Mohon tunggu...
Dhihram Tenrisau
Dhihram Tenrisau Mohon Tunggu... profesional -

Dokter Gigi muda, Unprofessional musician

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hai Calon Dokter, Ingatlah Budi Utomo!

20 Mei 2015   15:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tahun 1966, John Lennon dan Paul McCartney menciptakan lagu berjudul “Doctor Robert” dari album Revolver. Lagu ini menyiratkan sebuah stereotip penyelamat dari segala penyakit dan keresahan yang bersarang di tubuh serta kehidupan pentolan The Beatles tersebut.L tersebut tak salah. Toh di bentangan dunia, dokter lebih dari seorang yang bekerja dengan stetoskop, suntik, dan tensi. Lebih dari itu mereka adalah agen sosial. Tak jarang melahirkan kesadaran, perubahan sosial, bahkan menciptakan peradaban damai dibawah prinsip sehat. Imhotep dari Mesir kuno dan Hippokrates dari Yunani adalah perintisnya.

Mari kembali ke Indonesia, yang dimana tiap wisudanya mengumandangkan sumpah pengabdian Hippokrates. Gagasan diatas memang dilihat oleh dr. Wahidin dan para sesepuh Budi Utomo di STOVIA. Ilmu kedokteran yang awalnya untuk memberantas endemic cacar yang menjangkit, membuka pikiran mereka yang masih menempuh pendidikan bahwa penyakit cacar tersebut lahir karena kebodohan dan sekat dalam masyarakat. Perjuangan yang mempertemukan kelas priyayi dan wong cilik di bawah bendera edukasi, budaya, dan sosial. Tanggal 20 Mei pun menjadi tanggal dimana Budi Utomo berdiri. Hingga hari ini perannya dalam pergerakan nasional tertorehkan dalam tinta sejarah bangsa.

Tinggal Kenangan

Mungkin semuanya kini telah berbeda. Kini mahasiswa lingkup kedokteran dan kedokteran gigi sudah banyak yang lupa akan sejarah. Mereka lupa dibalik ramainya parkiran mobil yang berjejer di depan fakultasnya, ada sejarah bahwa para perintisnya hanyalah anak – anak hasil dari politik etis dan kekurangan tenaga kesehatan di zaman dahulu. Mereka lupa bahwa dibalik sakit yang dipelajari di dalam textbook yang tebal tersimpan segala faktor dari sakit entah itu kebodohan masyarakat, kemiskinan, atau eksploitasi yang mengekang. Mereka lupa dibalik nama besar dan kemapanan institusi, tersimpan perlawanan atas feodalisme dan penindasan yang ironisnya sampai hari ini masih terasa di dalamnya. Mereka lupa di jas putih mereka yang mentereng tersimpan kenangan kesadaran kritis anak muda Budi Utomo dalam membela para mustadafin (yang tertindas) lewat edukasi

Mereka kini dilatih melihat tubuh manusia seperti motor yang tidak bernyawa dan memiliki perasaan. Ciri postivistik melekat pada pendidikannya. Seperti melihat penyakit haruslah sesuatu yang nampak di depan mata dan berdasarkan skala – skala dalam tensi ataupun hasil lab. Kepadatan akademik menjadi alasan seorang calon dokter “mengabdi” di dalam dunia textbook. Berorganisasi, ilmu sosial, filsafat, & sastra dianggap tidak penting, bahkan menjadi penghalang mencapai gelar. Kobaran semangat humanisme yang dimiliki oleh Ibnu Sina dan Elizabeth Blackwell (perempuan dengan gelar dokter pertama di Inggris dan Amerika Serikat) meredup dalam kurikulum yang padat.

Mungkin hal itulah yang sering diceritakan oleh rekanan dan senior. Kisah bagaimana sulitnya beradaptasi dengan lingkungan tempat kerja dan masyarakat di PTT (Pegawai Tidak Tetap) ataupun saat mengabdi di daerah. Tak jarang dari mereka hanya berorientasi materil dalam pengabdian. Pengabdian dinilai berdasarkan insentif  daerah dan kenyamannan lainnya. Melihat pasien berdasar jumlah pundi uang yang dapat mereka habiskan dalam ruang praktek, tanpa memberi perhatian dan rasa nyaman bagi mereka, dengan alasan antrian pasien yang menumpuk.

Ingat Budi Utomo

Soekarno pernah mengumandangkan, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Bukan bermaksud bersifat revivalis ataupun euforia dengan masa lalu, namun sejarah adalah pengingat apabila kita telah lupa akan arah ataupun peran kita. Sama seperti mahasiswa dan institusi kedokteran  yang terjebak seremonial di Hari Kebangkitan Nasional di tanggal 20 Mei.

Perlu diingat menjadi seorang dokter bukan cuma soal suntik intra vena, soal obat, soal tekanan darah, soal gula darah. Saya sepakat dengan seorang fisikawan dan filsuf Fritjof Capra bahwa dokter adalah soal kemanusiaan yang jamak, manusia akan sesamanya, manusia akan alamnya, dan manusia akan lingkungannya.

Hal tersebut sebenarnya sudah tercakup dalam dokter five star WHO - gagasan dokter yang menjadi agen sosial dan pemimpin di masyarakat - yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh Budi Utomo. Ruang itulah yang perlu digali bagi para dokter untuk senantiasa dapat berpikir holistik saat turun ke masyarakat.

Paradigma dokter tak akan terbentuk jika sistem pendidikannya masih “sakit”. Pendidikan dokter harusnya menciptakan dokter yang mengobati manusia, bukan dokter yang cuma membaca textbook, ataupun dokter yang selesai dalam waktu cepat. Sekiranya para mahasiswa perlu lebih merasakan kondisi masyarakat dan mempelajari mengorganisir kelompok dan kesadaran akan politik – bukan terjebak politik praktis – saat bermasyarakat. Institusi harus sadar bahwa kesadaran kritis akan lahir dari lingkungan pendidikan yang tak terkunkung dalam pusara akademik.

Sekiranya saya menyadari, tulisan ini bisa dibilang hampir utopis atau idealis. Anggap saja tulisan ini doa dan harapan yang mungkin bisa memacu untuk teman – teman senior sejawat ataupun rekan yang bersama penulis masih berjuang menyelesaikan studinya. Semoga kita semua dapat menjadi arif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun