Mohon tunggu...
Dhihram Tenrisau
Dhihram Tenrisau Mohon Tunggu... profesional -

Dokter Gigi muda, Unprofessional musician

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Antibiotik Sudah Mati ??

17 April 2015   08:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:00 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan di sebuah apotik di lingkungan anda. Sebuah apotik dengan kursi – kursi tunggu, dengan para apoteker yang meramu dibalik dinding yang membatasi rak – rak berisi obat yang berseliweran, menunggu nomor antrian para pasien ataupun kerabatnya yang menunggu obat.  Menunggu akan hadirnya kapsul, pil, atau bahkan sirup, demi melanjutkan hidup mereka.

Di kursi – kursi tunggu berjejerlah para pemesan obat. Di antara mereka ada yang memegang resep atau bahkan tidak ada sama sekali. Ada yang menggunakan anjuran dokter, bahkan ada yang memesan obat atas dasar “kebiasaan” atau doktrin awam. Dari sakit kepala hingga sakit paling berat sekalipun, ada kesamaan di antara mereka, yaitu memasukkan dalam daftar pesanannya yang disebut antibiotik – amoxicillin, amoxan, cefadroxil, ciprofloxacin, dan lainnya – sebagai salah satu adi karya manusia dalam menghadapi serangan penyakit.

Antibiotik hadir sebagai salah satu perkembangan ilmu pengetahuan dalam menghadapi tantangan zaman. Adalah Alexander Fleming, seorang ahli biologi dari Skotlandia yang memulainya. Tahun 1928, penisilin sebagai antibiotik pertama lahir dalam memerangi mikroba serta bakteri yang dianggap menjadi sumber segala penyakit masa itu. Perang dunia kedua adalah saksi bagaimana antibiotik ini menjadi “messiah” bagi serdadu Amerika dan sekutunya yang terluka. Peran pentingnya yaitu mengurangi jumlah gangren – matinya sel yang disebabkan infeksi pada luka terbuka – serta kematian di masa itu

Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan medis hingga ke tingkat terkecil yang disebut biomolekuler, penisilin ini kemudian berkembang penggunaannya. Begitupun juga antibiotik yang terus menerus berkembang dalam berbagai jenisnya. Kehadirannya adalah Angin segar akan Penyakit “pop” Tuberculosis, atau penyakit menular seksual seperti Syphilis dan Gonorrhea. Tak salah bila antibiotik kemudian dikategorikan penemuan revolusioner di abad 20.

Setiap penemuan manusia memiliki titik baliknya, begitu pula yang terjadi pada antibiotik. Adalah bakteri dan mikroba yang kemudian selama ini dapat dengan santai diselesaikan dengan formulasi 3x1, justru kini menjadi kebal sebagai akibat penggunaannya yang tidak terkontrol. Kuman tersebut bermutasi dan menjadi kebal istilahnya “Superbug”. Laporan dari WHO tahun 2014, menyebutkan obat – obatan anti bakteri telah sudah tidak mampu menangangi perkembangan dari Gonorrhea, Staphlylococcus aureus - penyebab jerawat, infeksi paru, otak, dan lainnya - , ataupun E.coli - jika jumlahnya berlebih dalam tubuh dapat menyebabkan diare - .

Bisa dibilang saya salah seorang yang ragu mengaminkan pendapat Mae-Wan Ho, seorang ahli genetika yang mengatakan “Antibiotik sudah gagal”. Namun semua berubah lewat laporan mengerikan WHO tahun 2014,  bahwa resistensi antibiotik dan “Superbug” sudah hadir secara global. Lanjutnya, kelak kita akan menuju ke kematiannya yaitu post-antibiotics era, suatu masa di mana antibiotik sudah tidak mampu memberikan jawaban akan permasalahan – permasalahan manusia. Antibiotik mungkin kelak akan menjadi kisah nostalgia dalam sejarah pengobatan yang di museumkan.

Sudah ada jutaan orang yang terpapar serta puluhan ribu kasus kematian setiap tahun di Amerika Serikat. Diprediksikan di seluruh dunia akan lebih banyak lagi kematian tiap tahunnya hingga tahun 2050. Ketakutan itulah yang menyebabkan Barrack Obama mengeluarkan kebijakan untuk menindaki dalam program lima tahun untuk memerangi resistensi antibiotik yang bermanifestasi dalam “Superbug”.

Kita bercermin di lingkungan kita. Ada sebuah pakem dan kebiasaan bagi dokter untuk meresepkan antibiotik sekecil apapun sakit yang dideritanya, seorang dokter seakan merasa “gatal” jika kertas resep tidak mencantumkannya, dengan rasionalisasi kecemasan akan keparahan penyakit. Sama juga dengan pasien, kemudahan dan lemahnya pengawasan dalam mengakses obat tersebut di apotik disertai adanya pemahaman dan pengalaman “secuil” mengenai farmasi menjadi alasan bagi lahirnya doktrin penggunaan antibiotik di masyarakat awam.

Sekiranya penggunaan antibiotik lebih untuk mengatasi rasa angst – kecemasan – yang kontraporduktif, menjadikan manusia takut akan penyakit yang memangsanya. Kebiasaan itu kemudian senantiasa berulang jika sakit terjadi, dan menjadikan bagian dari rutinitas tanpa disertai pemikiran yang mendalam, tanpa bertanya “Apakah obat ini sudah benar ?”. Martin Heidegger menyebutnya sebagai das man. Itulah yang terjadi di masyarakat bahkan di apotik yang di awal di sebutkan.

Kita kembali di apotik yang tadi.  Manusia yang menunggu itu masih saja belum menyadari bahaya, antrian itu masih bertambah dengan pesanan yang sama. Doktrin yang diwariskan itu masih juga sama. Semoga kelak mereka tidak terjebak dalam rasa yang menenangkan namun di dalamnya tersimpan kehancuran kelak seperti dalam lagu Pink Floyd Comfortably Numb

The child is grown

The dream is gone

I have become comfortably numb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun