Tidak ada aturan bahwa setoran modal para shareholder dalam satuan lembar saham, harus sama dengan nilai nominal per lembar-nya. Shareholder dapat menyetorkan modal per lembar yang nilainya lebih besar dari pada nilai nominal sahamnya. Bahkan para shareholder juga dapat menyetorkan modal dalam satuan lembar yang nilainya lebih rendah daripada harga nominal saham.
Kemungkinan bahwa harga setoran modal para shareholder per lembar saham, nilainya sama dengan nilai nominal sahma per lembar, hanya mungkin berlaku bagi para shareholder yang mendirikan perusahaan (shareholder-pendiri), itupun kalau para shareholder tersebut memang maunya demikian. Sebab bisa saja para shareholder-pendiri tersebut memilih cara yang lain, misalnya menyetorkan modal sebesar Rp. 100 per lembar saham, pada saham yang nominalnya Rp. 1 per lembar. Maka pada kasus demikian, para shareholder-pendiri tetap dicatat telah menyetorkan uangnya Rp. 100 perlembar saham, bukan cuman Rp. 1 per lembar. Dan atas selisihnya dicatat sebagai “agio saham” atau “tambahan modal disetor”.
Seiring dengan perkembangan usaha, perusahaan membutuhkan penambahan modal. Apabila existing shareholder tidak mampu menyuntikan modal tambahan, maka praktik bisnis yang umum adalah, para shareholder akan mengundang investor lain menjadi shareholder pendatang baru.
Untuk melindungi kepentingan para shareholder-pendiri, tentu saja para shareholder-pendiri akan mengajak investor (shareholder) baru untuk membeli “saham baru” pada harga market perusahaan. Pada perusahaan yang belum IPO, maka harga market adalah harga yang disepakati antara pihak penjual (existing shareholder) dengan pihak pembeli (new shareholder). Sedangkan pada perusahaan yang sudah IPO (listed), harga market adalah harga saham di BURSA, atau harga nego “kesepakatan” antara penjual dan pembeli, sepanjang transaksi pada pasar nego tidak menyebabkan pergantian PSP.
Sebelum anda bingung, kenapa saya menganggap pihak penjual adalah para “existing shareholder”, padahal uang hasil penjualan saham baru, masuk ke kantong perusahaan (bukan kantong “existing shareholder), sebab setelah perusahaan menerbitkan dan menjual saham baru, maka porsi kepemilikan “existing shareholder” otomatis menjadi turun. Sehingga seolah-olah shareholder seperti telah menjual sebagian kepemilikannya yang menyebabkan kepemilikan shareholder existing mengalami penurunan.
Namun demikian penurunan porsi kepemilikan bukan karena saham para “existing shareholder” menjual sahamnya, melainkan karena dampak dilusi saham, tetapi hasil akhirnya sama saja, bahwa porsi kepemilikan “existing shareholder” berkurang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pihak penjual saham baru yang sebenarnya adalah “existing shareholder” bukan perusahaan penerbit saham baru.
Contohnya, mula-mula saham hanya dimiliki oleh para “shareholder pendiri”, yang telah menyetorkan modal sebesar Rp. 1 / lembar, nilai tersebut sama dengan nilai nominal (Rp. 1 / lembar). Maka Ketika perusahaan membutuhkan tambahan modal, yang kemudian menerbitkan saham baru, dan para pendiri tidak punya uang untuk menambah suntikan modal, maka saham baru ditawarkan kepada investor (calon shareholder-baru). Misal harga market perusahaan setelah beroperasi sekian tahun, menjadi Rp. 10 per saham, maka haraga saham baru akan dijual kepada shareholder baru sebesar Rp. 10 per lembar, dimana sebesar Rp. 1 per lembar dicatat sebagai “modal disetor”, dan selisihnya sebesar Rp. 9 per lembar dicatat dalam “akun agio” saham atau “tambahan modal disetor”.
Kemudian pada periode berikutnya, kembali perusahaan membutuhkan modal, dan para shareholder-existing tidak punya uang untuk menyuntik modal, maka perusahaan kembali menerbitkan saham baru, yang ditawarkan kepada para shareholder baru (angel investor), mungkin pada harga market yang sudah semakin tinggi. Misalnya, jika sebelumnya ditawarkan pada pada harga Rp. 10 per lembar, mungkin pada putaran selanjutnya, perusahaan menawarkan harga saham baru sebesar Rp. 50 per lembar, maka atas penerimaan uang dari penjualan saham baru sebesar Rp. 500 per lembar dari para shareholder-baru, sebesar Rp. 1 per lembar dicatat sebagai “modal disetor”, dan selisihnya sebesar Rp. 49 per lembar dicatat dalam “akun agio” saham atau “tambahan modal disetor”. Begitu seterusnya berulang-ulang, dan akhirnya perusahaan melakukan go publik ditawarkan pada harga Rp. 338 per lembar.
