunjukan para elite partai, melainkan dipilih oleh mayoritas anggota partai dalam primary dan kaukus di seluruh negara bagian.

Proses seleksi presiden AS diawali ketika seorang politisi yang ingin menjadi presiden mendeklarasikan dirinya. Deklarasi itu penting dilakukan untuk mengumumkan pencalonannya dan menarik dukungan dari berbagai pihak. Setelah deklarasi, politisi itu mendaftarkan diri untuk mengikuti konvensi di partainya masing-masing. Dalam konvensi, terjadi kompetisi untuk memperebutkan nominasi dari partai melalui primary dan kaukus di semua negara bagian. Penentu lolos tidaknya sebagai kandidat presiden yang dicalonkan partai ditentukan oleh para anggota partai yang memilih dalam primary dan kaukus. Setelah terpilih sebagai kandidat presiden, baru kemudian berkompetisi dengan kandidat partai lain untuk memperebutkan jabatan presiden

Langkah pertama untuk memasuki pencalonan presiden AS dimulai dengan pelaksanaan pemilihan pendahulu (early primary election) di Iowa dan New Hampshire. Pelaksanaan pemilihan pendahulu dilakukan di kedua negara bagian tersebut pada bulan Februari, sementara pemilihan pendahulu di negara bagian lainnya baru diselenggarakan pada bulan Maret dan Juni. 

Pemilihan pendahulu ini memiliki pengaruh yang penting dalam proses pemilu presiden karena sangat menentukan apakah kandidat presiden akan melanjutkan kepada pemilihan di negara bagian lain yang luas wilayahnya lebih besar atau tidak. Pemilihan pendahulu ini akan menentukan seberapa besar dukungan yang akan diberikan kepada para calon kandidat presiden. Oleh karena itu, banyak calon kandidat presiden mundur dari proses pemilu setelah kalah pada pemilihan pendahulu di Iowa dan New Hampspire ini.

Selain pemilihan pendahulu, partai politik juga memiliki prosedur lain dalam menentukan delegasi yang akan memilih calon presiden dalam konvensi nasional, yakni melalui kaukus negara bagian dan superdelegasi. Sebagai contoh, di tahun 2008, lebih dari dua per tiga delegasi konvensi Partai Demokrat dipilih dari pemilihan pendahulu, 19% adalah superdelegasi dan 12% dipilih melalui kaukus atau konvensi negara bagian. Dua prosedur lainnya ini merupakan prosedur awal yang muncul dalam setiap proses pemilihan kandidat presiden untuk pemilu AS. 

Kaukus negara bagian merupakan metode yang umum digunakan oleh Amerika Serikat sebelum tahun 1972 untuk memilih kandidat presiden dengan berdasarkan pada keputusan pimpinan-pimpinan partai. Melalui metode kaukus ini, pimpinan partai secara otomatis mendapatkan kursi sebagai delegasi dalam konvensi untuk menentukan kandidat presiden. Oleh karena itu, pimpinan partai memiliki kekuatan yang besar untuk mengontrol hasil dari nominasi calon presiden ini.

Superdelegasi adalah cara memilih delegasi konvensi nasional yang muncul sebagai upaya reformasi atas metode kaukus. Superdelegasi menjadikan kontrol pencalonan presiden oleh partai bukan hanya oleh elit partai dalam kepengurusan di tingkat negara bagian saja, tetapi juga menjadikan senator, gubernur, mantan presiden, mantan wakil presiden, dan pimpinan kongres sebagai delegasi dalam konvensi. Seperti halnya kaukus, maka kursi dari para superdelegasi juga otomatis diberikan tanpa proses pemilihan sebelumnya.

Pada tahun 2016 ini misalnya, Hillary Clinton dan Bernie Sanders bersaing untuk mendapatkan posisi capres dari Partai Demokrat. Sedangkan dari kubu Republik, ada Donald J Trump, Ted Cruz, Marco Rubio, Ben Carson, Jeb Bush dan Kasich yang saling tempur memperebutkan gelar capres.

Faktanya, tidak semua negara bagian mengikuti pemilihan pendahuluan, sebagian ada yang mengikuti kaukus saja. Walau ada juga beberapa wilayah yang berpartisipasi dalam kedua rangkai pemilu awal ini. Kaukus biasanya diadakan di kalangan para pendukung utama partai politik tertentu saja. Seperti yang diadakan di Iowa, sedangkan pemilu yang digelar di New Hampshire termasuk pemilu pendahuluan.

Dalam tahap ini, bakal capres akan berkeliling ke 50 negara bagian untuk mendulang suara. Selain berkampanye di hadapan pendukungnya sendiri, para kandidat disibukkan dengan padatnya jadwal debat capres di berbagai stasiun televisi dan lembaga penyiaran lainnya di AS.

Dari hasil debat itulah, pemilih dapat mengenal program-program, visi-misi, keunggulan dan kelemahan para kandidat presiden sekaligus. Perhatian publik akan banyak tersedot ke acara-acara seperti ini selama pemilu karena serunya diskusi antara mereka, di mana ada saling tuding dan ungkit luka lama atau menguliti 'borok' masing-masing.

Dengan adanya sistem pemilu seperti ini, bakal calon bisa lebih fokus mengampanyekan dan menjalankan strategi yang berbeda di masing-masing kota tujuan. Bukan serampangan berorasi serentak di 50 negara bagian, tetapi dijajaki satu per satu. Mulai dari Iowa sampai District of Columbia.

Beberapa pemilihan pendahuluan diadakan kedua partai pada hari yang sama. Ada juga yang diadakan pada hari yang berbeda, seperti yang akan berlangsung pada pemilihan pendahuluan di Nevada dan South Carolina.Partai Demokrat akan menggelar kaukus di Nevada pada 20 Februari, sementara Republik menggadakan pemilihan pendahuluan di South Carolina. 

Baru pada tanggal 23 Februari, gantian GOP (sebutan komite Partai Republik) yang membuka kaukus di Nevada, dan Partai Demokrat melangsungkan pemilihan pendahuluan di South Carolina empat hari kemudian. Hasil pemungutan suara dari pemilu pendahulan dan kaukus akan mengeluarkan satu nama kandidat dari masing-masing partai, untuk selanjutnya dinobatkan sebagai capres resmi dalam Konvensi Nasional, yang dihelat pada Agustus-September.

Setelah ketiga proses tersebut dijalankan, maka konvensi nasional siap dilaksanakan untuk memilih kandidat presiden yang akan dicalonkan oleh partai politik dalam pemilu. Tren posisi ideologi partai politik terefleksi melalui kehadiran kelompok aktivis politik yang menjadi delegasi di dalam konvensi nasional, dimana delegasi Demokrat adalah sekelompok orang liberal dan Republik dipenuhi oleh sekelompok orang konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa konvensi nasional tidak hanya menjadi sarana untuk menentukan kandidat presiden, namun juga merefleksikan posisi partai terhadap ideologi politik dan isu politik tertentu.

Pada tahap terakhir ini, ada dua pemilihan utama yang patut diketahui, yaitu pengambilan suara sebagai pasangan capres dan cawapres terfavorit (popular vote) dan berikutnya ditetapkan melalui dukungan dari Electoral College.

Electoral College adalah lembaga pemilu akhir yang diisi oleh orang-orang pilihan dari masing-masing negara bagian, untuk menentukan presiden dan wapres terbaik bagi masyarakat AS. Jumlah perwakilannya tidak sama rata di setiap negara bagian, yang pasti jumlahnya harus sama dengan jumlah anggota kongres AS, sebanyak 538 orang.

Jika popular vote dilangsungkan pada November, Electoral College akan memberikan suara mereka pada hari Senin pertama setelah Rabu minggu kedua di Bulan Desember.

Berbeda dengan Indonesia yang akan langsung memenangkan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dari rakyat, AS akan menobatkan dua orang utama di negaranya setelah mendengar keputusan Electoral College. Jadi pasangan yang menang dalam popular vote, belum tentu maju sebagai presiden dan wakil presiden AS yang sebenar-benarnya.

Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun