Sejak diumumkan kepada publik dua kasus COVID-19 pada pasien Indonesia kemarin oleh Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kesehatan Terawan, keresahan di kalangan masyarakat mulai terasa.
Group Whatsapp mulai dipenuhi oleh berita-berita terkait siapa yang terkena kasus Covid-19, ada potongan cerita bagaimana mereka sampai terkena dan juga penelusuran siapa saja mereka. Bahkan sampai akun media sosial dan rumahnya pun menjadi sasaran penelusuran netizen.Â
Belum lagi ditambah dengan adanya berita terkait "rush" bahan makanan di beberapa tempat yang diperkuat oleh foto-foto walaupun akhirnya ada konfirmasi dari si putri dari orang tua yang ada di dalam foto membeli berkardus-kardus mie instan di sebuah supermarket.
Keresahan ini mungkin akan dapat terjadi di hari-hari ke depan apalagi jika kasus makin banyak ditemukan di Indonesia. Lihat saja untuk masker saja sekarang mulai susah didapatkan dan harganya mahal berkali lipat dari biasa.Â
Padahal menggunakan masker hanyalah salah satu cara mencegah penularan jika memang kita sedang sakit. Kontak erat dengan yang memiliki virus ini yang lebih dominan sebagai media penularan. Itulah mengapa kita harus rajin mencuci tangan dan mengurangi kontak dengan orang lain selama COVID-19 ini masih menjadi pandemi menular.
Kepanikan ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Dalam berbagai ulasan berita sejak mulai COVID-19 terdeteksi Desember 2019 di Wuhan, China dan kini menyerang lebih dari 27 negara, pandemi ini telah meningkatkan kekhawatiran yang meluas dan meningkatnya kecemasan banyak orang yang takut menjadi sasaran ancaman virus. Apalagi media menyoroti COVID-19 sebagai ancaman yang unik, yang ikut menambah kepanikan, stres, dan potensi hysteria masyarakat.
Pandemi bukan hanya fenomena medis; mereka mempengaruhi individu dan masyarakat di berbagai tingkatan, menyebabkan gangguan pada kesehatan jiwanya. Panik dan stres juga dikaitkan dengan wabah. Lihat saja ketika kekhawatiran tentang ancaman yang dirasakan mulai tumbuh, orang mulai mengumpulkan (dan bahkan menimbun) masker dan persediaan medis serta makanan.
Ini sering diikuti oleh perilaku yang berhubungan dengan kecemasan dan gangguan tidur. Individu yang telah mengalami gangguan jiwa seperti gangguan cemas dan gangguan depresi mungkin sangat rentan terhadap efek dari kepanikan dan ancaman yang meluas terkait virus COVID-19 ini.
Masalah Kesehatan Jiwa dan Penyakit FisikÂ
Penyakit kronis (menahun), termasuk penyakit menular kronis seperti tuberkulosis (TBC) dan human immunodeficiency virus (HIV) dikaitkan dengan kemungkinan mengalami tingkat gangguan mental yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Penelitian menunjukkan tingkat depresi biasanya meningkat setelah kondisi medis fisik berlangsung lama. Efek dari coronavirus pada kesehatan mental belum diteliti secara sistematis, namun diperkirakan bahwa COVID-19 akan memiliki efek pada kesehatan jiwa yang besar terutama berdasarkan reaksi publik saat ini.Â
Psikiater dengan latar belakang dokternya ditempatkan untuk membantu pasien mereka yang telah mengalami gangguan jiwa terkait cemas dan depresi agar bisa tenang menghadapi kondisi ini serta komunitas yang lebih besar untuk memahami dampak potensial dari virus serta tidak menjadi panik karenanya dengan edukasi yang baik.
Banyak hal terkait kecemasan akibat virus COVID-19 ini. Orang bisa mengalami rasa khawatir tentang kemungkinan terinfeksi, khawatir tentang orang yang dicintai mengalami sakit, dan khawatir ketika gejala terkait ada seperti mulai merasakan batuk dan pilek serta demam padahal mungkin itu flu biasa. Tidak adanya pengobatan pasti untuk coronavirus dengan mudah memperburuk kecemasan.
Kita juga bisa berempati lebih besar kepada pasien yang mengalami gangguan cemas obsesif kompulsif. Mereka yang memang pada dasarnya mengalami ketakutan akan kontaminasi terkait dengan gangguan jiwanya, maka dengan adanya promosi terkait cuci tangan yang lebih sering untuk mengurangi kemungkinan terkena virus COVID-19 akan bisa menambah kecemasan terkait perilaku kompulsifnya sendiri.
Wabah COVID-19 saat ini memacu rasa takut di tingkat masyarakat. Pada tingkat individu, itu dapat secara berbeda memperburuk kecemasan serta menyebabkan masalah mental yang tidak spesifik (misalnya, masalah suasana hati, masalah tidur, perilaku seperti fobia, dan gejala seperti panik cemas).
Maka dari itu marilah kita bersama-sama mengurangi kekhawatiran yang tidak berdasar terkait virus COVID-19 ini dan tidak menyebarkan berita yang tidak jelas dan benar sumbernya yang bisa semakin menambah ketakutan dan memicu kepanikan masyarakat.Â
Berikan kepercayaan kepada otoritas seperti pemerintah dan kementerian kesehatan untuk bekerja sesuai standar yang berlaku untuk mengurangi dampak dari infeksi virus COVID-19 ini.
Pesan saya bacalah sumber berita yang terpercaya terkait COVID-19 ini dan janganlah menyebarkan berita tanpa dukungan data yang valid.
Semoga kita semua diberikan kesehatan. Tetap jaga imunitas tubuh kita dengan tidur yang cukup, gizi yang seimbang, olahraga teratur dan kurangi stress.
Salam Sehat Jiwa.
Sumber tulisan:
Psychiatrists Beware! The Impact of COVID-19 and Pandemics on Mental Health by Nidal Moukaddam, MD, PhD, Asim Shah, MD
Psychiatrists Beware! The Impact of COVID-19 and Pandemics on Mental Health
Catatan : Tulisan ini telah terlebih dahulu dimuat di blog pribadi penulis.