Itu sebabnya kalau anda melihat pada ekuitas GOTO sebelum IPO, total “modal disetor” hanya sebesar Rp. 800,7 miliar, sedangkan “agio saham” atau ”tambahan modal disetor” nilainya beratus-ratus kali lipat menjadi Rp. 179,34 triliun.
Karena GOTO rutin menerbitkan saham baru yang serinya berbeda-beda, maka menjadi terlalu rumit untuk menelusuri data setoran modal mulai dari pendirian perusahaan sehingga sampai menjelang IPO. Oleh karena itu anggap saja bahwa hanya para “shareholder pendiri” saja yang menyetorkan modal sebesar Rp. 1 perlembar, selebihnya para investor “angel” membeli saham baru pada harga lebih besar daripada Rp. 1. Adapaun, terindikasi bahwa para pendiri adalah para pemegang saham seri B, sebanyak 505,7 juta lot. Sedangkan para investor angel, terindikasi sebagai pemegang saham seri A sebanyak 10,83 miliar lot.
Jika digabungkan maka total setoran modal para sahereholder sebelum IPO = “modal disetor” + “tambahan modal disetor” = Rp. 800,7 miliar + Rp. 179,34 triliun = Rp. 180,14 triliun. Sekarang kita dapat menghitung rata-rata modal para shareholder sebelum IPO yaitu sebagai berikut:
- Total setoran modal para shareholder-pendiri (saham seri B) = Rp. 1 X 505,7 juta lot = Rp. 50,57 miliar.
- Total setoran modal para sharholder- angel investor (saham seri A) = 180,14 triliun – 50,57 miliar = 180,09 triliun, sehingga harga modal rata-rata para investor angel = total setoran modal / jumlah saham seri A = 180,09triliun / 10,83 miliar lot = Rp. 166 per lembar.
Pada saat ini, perusahaan kembali menerbitkan saham baru yang kemudian ditawarkan melalui IPO seharga Rp. 346 per lembar, jika anda bertanya apakah adalah harga wajar atau tidak, maka saya tidak dapat menjawab, itu urusan anda. Tetapi kalau anda bilang bahwa harga tersebut kemahalan, karena modal-rata-rata para shareholder sebelum IPO adalah Rp. 1 per lembar, maka itu adalah salah dan anda menggunakan logika spongebob.
Jika kita breakdown mengenai modal para shareholder, maka modal yang disetorkan kedalam perusahaan setelah IPO adalah sebagai berikut;
(1) Hanya sebanyak 505,7 juta lot atau sekitar = 4,3% dari total saham setelah IPO, yaitu para shareholder-pendiri perusahaan, yang mungkin membeli saham pada harga Rp. 1 per lembar,
(2) Sebanyak 91,4% adalah para shareholder sebelum IPO yang merangkap menjadi angel investor, yang membeli saham pada harga rata-rata = Rp. 166 per lembar,
(3) Sisanya = 4,4% mungkin anda salah banyaknya yang ikutan membeli saham baru melalui IPO pada harga Rp. 338 per lembar.
Sebagai informasi tambahan, bahwa kejadian “penerbitan saham baru” akan terus berlanjut karena program right issue yang berjilid-jilid, pada masa yang akan datang, telah diumumkan oleh GOTO dalam prospektus. Perlu diketahui, bahwa harga saham right issue dengan memberikan existing shareholder “hak memesan terlebih dahulu”, maka harga pelaksanaan “right issue” nya tidak harus sama dengan harga market. Kalau dalam kasus GOTO, right issue boleh ditawarkan pada harga pelaksanan serendah-rendahnya sebesar Rp. 1 per lembar.
Demikian semoga anda sekarang dapat memahami bahwa bahwa setoran modal per lembar tidak sama dengan harga nominal saham per lembar.
sumber prospektus : https://www.e-ipo.co.id/id/pipeline/get-propectus-file?id=80&type=
sumber gambar : https://3.bp.blogspot.com/-fvy0HdT5bFI/Tc_P3P-NbMI/AAAAAAAABBg/FkqUVMQtP7M/s1600/soekarno+1+rupiah+depan.JPG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H