Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Penjual Kopi

Orangtuaku memberi nama Supriyadi. Boleh kalian panggil aku Pry

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maaf

6 Juli 2016   03:53 Diperbarui: 6 Juli 2016   04:07 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran, hari ini kita lebaran. Berseliweran dan mondar-mandir bersilaturahmi mengunjungi keluarga dan tetangga. “Maaf”. Kata satu ini yang terucap. Satu tahun sekali. “Jangan patah harapan, jangan patah semangat, jangan hentikan tradisi ini”.  Tradisi maaf hanya ada dalam lebaran. Itu pun terjadi satu tahun sekali. Satu tahun adalah waktu yang cukup pendek, dan “maaf” adalah ungkapan yang mahal. Oleh sebab itu, kesalahan dan kealpaan akan menumpuk, jika tidak segera saling memaafkan pada hari ini, 1 Syawal 1437 H, Rabu (6/7/2016).

Rasa kangen, rindu, dan cinta secara perlahan akan pupus, jika kita sudah tidak mengenal (kan) tradisi silaturahmi. Kita pasti akan berhadapan dengan suasana saling mencurigai dan mendendam. Kemarahan akibat kecurigaan, selalu berputar dalam hati yang seringkali menonjolkan sak wasangka. Begitu pula kemarahan akibat masih menyimpan dendam, selalu memunculkan kasak-kusuk. Kalau sudah demikian, dari mana kita mampu menjaga suasana kondusif dalam kehidupan ini; jika sifat dan sikap benci dan dendam masih mematri dalam diri kita.

Berserakan, dalam sejarah peradaban bangsa ini berkisah; bahwa ungkapan maaf sesuatu yang gengsi, setelah terjadi perhelatan demokrasi. Silang sengketa; kelompok pro dan kontra. “Maaf”  jarang kita temui, setelah menggelar kontestasi pemilihan umum. “Maaf” jarang pula kita temui dalam kepemimpinan bangsa ini, setelah memperkeruh dan merebut hati rakyat untuk capaian kekuasaannya; pemilihan presiden, pemilihan bupati dan walikota maupun pemilihan gubernur.. 

 Justru yang terjadi, para pemimpin yang berkepentingan, yang semestinya mengambil bagian melangkah saling bermaaf, sebagai ungkapan saling mendekap untuk memudarkan kebencian. Malah membumbungkan rasa curiga dan dendam untuk bualan politiknya.  

Bulan Mei lalu, gagasan untuk meminta maaf terhadap korban tragedi 1965; yang notabene mereka simpatisan atau pendukung Partai Komunis Indonesia masih terasa. Tetapi apa daya,  maaf  yang digagas pemerintah sekadar proyek gelaran panggung belaka. Yang terjadi memunculkan riak panas di kalangan rakyat. Hasilnya apa? Simposium versus simposium. Tentu saja tak sedikit anggaran yang digunakan dalam perhelatan tersebut. Siapa yang bertanggung jawab atas penggunaan uang rakyat tersebut? Apa hasilnya? Curiga. Rakyat pantas curiga. Kecurigaan itu permasalahan baru.

“Maaf’ dalam tradisi lebaran bukan sekadar pantun boyak; tak sedap, hanya basa-basi. Melalui lebaran, secara alamiah rekonsiliasi rakyat terjadi. Peristiwa ini negara tidak banyak tahu, pemerintah tidak tahu, politisi tidak tahu, sosiolog tidak tahu. Begitu pula kelompok yang menamakan diri toleran dan intoleran; FPI dan JIL, sama sekali tidak tahu.

Terbukti tanpa kita sadari dan sudah terjadi di setiap daerah, baik mereka yang disebut priyayi, abangan, dan nasionalis, ketika hadirnya lebaran saling bermaafan bertujuan menyemai cinta. Banyak cerita rakyat di Mataraman, Pandalungan maupun Panaragan, di kantong-kantong sengketa pertaruhan politik ideologi, pasca tahun 1965. Dengan menerapkan cara bersilaturhami di bulan Syawal; yang biasa disebut lebaran atau Idul Fitri. Mereka sudah saling “berpelukan”.  Kedamaian pasca itu cukup terasa. Sisi-sisi tersebut, terlihat gamblang dengan kehidupan mereka dengan kegotong-royongan dalam bentuk saya atau sayan. Saling membantu membangun rumah berjalan tanpa ada undangan resmi; mereka datang berbondong-bondong mendatangi rumah yang akan dibangun, mengerjakan sesuai kemampuannya tanpa imbalan upah.

Bahkan ada yang cukup menarik, mereka sudah banyak bebesanan; menjodohkan anak lelakinya dengan anak perempuannya. Karena mereka banyak yang berprinsip, masa lalu tak seharusnya menjadi kenangan. Menjalankan hidup, sak iyek sak eko proyo lebih utama dari pada berseteru antar tetangga. Secara realistis mereka menangkap firman Alla swt : Dan tolong-menolonglah kalian atas kebaikan dan taqwa. Dan janganlah kalian tolong-menolong atas dosa dan permusuhan. (QS : 5 : 2). 

Selamat berlebaran, rayakan dengan penuh suka cita, condongkan hati sesuai makna lebaran; lebar, luas, membuka, jujur, mengakui segala kesalahan dengan mengucap maaf. Seperti yang dicetuskan KH. Wahab Chasbullah; thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Dan halâl yujza’u” bi halâl: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan. (*)                                                                                                                                                                                                              

Lamongan, 1 Syawal 1437 H/6 Juli 2016 M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun