Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Penjual Kopi

Orangtuaku memberi nama Supriyadi. Boleh kalian panggil aku Pry

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang-ruang Imajinasiku: Ending-kah?

21 April 2016   23:55 Diperbarui: 22 April 2016   04:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia tak ingin hidup ini kembali pada waktu nisbi. Hidupnya terus berpacu dalam gerakan nylon yang sudah diukur dengan metode SWOT; kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Ia tetap tak peduli, meski metode itu banyak yang menyebut: metode yang banyak dipengaruhi spekulasi. Namun baginya, kegagalan yang selalu terjadi karena membiarkan hidup dalam waktu nisbi. Dan SWOT baginya cara yang tepat  menjadi problem solving.  

“Kali ini aku tak boleh gagal, “ gumamnya. “Skandal cinta para petinggi Negara harus kita bongkar, “ ketusnya sambil memesan chivas regal kembali.

Satu per satu nama lelaki pejabat yang sudah tercantum angka dalam list daftar nama di buku itu. Ia lingkari dengan bolpoint merah. Nama-nama lelaki pejabat itu, mereka yang disebut-sebut selama dikencani perempuan yang sering disebut “tubuh negera”, yang juga dikenal janda aktivis kampus.

“Hem, “ Ia menyimpulkan senyum sinis. “Tubuh negera, lucu amat sebutan ini, “ kata sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

Sebutan tubuh Negara adalah kode untuk perempuan yang selama ini bercinta dengan para pejabat negera; baik di legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Sebutan tubuh Negara untuk memudahkan melakukan identifikasi. Terakhir ia dapat bocoran, “tubuh Negara” sedang dekat dengan seorang jenderal, yang selama ini diketahui otak dari genosida warga pelosok desa di perkebunan tebu.  

 Siapakah tubuh Negara itu? Tiba-tiba di telinganya mendenging, seolah ada suara menekan supaya ia menyebut; siapa perempuan yang disebut tubuh negera itu. Ia pun terlihat melawan tekanan suara itu. Tubuh menggeliat dan tangannya diacung-acungkan.

Tak heran apa yang ia lakukan menjadi perhatian pengunjung café kota lainnya. Ia sadar akan menahan suara. Karena ketidak-mampuanya, akhirnya ia berteriak dengan kencang. “Tidakkkkk…, “ bersamaan padamnya lampu kota. (#)

*) tulisan ini copas status fesbuk saya; 21 November 2015 dan sedikit saya ubah untuk kompasiana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun