Kalau mau lihat performance GPRA, cukup lihat performance 3 tahun terakhir, sedangkan performance q1-2022 boleh diabaikan karena tiba-tiba kinerja laba bersih naik menjadi Rp. 21,3 miliar, sehingga Net Profit Margin (NPM) = 27%, tetapi hasilnya tetap sahaja cash flows-nya seret, cuman mampu menghasilkan surplus cash flows (CFO) sebesar = Rp. 2,7 miliar saja. Artinya kenaikan kinerja 2022 masih jauh panggang dari api.
Oleh karena itu mendingan melihat kinerja laba bersihGPRA untuk tiga tahun terakhir (2021,2020,2019) berturut-turut cuman 11%,11% dan 14%.
Untuk perusahaan property laba sebesar itu termasuk emiten property papan bawah. Sebab emiten property papan atas, laba bersih (NPM) jauh diatas itu. Misalnya;
DMAS, pencapaian 3 tahun terakhir; 49%, 51% dan 50%, atau
PWON, = 27%, 28% dan 44%, atau
JRPT = 36%, 46% dan 43%
Jadi kalo sekarang harganya "dianggap murah" cuman PBV dibawah 0,3 ya wajar-wajar saja. Tidak ada yang istimewa.
Sebab dengan NPM sekitaran dibawah 15%, untuk ukuran perusahaan property akan menyebabkan kas emiten selalu saja kekurangan. Hal ini karena untuk karakter perusahaan property; belanja Operasional terbesar adalah; membeli / bangun asset property-yang akan dijual, dan jika belum laku dijual akan tetap membeli/ membangun, kemudian ditumpuk menambah persediaan, bukan malahan berhenti membangun.
Jadi jangan heran kalau jumlah "persediaan" pada perusahaan property nilainya berlipat-lipat daripada harga pokok penjualannya, termasuk juga GPRA. Kalau uang habis dipakai untuk mengisi ulang "persediaan property", tentu saja untuk perusahaan property yang NPM-nya mini, kesulitan memberikan dividend seperti yang dialami oleh GPRA.
Kenapa pada perusahaan property persediaan harus ditumpuk-tumpuk? Sebenarnya jawabannya sangat kelasik, seperty anda menemukan iklan property "senin harga naik", maka bagi perusahaan property prinsipnya juga sama, beli persediaan sekarang, atau bangun sekarang, daripada ditunda-tunda costnya malah semakin naik.
Dengan NPM yang maksimum, misalnya lebih dari 20%, perusahaan property akan mampu mengejar siklus-kejar-kejaran- antara kenaikan harga jual, dengan kenaikan harga membeli atau membangun Kembali, sekaligus perusahaan property tersebut masih mampu memberikan dividend kepada para pemegang sahamnya.
Jadi setiap kali perusahaan property sukses menjual persediaanya, perusahaan property tidak akan dapat membangun kembali persediaan yang telah dijual pada cost yang sama, atas "property yang telah dijual" sebelumnya. Itu sebabnya saya sebut kejar-kejaran (rally) harga jual vs dengan harga membeli /atau membangun kembali.
Kalau laba bersih hanya dibawah 20% sebaiknya hindari saja perusahaan property semacam itu, sebab laba 20% paling banter cuman mampu mendanai "pengisian ulang persediaan" yang selalu mengalami kenaikan harga, dan sisanya untuk bayar utang. Jadi untuk shareholdernya mana..... MaDESU. Kecuali anda penggemar gorengan beraliran newfundamental silahken menjadi @madesumendadak .....
 Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H