Mohon tunggu...
Dokter Andri Psikiater
Dokter Andri Psikiater Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa

Psikiater dengan kekhususan di bidang Psikosomatik Medis. Lulus Dokter&Psikiater dari FKUI. Mendapatkan pelatihan di bidang Psikosomatik dan Biopsikososial dari American Psychosomatic Society dan Academy of Psychosomatic Medicine sejak tahun 2010. Anggota dari American Psychosomatic Society dan satu-satunya psikiater Indonesia yang mendapatkan pengakuan Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine dari Academy of Psychosomatic Medicine di USA. Dosen di FK UKRIDA dan praktek di Klinik Psikosomatik RS Omni, Alam Sutera, Tangerang (Telp.021-29779999) . Twitter : @mbahndi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dispepsia Fungsional: Penyakit Lambung yang Bikin Kepikiran Penderitanya

7 November 2024   05:52 Diperbarui: 7 November 2024   11:03 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dispepsia Fungsional (Koleksi Pribadi)

Saat saya menulis artikel ini saya sedang berada di Bangkok, Thailand dalam mengikuti acara pertemuan dua tahunan Federation of Neurogastroenterology and Motility (FNM) tanggal 6-8 November 2024.

Saya sendiri sebenarnya bukan seorang dokter penyakit dalam, namun sebagai seorang psikiater (dokter spesialis kedokteran jiwa) yang berkecimpung sehari-harinya menangani kasus psikosomatik, saya menemukan hampir lebih dari 60% kasus psikosomatik berhubungan dengan masalah lambung khususnya dispepsia fungsional. 

Berbicara tentang dispepsia fungsional sendiri, secara prevalensi global penyakit ini diderita oleh 5-7 persen orang dewasa dan lebih banyak pada perempuan muda.

Dua sub kategori dari dispepsia fungsional yaitu Postprandial Distress (PDS) dan Epigastric Pain (EPS). Beban global yang paling sering dialami akibat penyakit ini banyak berkaitan dengan hilangnya waktu kerja dan penurunan kualitas hidup pasien. 

Gejala dan Tanda 

Dispepsia fungsional adalah kondisi pencernaan yang umum ditandai dengan gejala seperti nyeri perut bagian atas (EPS), kembung, dan rasa tidak nyaman setelah makan (PDS). Meski sering dianggap sepele, dispepsia fungsional dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang secara signifikan.

Untuk memahami lebih dalam tentang kondisi ini, kita perlu menjelajahi beberapa faktor yang berkontribusi, termasuk hipersensitivitas viseral, dismotilitas, peradangan ringan, faktor psikososial, serta trauma dan kekerasan di masa lalu.

Semua faktor ini saling berinteraksi dan membentuk gambaran yang lebih lengkap tentang dispepsia fungsional. Berikut di bawah uraian masing-masing faktor yang sering dikaitkan dengan terjadinya dispepsia fungsional. 

a. Hipersensitivitas Visceral

Salah satu faktor yang berperan dalam dispepsia fungsional adalah hipersensitivitas viseral. Ini merujuk pada meningkatnya sensitivitas organ-organ dalam, seperti lambung dan usus.

Penderita sering kali merasakan nyeri atau ketidaknyamanan yang lebih parah terhadap rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan, seperti tekanan dari makanan.

Penelitian menunjukkan bahwa pada individu dengan dispepsia fungsional, sistem saraf yang mengatur organ dalam dapat berfungsi lebih aktif, mengakibatkan sinyal rasa sakit yang lebih kuat.

Hal ini sering kali membuat penderita merasa cemas dan khawatir tentang makan, yang pada gilirannya dapat memperburuk gejala.

b. Dismotilitas

Dismotilitas, yaitu gangguan pada gerakan normal saluran pencernaan, juga berkontribusi pada dispepsia fungsional.

Ketika lambung tidak bergerak dengan baik, makanan tidak dapat dicerna dengan efisien, mengakibatkan gejala seperti kembung dan rasa kenyang yang cepat.

Gangguan motorik ini sering kali terkait dengan hipersensitivitas viseral, di mana otak merespons ketidaknyamanan dengan meningkatkan rasa sakit. 

Kombinasi antara dismotilitas dan hipersensitivitas ini menciptakan siklus yang sulit diputus, di mana ketidaknyamanan fisik dapat memperburuk kondisi psikologis penderita.

c. Peradangan Ringan

Peradangan ringan dalam saluran pencernaan juga bisa menjadi penyebab dispepsia fungsional. Meskipun tidak tampak ada peradangan yang jelas, penelitian menunjukkan adanya peningkatan sel-sel imun dalam lapisan lambung dan usus pada penderita dispepsia.

Peradangan ini dapat menyebabkan reaksi yang lebih kuat terhadap makanan atau stres, yang memperburuk gejala.

Dalam konteks ini, ketidaknyamanan yang dirasakan dapat dipicu oleh kombinasi antara faktor fisik dan emosional, menambah kompleksitas pengelolaan kondisi ini.

d. Faktor Psikososial

Faktor psikososial memainkan peran yang sangat penting dalam dispepsia fungsional. Stres, kecemasan, dan depresi dapat memperburuk gejala pencernaan.

Banyak penderita melaporkan bahwa kondisi emosional mereka sangat memengaruhi rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dirasakan. 

Misalnya, tekanan emosional dapat meningkatkan sensitivitas terhadap gejala, menciptakan siklus di mana kecemasan tentang sakit perut justru memperburuk kondisi fisik.

Oleh karena itu, penting untuk menangani kesehatan mental sebagai bagian dari pengelolaan dispepsia fungsional.

e. Trauma dan Kekerasan di Masa Lalu

Trauma dan kekerasan yang dialami di masa lalu juga dapat berdampak signifikan pada kesehatan pencernaan.

Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan riwayat trauma lebih rentan terhadap masalah gastrointestinal, termasuk dispepsia fungsional.

Pengalaman traumatis dapat mengubah cara otak merespons stres dan rasa sakit, sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya gejala pencernaan. 

Pendekatan yang menyeluruh terhadap terapi dispepsia fungsional harus mempertimbangkan sejarah trauma ini dan mencari cara untuk mengatasinya.

Prof. Jan Tack dari Universitas Leuven saat memberikan kuliah kemarin (06/11/2024) di kongres FNM Bangkok 2024 (dok.pribadi)
Prof. Jan Tack dari Universitas Leuven saat memberikan kuliah kemarin (06/11/2024) di kongres FNM Bangkok 2024 (dok.pribadi)

Rekomendasi Terapi

Mengelola dispepsia fungsional memerlukan pendekatan yang holistik dan multidisipliner. Tidak ada satu cara paling efektif karena berbagai faktor yang terlibat tersebut. Berikut adalah beberapa rekomendasi terapi:

a. Perubahan Gaya Hidup: Mengadopsi pola makan seimbang dan menghindari makanan yang dapat memicu gejala, seperti makanan berlemak, pedas, atau berkafein. Makan dalam porsi kecil dan tidak terburu-buru juga dapat membantu.

b. Terapi Psikologis: Pendekatan seperti terapi kognitif perilaku (CBT) dapat membantu penderita mengatasi kecemasan dan stres yang mungkin memperburuk gejala. Terapi ini juga dapat membantu dalam mengelola reaksi terhadap trauma masa lalu.

c. Manajemen Stres: Teknik relaksasi seperti yoga, meditasi, atau latihan pernapasan dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental secara keseluruhan.

d. Dukungan Sosial: Bergabung dengan kelompok dukungan atau berbicara dengan teman dan keluarga tentang pengalaman dapat memberikan rasa dukungan dan mengurangi perasaan terisolasi.

e. Pengobatan: Dalam beberapa kasus, dokter mungkin merekomendasikan obat untuk mengatasi gejala, seperti obat penekan asam lambung atau obat untuk meningkatkan motilitas lambung.Penggunaan obat jangka panjang harus dengan pengawasan dokter. Pasien tidak diperkenankan untuk mengobati sendiri dengan obat-obatan lambung tanpa petunjuk dokter ahli.

Dengan memahami keterkaitan antara faktor-faktor fisik dan psikologis yang berkontribusi pada dispepsia fungsional, penderita dapat lebih siap untuk menghadapi kondisi ini dan mencari pengelolaan yang efektif.

Jika Anda mengalami gejala dispepsia fungsional, sangat penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat. Semoga artikel ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun