Oleh : Dr.Andri,SpKJ
Psikiater/Pengamat Kesehatan Jiwa
Belakangan ini banyak beredar berita tentang kasus cek pelawat yang melibatkan seorang ibu yang ternyata telah melanglang buana sebelum akhirnya tertangkap. Beberapa media atapun majalah beberapa hari ini menampilkan si ibu sebagai headline . Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah masalah penyakit lupa yang katanya dialami oleh si ibu ini.
Dulu dokter pribadi si Ibu mengatakan bahwa terdapat gangguan fungsi pikir yang mengarah kepada demensia yang terjadi pada diri si Ibu ini. Hal ini selanjutnya beliau katakan sebagai suatu akibat proses stroke yang pernah dialami oleh si Ibu. Belakangan kemudia beredar kabar kalau si Ibu ini kemungkinan mengalami demensia tipe alzheimer. Saya sedikit bertanya-tanya, jika di awal dikatakan si Ibu mengalami demensia akibat stroke (baik yang berdarah maupun tidak) maka seharusnya diagnosis yang mungkin adalah demensia tipe vaskuler dan bukan tipe Alzheimer.
Demensia tipe Alzheimer mempunyai ciri progresif dan biasanya fungsi pikirnya semakin lama semakin memburuk, apalagi jika tidak dilakukan pengobatan. Pengobatan pun bersifat mempertahankan fungsi kognitif terakhir dan bukan untuk menyembuhkan.
Lalu setelah tertangkap akhirnya si Ibu diperiksa oleh tim dokter independen yang terdiri dari dokter saraf dan dokter jiwa alias psikiater. Akhirnya diumumkanlah kepada masyarakat lewat media diagnosis si Ibu ini yaitu Demensia dan Depresi. Secara etika kedokteran pengungkapan diagnosis pasien di depan masyarakat sebenarnya tidak dibenarkan kecuali atas perintah hakim, namun lagi-lagi kasus si Ibu ini memang khusus.
Lagi-lagi dalam hal pengungkapan data medis itu di depan masyarakat, DIAGNOSIS penyakit si Ibu menjadi yang disebut-sebut selalu.
Kemampuan Berhadapan Dengan Sidang
Permasalahannya saat ini menurut hemat saya adalah bukan pada Diagnosis si Ibu tetapi lebih kepada "Apakah si Ibu mampu dihadapkan pada persidangan" ??.
Diagnosis pasien bisa apapun tetapi yang paling penting adalah apakah ia mampu dihadapkan dalam persidangan. Dalam beberapa kasus terdahulu yang melibatkan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, hakim perlu melihat dengan bantuan ahli (dalam hal ini dokter jiwa/psikiater forensik) apakah saat melakukan perbuatannya pelaku mengerti akan akibat konsekuensi perbuatannya. Apakah perbuatannya itu bisa dipertanggungjawabkan kepadanya. (lihat pasal 44 KUHP "Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana" )
Diagnosis gangguan jiwa tidak serta merta membebaskan si pelaku dari hukuman, karena kalau demikian maka artinya orang dengan gangguan jiwa ringan seperti insomnia pun bisa bebas dari hukuman karena dalam pedoman diagnosis gangguan jiwa insomnia alias tidak bisa tidur pun termasuk gangguan kejiwaaan.
Kembali ke masalah si Ibu apakah diagnosis penyakit demensia dan depresi yang keduanya merupakan diagnosis gangguan kejiwaan akan membuat si Ibu tidak bisa dihadapkan ke persidangan? Saya rasa perlu pemeriksaan lebih lanjut mengenai hal ini. Fokus selanjutnya adalah bukan pada diagnosis penyakitnya tetapi lebih mengarah kepada kemampuan si Ibu untuk berdiri di persidangan. Jika memang sedang sakit maka atas dasar kemanusiaan bisa diberikan pengobatan yang selayaknya kepada si Ibu, tetapi bukan berarti si ibu lolos dari persidangan.
Kemampuan si Ibu untuk menghadapi persidangan adalah sesuatu yang sangat penting karena dari si Ibu mungkin bisa terungkap kasus yang melibatkan banyak pejabat tinggi negara ini. Semoga segera terwujud.
Salam Sehat Jiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H