Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Penjual Kopi

Orangtuaku memberi nama Supriyadi. Boleh kalian panggil aku Pry

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Baliyem, Si Bocah Penjual Bakwan Malang

15 April 2016   13:46 Diperbarui: 15 April 2016   17:15 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Baliyem Penjual Bakwan Malang"][/caption]Satu ini potret kehidupan di negeri kita dan masih banyak potret lain, mungkin saja lebih mengharukan dari pada kisah Baliyem. Bocah lelaki baru berusia 13 tahun ini, mengais kebutuhan hidup sendiri dengan jualan bakwan Malang.

Sore itu, Kamis (14/4/2016) pukul 17.00 WIB, Baliyem membunyikan alat dagangannya; tek…tok…tek…tok. Sayup-sayup terdengar. Saya yang kebetulan ingin makan yang pedas dan hangat karena terserang flu. Beranjak dari duduk menuju joglo yang berada di lantai dua. Saya mencari sumber suara; tek…tok itu, sambil tangan berpegangan pada pembatas joglo.

Saya tidak langsung menemukan sumber suara itu. Meski tubuh saya sudah  condong ke depan dan kepala clingak-cliguk ke kiri dan ke kanan. Sekali lagi suara; tek…tok itu terdengar mulai jelas. Tepat pada tolehan ke arah kiri, persis dari arah timur. Bocah itu memikul barang dagangannya. Menyusuri antara pemukiman rumah tempat tinggal saya dengan pagar tembok pembatas tanah Telkomsel di Jalan A. Yani Surabaya.

Saya membatin, bukankah ini bocah yang kemarin sore? Ya, sebelumnya Baliyem sempat berpapasan dengan saya. Ketika saya berboncengan motor dengan Fajar, salah seorang teman. Baliyem sempat menghindari motor yang dikemudikan Fajar sambil memikul bakwan. Terlihat wajahnya berkeringat. Rasa keterharuan pun mampir dalam diri saya.   

“Jar, bocah cilik dodolan, katek mikul. Mesakno Jar, “ kataku kepada Fajar, Rabu (13/4/2016). (anak kecil jualan, mikul lagi. Kasihan)

“Piye maneh lek. Apa yang kita andalakan terhadap negeri ini. Masak hal-hal seperti itu menjadi perhatian pemerintah, “ gumam Fajar.  

Dari atas jok motor saya sempatkan memutar tubuh memastikan melihat. Ternyata benar dia masih bocah; berjuang menata hidupnya dengan jualan bakwan.  

Hari pun berjalan tiba saatnya saya benar-benar bertemu bocah itu. Dari atas joglo lantai dua, saya lambaikan tangan. Tanpa sengaja mungkin, Baliyem mendongakkan kepala. Dia tahu kalau saya mau beli. Terlihat dia mengebatkan jalannya. Saya segera menuruni tangga. Baliyem pun sudah berada di depan pintu pagar.

“Bakwane le, “ kata saya.

“Berapa om, “ jawab Baliyem.

“Ini boleh kan?, “ ujar saya dengan menyordorkan uang Rp 10.000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun