Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Penjual Kopi

Orangtuaku memberi nama Supriyadi. Boleh kalian panggil aku Pry

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang-ruang Imajinasiku: Ending-kah?

21 April 2016   23:55 Diperbarui: 22 April 2016   04:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi / Hendro D. Laksono"][/caption]Lelaki yang memilih duduk sendiri di sudut café  kota itu, menunjukan raut muka kecewa. Jiwanya baru saja tersendak sebuah peristiwa. Hubungan esensinya bersama seorang perempuan yang tengah dijalani dengan klimaks. Ternyata berakhir dengan kisah pernikahan yang dilakukan oleh perempuan itu.

Sebenarnya ia sadar kisah hubungan esensi itu hanya terjadi pada Sartre dengan Simone asal Perancis. Dalam gumamnya, tak mungkin kisah itu berulang pada orang lain apalagi dirinya. “Karena dua insan filsuf itu lebih dulu memetik rekayasa yang mengalahkan takdir, “ ucapnya dalam kesendirian.

Setatap pandangannya keluar di depan pintu  ia menghentikan lamunan berat itu. Tangannya bergerak-gerak mirip menyembunyikan sesuatu. Karena diketahui di balik pintu café, dua orang polisi kota sedang mondar-mandir.

Belum berhenti ia menggerakkan tangan. Suara tak asing bagi dirinya mampir dalam telinga. "Dor...dor...dor...," . Tiga kali tembakan. Lalu lelaki itu melongokkan kepala tanda mencari tahu. Separoh dari balik kaca pintu ia melihat tubuh kurus bertatto sedang terkapar.  Darah keluar dari dada kiri. Sejenak kota itu terasa hening.

Tanpa berpikir panjang ia membuat analisa sosial, polisi kota yang sedang merobohkan dua bandit kota itu; diketahui selama ini sering membuat resah warga kota. Sekilas ia sendiri di café kota itu sempat bertatapan mata dengan dua bandit itu. Kepongahan bandit itu ia tak hentinya tatap dengan matanya yang tajam.

Berbekal analisa sosial ia tak begitu tertarik dengan peristiwa kriminal itu. Ia kembali menyematkan tempat duduk, meski diluaran mulai terdengar suara beberapa wartawan mewawancari komandan polisi kota. Ia  kembali diam dalam duduk sambil menikmati chivas regal; mengesankan tidak terjadi sesuatu yang berjarak dengan tubuhnya.

Rokok kretek kembali ia nyalakan. Sesekali mengusap hidung yang tak beringus. Matanya sedikit diliarkan dalam pandangan. Tepat tak begitu jauh dari duduk, pandangannya menatap dua lelaki sedang ngobrol saling bergantian menempelkan mulut ke telinga. Seorang perempuan di depannya tampak perempuan cantik, bersepatu high heel dan hanya mengenakan you can see.

Searah matanya sambil senyum tersungging menatap perempuan itu sedang menghisap rokok. Sementara paha  kaki kanan yang hanya mengenakan cuts jeans tepat pada arah pandangan; terlihat bergambar tattoo beruang.

“Pelacur…!, “ sentaknya dalam hati.

Lalu ia menghentikan keisengannya. Meredam sok ingin tahu apa yang akan dilakukan dua lelaki dan satu perempuan itu. Ia lalau kembali mengasikkan dirinya dengan gadget bawaannya; yang tak pernah putus dengan situs berita dari sebuah media online. Baginya salah satu online itu masih layak untuk dibaca; dibanding online lain yang beritanya penuh kebohongan dan copy paste.

Lelaki itu lalu meraih tas dan mengambil buku kecil dan bolpoint. Ia terlihat menulis sesuatu dan mencorat-coret buku kecil itu. Itulah cara yang dilakukan untuk menghitung waktu nisbi; selama ini yang ia pahami sebagai hitungan keserempakan tujuan.     

Ia tak ingin hidup ini kembali pada waktu nisbi. Hidupnya terus berpacu dalam gerakan nylon yang sudah diukur dengan metode SWOT; kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Ia tetap tak peduli, meski metode itu banyak yang menyebut: metode yang banyak dipengaruhi spekulasi. Namun baginya, kegagalan yang selalu terjadi karena membiarkan hidup dalam waktu nisbi. Dan SWOT baginya cara yang tepat  menjadi problem solving.  

“Kali ini aku tak boleh gagal, “ gumamnya. “Skandal cinta para petinggi Negara harus kita bongkar, “ ketusnya sambil memesan chivas regal kembali.

Satu per satu nama lelaki pejabat yang sudah tercantum angka dalam list daftar nama di buku itu. Ia lingkari dengan bolpoint merah. Nama-nama lelaki pejabat itu, mereka yang disebut-sebut selama dikencani perempuan yang sering disebut “tubuh negera”, yang juga dikenal janda aktivis kampus.

“Hem, “ Ia menyimpulkan senyum sinis. “Tubuh negera, lucu amat sebutan ini, “ kata sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

Sebutan tubuh Negara adalah kode untuk perempuan yang selama ini bercinta dengan para pejabat negera; baik di legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Sebutan tubuh Negara untuk memudahkan melakukan identifikasi. Terakhir ia dapat bocoran, “tubuh Negara” sedang dekat dengan seorang jenderal, yang selama ini diketahui otak dari genosida warga pelosok desa di perkebunan tebu.  

 Siapakah tubuh Negara itu? Tiba-tiba di telinganya mendenging, seolah ada suara menekan supaya ia menyebut; siapa perempuan yang disebut tubuh negera itu. Ia pun terlihat melawan tekanan suara itu. Tubuh menggeliat dan tangannya diacung-acungkan.

Tak heran apa yang ia lakukan menjadi perhatian pengunjung café kota lainnya. Ia sadar akan menahan suara. Karena ketidak-mampuanya, akhirnya ia berteriak dengan kencang. “Tidakkkkk…, “ bersamaan padamnya lampu kota. (#)

*) tulisan ini copas status fesbuk saya; 21 November 2015 dan sedikit saya ubah untuk kompasiana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun