Konflik multi dimensional timbulnya pada saat terakhir sebelum akhirnya, Saya mengundurkan diri dari kantor setelah 9 tahun bekerja di perusahaan. Singkatnya, Saya telah menyelesaikan kuliah di tingkat akhir fakultas komunikasi jurusan Hubungan Masyarakat dengan gelar Sarjana Ilmu Sosial, S.Sos pada tahun 1997. Saya membayar sendiri biaya semester perkuliahan menggunakan penghasilan Saya dari bekerja. Sebagai anggota ABRI pada era Orde Baru, kedua orang tua kami berada pada status sosial menengah keatas. Setelah kami anak-anak beranjak dewasa, kondisi hubungan persaudaraan kami termasuk dalam kategori Broken Home yang tersamar. Situasi yang tidak rukun demikian terlihat, saat masing-masing kerap kali saling menghindari kejenuhan dan kesulitan keluarga! Pengambilan keputusan-keputusan yang egosentris, saat mulai muncul situasi kesulitan keuangan dari pembalikan pemenuhan kebutuhan ‘tertier', untuk menopang kebutuhan ‘sekunder’ baru kebutuhan ‘primer’. Memang begitulah gaya hidup yang menjadi trendsetter peradaban lokal. Setelah rumah peninggalan orang tua dijual sebagai hasil warisan keluarga. Saya tidak mendapatkan bagian dari uang hasil penjualan rumah itu, yang seharusnya menjadi hak warisan untuk Saya, dari kedua orang tua Saya. Meskipun untuk menjual rumah warisan itu, membutuhkan tanda tangan Saya juga! Memang begitulah yang Saya alami! Saat masuk dunia bekerja bagi Saya adalah seperti membalikkan telapak tangan. Setelah mendapatkan rekomendasi, Saya mulai bekerja dan menguasai mind mapping pemetaan pemikiran, dan wawasan paradigma yang semakin berkembang. Sebagaimana dengan struktur perusahaan yang menerapkan nilai-nilai humanis assesment dan achievement agar sumber daya perusahaan semakin mencapai target kompetensi dan berkualitas menjadi aset profesional bagian dari perusahaan ternama yang mendunia. Saya membangun intelektual yaitu kepribadian dan integritas yang membawa kepada living to the fullest atau hidup dalam ’kepenuhan’ yang bermakna holistik. Dimulai dari learning by doing, sampai membentuk spirit of excellence, pengambilan keputusan sebagai leadership yang mampu bekerjasama dalam team work atau one man show. Kreatifitas dan potensi diri Saya mulai tercipta! Namun kondisi manajemen yang kurang bonafide, ternyata tidak se-bonafide merek perusahaan yang mendunia seiring terjadinya like or dislike, yaitu conflict of interest. Jadi, Saya mengundurkan diri dari tempat kerja. Seterusnya tentang jodoh, Saya tengah menjalin pertemanan intim dengan seseorang lelaki yang telah membuat Saya 'memutuskan' untuk memprioritaskan dirinya apabila ‘kelak' dia meminang Saya. Akan tetapi, pria itu memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya! Namun Saya, tetap memandang wajah Tuhan yang penuh kasih sayang, hubungan kamipun masih terjalin baik hingga hari ini. Kasih sayang kedua orang tua Saya, dan cinta Tuhan yang luar biasa Hati BAPA, jiwa dan rohani Saya tetap free spirit dan merdeka. Pada akhirnya, problematika yang menjadi pergumulan multi dimensional yang signifikan dalam eksistensi Saya adalah, faktor pergaulan dan unsur persahabatan. Dalam dunia bekerja tipe pergaulan yang diterapkan adalah konsep peer group atau rekan sejawat. Seperti empat bentuk kepribadian yaitu sanguinis, phlegmatic, choleric dan melancholic  dapat mempengaruhi prestasi dalam lingkungan bekerja. Akan tetapi seiring dengan formalitas bekerja di kantor, Saya telah menyandang cap atau stigma, sebagai akibat kesalahpahaman tanpa pernah diklarifikasi-kan, banyak di salah mengertikan, sehingga bermakna kecelakaan kerja. Saya memutuskan untuk menanggapi dampaknya secara pribadi atas imbas dan segala akibatnya. Saya menggabungkan diri dalam pelayanan kategorial di gereja lokal sebagai bagian dari panggilan pelayanan persekutuan jemaat dan pelayanan kesaksian. Faktanya suatu kegagalan kehidupan, seperti telah disebutkan sebelumnya, ada oknum Si Jahat yang terus menerus mencuri, membunuh, dan membinasakan, hanya damai sejahtera dan sukacita Tuhan tidak pernah meninggalkan diri Saya. Persekutuan iman yang terbentuk secara mudah dalam konsep Cell Group, atau Gereja Sel kembali ke metode gereja mula-mula abad pertama. Dalam berbagai tingkat kesenjangan  yang tinggi di dalam jemaat, seharusnya semakin membawa kerukunan dan persatuan bukanlah memecah belah. Oleh karena itu saling 'menghormati’ menjadi sangat penting! Apalagi, saling ‘menghargai’ malahan rentan menimbulkan faham ke-‘kurangajar’an, bukanlah lambang ke-kristenan yang identik dengan 9 buah-buah rohani yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kemurahan, kesabaran, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, penguasaan diri, yang adalah karakteristik Kristus sebagai Kepala Gereja. Sebagai gereja tradisi yang menjadi denominasi tertua di Indonesia, terorganisir dengan kategorial usia dan lembaga keluarga, jemaat sebagai pribadi-pribadi yang secara harmonis bertumbuh di dalam kebersamaan persekutuan saudara seiman dan peribadatan. Seiring terus berjalannya waktu Sambil terus menjaga tali silaturahmi, sesungguhnya semua orang akan melupakan konflik yang terjadi, bahkan pada akhirnya akan hilang dan dilupakan dengan sendirinya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H