Milda Mutia Ramadhani_2221220036
Salah satu pelayanan yang diberikan kepada narapidana adalah pendidikan, dimana prosedur tersebut dilakukan untuk menjamin hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan pemasyarakatan dapat dilaksanakan melalui program jalur pendidikan nonformal, yaitu "program pendidikan kesetaraan" atau Paket A setara SD/MI, Paket B setara SLTP/MTs, dan Paket C setara SLTA/MAN. Pendidikan kesetaraan ditujukan untuk orang-orang yang memiliki keadaan khusus, seperti faktor ekonomi seperti kurang mampu, geografis seperti warga pedalaman, sosial seperti pengangguran, anak jalanan, dan penjahat, atau faktor lainnya (Kintamani, 2012). Saat menjalani hukuman, tak jarang narapidana yang diputus sekolah karena keterbatasan. Oleh karena itu, narapidana yang putus sekolah merupakan bagian dari ketimpangan pendidikan.
Pendidikan adalah aktifitas dan usaha manusia untuk memperbaiki kepribadiannya dan untuk meningkatkan potensi yang ada pada diri manusia, yaitu rohani diantaranya pikiran, tujuan, perasaan, cipta dan hati nurani. Pendidikan juga berarti lembaga yang bertanggungjawab menetapkan tujuan pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan.
Driyarkara mengatakan, bahwa: "Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik".
Pendidikan dan pengajaran untuk narapidana meliputi pendidikan kepribadian dan kemandirian. Pendidikan kepribadian meliputi pembinaan kesadaran hukum, pembinaan kesadaran berbangsa, dan pembinaan kemampuan intelektual. Pendidikan kemandirian meliputi dari program pendidikan keterampilan, keterampilan untuk mendukung usaha industri, dan keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing.
Implementasi Hak Narapidana Melalui Pendidikan Kesetaraan
Moh. Fikri Tanzil Mutaqin, dkk. Jurnal Internasional Pendidikan Asia, Vol. 3, No. 2, Juni 2022, mengatakan "Penyelenggaraan pendidikan di Lapas merupakan upaya pemenuhan hak dan kewajiban dalam membina narapidana untuk mendapatkan pembinaan, pendidikan, dan pengajaran, selanjutnya sebagai upaya pemenuhan hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan Selain pendidikan sebagai faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kesejahteraan subjektif berdasarkan Badan Pusat Statistik (2017), penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan menentukan kepuasan hidup, semakin penting pendidikan bagi narapidana untuk menjamin haknya atas pendidikan. Selain itu, dalam menyelenggarakan pembinaan terhadap narapidana juga dapat dilakukan internalisasi kekuatan karakter, dengan tujuan agar setelah keluar dari masa tahanan, narapidana memiliki kekuatan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari."
Mengenai keadaan kesejahteraan subjektif narapidana. Jika dilihat lebih dekat keterbatasan ini berupa kurangnya kepuasan hidup, kebahagiaan, dan kurangnya kemandirian, perasaan marah dan depresi seringkali hadir dalam kehidupan para narapidana. Â Kesejahteraan subyektif dan pembentukan karakter narapidana kemungkinan besar akan tercapai melalui proses pendidikan. Meskipun pendidikan tidak selalu terlibat dengan persekolahan atau pendidikan formal, tetapi ada jalur pendidikan lain seperti program pendidikan nonformal seperti kesetaraan dalam Paket A, B, dan C. Kesetaraan dalam pendidikan juga dapat dilaksanakan di lapas untuk menampung narapidana yang putus sekolah karena mereka sedang menjadi tahanan karena kasus pidana (Kintamani, 2012). Dalam pengimplementasiannya istilah dalam pendidikan kesetaraan, siswa biasanya menggunakan istilah citizen learning atau dalam arti sempitnya yaitu pendidikan kewarganegaraan.
Perubahan budaya kehidupan dilapas dengan budaya sebelumnya. Secara umum dinamika kehidupan dilapas dapat memicu penurunan kesehatan jiwa, kebahagiaan dan kepuasan hidup. Oleh karena itu para narapidana diharuskan mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang mengarah tentang kesejahteraan subjektif, yang dapat memberikan kepuasan hidup dan kebahagiaan bagi warga belajar dilapas, karena itu, kesejahteraan subjektif penting bagi warga belajar yang menjadi narapidana karena mereka yang sehat kejiwaanya merasa senang dan sejahtera dalam mengikuti semua kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan pendidikan, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam mengikuti pembelajaran dengan lebih efektif dan memberikan pengaruh positif bagi sekolah.
Leidenfrost et al., 2016 menyatakan bahwa "Kesejahteraan subyektif yang lebih tinggi pada narapidana dapat meningkatkan resiliensi, stres emosional yang lebih rendah, kondisi psikologis yang lebih baik, dan adaptasi yang lebih baik di dalam tahanan." Untuk itu, program pendidikan ketimpangan satuan pendidikan nonformal di Lapas harus menerapkan prinsip kesejahteraan dalam setiap kegiatan pembelajaran. Selama ini pelayanan kesehatan jiwa dan gangguan perilaku hanya ada di lembaga konseling (Moh. Fikri Tanzil Mutaqin, dkk).
Melihat hal tersebut dapat dikatakan bahwa perasaan bahagia dan puas juga dapat dimiliki oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan keterbatasan. Hal itu terjadi dari upaya mensyukuri keadaan yang ada saat ini. Sejalan dengan kondisi terebut beberapa peneliti menemukan bahwa dengan bersyukur dapat memberikan suasana hati positif sehingga memberikan kesejahteraan psikologis, sosial, dan fisik (Emmons dkk, 2003; Walkins, dkk, 2003). Aristoteles sebagai filsuf ternama mengungkapkan bahwa kebahagiaan yang sejati hanya akan dirasakan ketika manusia menjalani hidup dengan penuh arti. Kutipan yang telah disampaikan oleh Budiman (2018) bahwa kebahagiaan bukanlah kehidupan tanpa kesulitan, akan tetapi kebahagiaan merupakan proses mensyukuri hal positif ditengah sulitnya hidup.