Mohon tunggu...
Lury Sofyan
Lury Sofyan Mohon Tunggu... Ilmuwan - Behavioral Economist

find me: https://www.linkedin.com/in/lurysofyan/

Selanjutnya

Tutup

Financial

Tapera: Debat Libertarian Paternalism

2 Juli 2024   16:28 Diperbarui: 2 Juli 2024   16:28 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, isu #TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) kembali memanaskan jagat media sosial dan politik. Program yang digagas pemerintah ini bertujuan untuk meningkatkan akses kepemilikan rumah bagi masyarakat, terutama bagi kaum muda. Namun, TAPERA menuai pro dan kontra yang cukup sengit.

Secara garis besar, TAPERA mewajibkan setiap pekerja untuk menabung sebagian penghasilannya untuk membeli rumah. Dana yang terkumpul akan dikelola oleh Badan Pengelola TAPERA (BPT) dan digunakan untuk memberikan pinjaman perumahan dengan bunga rendah.

Dampak Tapera terhadap masyarakat masih belum sepenuhnya jelas. Di satu sisi, program ini diharapkan dapat membantu masyarakat, terutama kaum muda, untuk memiliki rumah sendiri. Di sisi lain, banyak yang khawatir bahwa Tapera akan membebani masyarakat dengan biaya tambahan dan dapat disalahgunakan oleh pengelola dana.

Tantangan Kepemilikan #Rumah bagi Kaum Muda

Rasio kepemilikan rumah di Indonesia tergolong rendah, terutama bagi kaum muda. Menurut data #BPS tahun 2022, hanya 30,82% rumah tangga di Indonesia yang memiliki rumah sendiri. Faktor utama yang menyebabkan rendahnya rasio ini adalah harga rumah yang tinggi, akses pembiayaan yang terbatas, dan gaji yang tidak memadai.

Kaum muda, khususnya di kota-kota besar, menghadapi tantangan yang lebih besar dalam memiliki rumah sendiri. Harga rumah di kota besar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gaji rata-rata. Akses pembiayaan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) juga terbatas, terutama bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan tetap atau memiliki penghasilan yang tidak stabil.

Saving rate (tingkat tabungan) orang Indonesia masih tergolong rendah. Menurut data Bank Indonesia, saving rate di Indonesia hanya sekitar 6% di tahun 2022. Hal ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.

Kesulitan menabung untuk rumah menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya rasio kepemilikan rumah di Indonesia. Banyak orang yang tidak memiliki kebiasaan menabung dan tidak mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli rumah.

Kebijakan Libertarian Paternalism

Libertarian paternalism adalah sebuah pendekatan kebijakan yang menggabungkan dua konsep yang tampaknya berlawanan: libertarianisme, yang menekankan kebebasan individu, dan paternalisme, yang mengacu pada campur tangan pemerintah untuk kebaikan individu tersebut. #Libertarianpaternalism mengusulkan intervensi pemerintah untuk membantu orang membuat keputusan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri, bahkan jika mereka tidak secara eksplisit menyetujuinya. Dalam konteks TAPERA, libertarian paternalism dapat digunakan untuk "membenarkan" program ini sebagai cara untuk membantu orang mencapai tujuan mereka untuk memiliki rumah sendiri.

Membuat keputusan untuk menabung menjadi keputusan #default dapat menjadi solusi untuk meningkatkan rasio kepemilikan rumah di Indonesia. Dengan membuat program ini menjadi pilihan default, pemerintah dapat membantu orang untuk menabung secara otomatis tanpa harus memikirkannya.

Konsep libertarian paternalism sendiri memang kontroversial. Oponen libertarian paternalism menekankan empat hal yang kontroversial. Pertama adanya manipulasi terselubung. meskipun pilihan tetap tersedia, cara penyajiannya bisa mempengaruhi keputusan secara signifikan. Ini dianggap sebagai manipulasi karena individu mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang diarahkan menuju pilihan tertentu.

Kedua adalah tanggung jawab individu. Ada pandangan bahwa intervensi semacam ini mengurangi tanggung jawab individu untuk membuat keputusan yang benar. Paternalism, dalam bentuk apapun, bisa dilihat sebagai upaya untuk meremehkan kemampuan orang untuk membuat keputusan sendiri.

Ketiga adalah standard keputusan baik. Siapa yang berhak menentukan apa yang dianggap sebagai keputusan yang baik. Standar ini bisa sangat subjektif dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kepentingan pembuat kebijakan, yang mungkin tidak selalu selaras dengan kepentingan individu. Selain itu, jika kebijakan bukan diambil dari keputusan yang profesional dan independen. Kebijakan tersebut menjadi bersifat otoriter dan zalim.

Keempat adalah kebebasan dan otonomi. Setiap bentuk intervensi, betapapun halusnya, pada dasarnya bertentangan dengan prinsip kebebasan dan otonomi individu. Mereka menekankan bahwa individu harus diberi kebebasan penuh untuk membuat keputusan, bahkan jika keputusan tersebut mungkin tidak optimal.

Dilain pihak, proponen berpendapat bahwa manusia tidak se-efektif itu dalam memilih keputusan yang terbaik dalam hidupnya. Kita sering melakukan kesalahan pengambilan keputusan bahkan untuk hal-hal yang sepele. Hal ini terjadi karena kompleksitas interaksi antara kognisi dan emosi sehingga kebijakan default seperti TAPERA sangat membantu. 

Sebagai contoh, dalam berkendaraan, untuk mengurangi tingkat kematian pada dalam kecelakaan lalu lintas, kebijakan pembuatan mobil mengharuskan sabuk pengaman harus selalu terpasang. Jika tidak, suara peringatan akan terdengar terus. Disain default ini didasarkan pada orang sering lupa atau malas menggunakan sabuk pengaman walaupun tau risikonya. Pemerintah Amerika Serikat menerapkan kebijakan auto-enrollment dalam program pensiun. Pekerja secara otomatis didaftarkan dalam program pensiun oleh perusahaan mereka, namun tetap memiliki opsi untuk keluar (opt-out). Pendekatan ini terbukti meningkatkan jumlah pekerja yang menabung untuk pensiun, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan mereka di masa depan. Inggris menerapkan sistem opt-out untuk donor organ, dimana semua warga negara dianggap sebagai donor organ kecuali mereka memilih untuk tidak menjadi donor. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah donor organ dan telah menunjukkan hasil yang positif dalam meningkatkan ketersediaan organ untuk transplantasi. Di Swedia, program pensiun dirancang agar pekerja secara otomatis menginvestasikan sebagian dari kontribusi pensiun mereka dalam dana yang dikelola oleh pemerintah, dengan opsi untuk memindahkan investasi ke dana lain sesuai pilihan mereka. Hal ini memastikan bahwa semua pekerja memiliki investasi pensiun, meskipun mereka mungkin tidak memiliki pengetahuan atau minat untuk memilih sendiri.

Dalam konteks menabung juga demikian. Walaupun semua orang tau menabung itu penting, ada keterbatasan kontrol diri untuk menunda kesenangan sekarang untuk kepentingan masa depan (present bias) sehingga belanja selalu lebih menyenangkan dibanding menabung.

Titik temu sudut pandang yang berbeda ini berujung minimal pada dua hal.

Pertama, membuat kebijakan default untuk memilih sesuatu seperti otomatis menjadi peserta TAPERA terkesan seperti kebijakan yang benar-benar baru. Namun demikian, ketika pemerintah memutuskan untuk tidak membuat kebijakan apapun (tidak wajib TAPERA), sebetulnya pemerintah sudah membuat kebijakan default juga. Kebijakan untuk tidak mewajibkan TAPERA dikenal dengan kebijakan opt-in yaitu masyarakat boleh mendaftarkan TAPERA secara mandiri. Dari sudut pandang ilmu perilaku, tidak menyediakan pilihan itu adalah menyediakan pilihan juga.

Kedua, kebijakan membuat default atau tidak (mewajibkan menjadi peserta TAPERA atau tidak) masing-masing memiliki justifikasinya. Yang terpenting adalah sebetulnya memberikan pilihan untuk masuk (opt-in) dan opsi untuk keluar (#opt-out) dari kebijakan default apapun itu. Sehingga dalam konteks TAPERA, jika pemerintah memiliki justifikasi profesional dan independen bahwa pilihan default untuk menjadi peserta itu lebih optimal, maka peserta harus diberikan kesempatan semudah-mudahnya untuk keluar dari program (opt-out). Dengan demikian, kekhawatiran akan hilangnya kebebasan individu menjadi tidak relevan.

Tidak kalah penting, selain isu libertarian paternalism, ada kekhawatiran lain yang juga menjadi biang penolakan TAPERA yaitu isu kepercayaan (#trust). Ingat kasus #ASABRI dan Jiwasraya? Pada kedua kasus tersebut, dana masyarakat yang dihimpun raib digondol koruptor. Perlu pelibatan akademisi yang independen untuk mengkaji secara mendalam pilihan default apa yang paling optimal bagi masyarakat Indonesia.  Selain itu, perlu dibangun keyakinan akan kemampuan pemerintah untuk mengelola dana TAPERA secara transparan dan akuntabel. Pemerintah perlu membangun kepercayaan publik dengan memberikan informasi yang jelas tentang pengelolaan dana TAPERA dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Catatan: Tulisan ini juga saya posting di Account saya di Sosial Media dan channel lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun