Tulisan saya di Koran Tempo, 16 Februari 2016 (http://koran.tempo.co/konten/2015/02/16/365238/Era-Baru-Kerahasiaan-Keuangan)
ERA BARU RAHASIA KEUANGAN
Akhir tahun 2014 yang lalu, 51 negara menyepakati Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) untuk mengimplementasikan standarisasi pertukaran informasi terkait perpajakan. MCAA adalah perkembangan dari FATCA Model (Foreign Account Tax Compliance Act) yang sebelumnya diterapkan oleh Amerika dan 5 negara maju yang terdiri dari Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan UK untuk bekerjasama dalam memerangi penggelapan pajak (tax evasion) melalui pertukaran informasi finansial antar negara. MCAA bersepakat untuk memberikan informasi finansial (financial information) secara otomatis meliputi informasi bunga, dividen, pendapatan asuransi dan pendapatan sejenis serta informasi dari account balances dan pendapatan dari aset finansial lainnya ke otoritas pajak di negara terkait. MCAA menjadi pertanda konkrit adanya pergeseran paradigma dalam menerapkan transparansi di lembaga keuangan menuju era baru kerahasiaan finansial (financial secrecy).
Munculnya Praktik Financial Secrecy
Privasi finansial dalam bentuk financial secrecy sudah dipraktikan sejak jaman Hammurabi dan sudah menjadi praktik yang umum yang mendasari hubungan bank dan nasabah (bank-client relationship) selama berabad-abad. Terlebih dengan bergesernya rezim kerajaan di Eropa kepada rezim demokrasi, proteksi terhadap hak individu (individual rights) dalam bentuk financial secrecy menjadi tuntutan semua pihak (Capitani: 1987).
Selain itu, praktik financial secrecy di negara maju seperti di Eropa juga dibutuhkan untuk meningkatkan savings rate untuk membiayai Revolusi Industri. Financial secrecy menjadi magnet yang kuat untuk menarik savings sehingga dapat bersembunyi dari radar otoritas perpajakan dan penegak hukum lainnya.
Di negara berkembang, praktik financial secrecy dimulai sejak berakhirnya Era Kolonialisasi. Alasan fundamentalnya sama yaitu untuk menarik sebanyak mungkin dana untuk membiayai pembangunan. Selain itu, di era tersebut yaitu era 40-50’an, teori ekonomi yang berkembang seperti teori Big Push, Harord-Domard , Rostow stage of growth, teori pertumbuhan sollow dan lain lain bersepakat akan relasi positif savings dan pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian, kesepakatan yang lahir; baik tertuang dalam hukum formal ataupun informal, dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu (institutional context) yang dapat berubah sehingga rasionalitas yang mendasari terbentuknya suatu kesepakatan tersebut menjadi kuno dan tidak valid (Lim:1997)
Berubahnya Kelembagaan Ekonomi
Kondisi perekonomian di dunia sekarang ini sudah sangat jauh berbeda. Keberadaan financial secrecy banyak dipertanyakan berbagai ahli karena akan menstimulus moral hazard untuk melakukan tax evasion, money laundering, dan kejahatan-kejahatan lainnya.
Dewasa ini tingkat integrasi ekonomi sudah sangat tinggi sehingga agen ekonomi (economics agent) jauh lebih mudah untuk memindahkan faktor produksi dari satu negara ke negara lain. Integrasi ekonomi ini telah melahirkan perusahaan skala multinational company yang memiliki penghasilan dan aset yang luar biasa besarnya yang tersebar di beberapa negara. Hadirnya internet menambah kompleksitas transaksi ekonomi sehingga sulit untuk ketahui pihak yang mendapat keuntungan. Rekayasa keuangan pun berperan untuk melakukan penghindaran pajak sehingga banyak negara dirugikan karena adanya BEPS (Base Erotion & Profit Shifting). Kehadiran financial secrecy pada era sekarang ini seperti membungkus transaksi ekonomi yang sudah kompleks itu kedalam sebuah blackbox sehingga makin sulit untuk ditelusuri.
Selain itu, teori ekonomi juga banyak mengalami perubahan. Konsensus sekarang meyakini bahwa savings bukan faktor yang dominan yang menentukan kemajuan perekonomian suatu bangsa. Bahkan justru faktor kelembagaanlah menentukan kemajuan suatu bangsa (institutional economics) bukan faktor-faktor turunan seperti savings dan teknologi. Sehingga argumen ini semakin melemahkan ketergantungan sistem ekonomi terhadap praktik financial secrecy.
Financial secrecy di Indonesia dan Potensi Pajak
Melalui UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih memegang teguh praktik financial secrecy . Bahkan Indonesia masih meyakini bahwa financial secrecy juga berlaku untuk kepentingan perpajakan. Indonesia masih belum menyadari bahwa perspektif kuno dalam memandang suatu financial secrecy justru akan berimplikasi buruk terhadap ekonomi. Penyalahgunaan kerahasiaan finansial (abuse of financial secrecy) merusak sistem sosial, ekonomi dan politik karena financial secrecy yang kebabalasan akan menyuburkan praktik korupsi, penggelapan pajak & money laundering.
Lebih jauh Piketty (2010) berargumen bahwa transparansi finansial dalam bentuk keterbukaan informasi siapa memiliki apa (who own what?) adalah hal yang menentukan efektifitas sistem perpajakan, dan efektifitas sistem perpajakan akan berpengaruh kepada fungsi redistribusi pendapatan untuk pemerataan. Sehingga Piketty secara implisit memberikan tawaran hipotesa bahwa ada hubungan kuat antara transparansi finansial dengan kesenjangan ekonomi. Di indonesia sendiri, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup signifikan (rata-rata tahun 2009 s.d. 2013 adalah 5.8%) kesenjangan ekonomi 1 dekade terakhir semakin melebar (0,31 pada tahun 2003 dan 0,41 pada tahun 2013). Kue pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati golongan kaya dan fungsi pajak telah gagal meredistribusi penghasilan. Rasio pajak tidak banyak bergeser di kisaran 12% saja dan selama financial secrecy tetap diagungkan, mustahil mencapai rasio pajak yang optimal karena porsi terbesar dalam transaksi ekonomi melibatkan lembaga keuangan. Data Bank Indonesia per September 2014 menunjukkan bahwa sirkulasi uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai Rp. 4.009 Trilliun. 90% dari jumlah tersebut tersimpan dalam lembaga keuangan (Simpanan Giro Rupiah dan Uang Kuasi) dan sisanya yaitu hanya sebesar 10% adalah uang beredar di luar Bank Umum dan BPR.
Otoritas pajak di Indonesia hanya diperbolehkan mendapatkan informasi finansial dalam hal pemeriksaan (Buka Rekening) dan penagihan pajak (Pemblokiran) . Itu pun dilakukan dengan proses yang sangat lama melibatkan unit operasional di level terbawah sampai dengan ijin langsung dari Menteri Keuangan dan Dewan Komisaris OJK. Akibatnya, untuk membuka rekening satu Wajib Pajak saja, diperlukan birokrasi yang rumit dan waktu berbulan-bulan. Disaat otoritas pajak Indonesia mengemis untuk memperoleh informasi finansial dari institusi finansial domestik, negara-negara lain sudah berlari kencang bertukar informasi finansial secara otomatis lintas negara .
Awal 2015 yang lalu, Ditjen Pajak mengeluarkan kebijakan baru terkait pemungutan pajak deposito yaitu dengan mewajibkan perbankan untuk menyerahkan data bukti potong Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabah secara rinci (Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2015). Sebelumnya, perbankan tidak diwajibkan untuk menyertakan bukti potong untuk setiap nasabah sehingga informasi mengenai siapa pemilik deposito dan tabungan tetap tersembunyi. Aturan ini akan menjadi awal yang menentukan nasib keadilan ekonomi di Indonesia. Otoritas moneter tertinggi (BI & OJK) dan perbankan akan diuji keberpihakannya. Jika berpihak kepada pemilik uang banyak, aturan ini akan ditolak dengan semata-mata bersandar kepada pasal kerahasiaan finansial yang buta, namun jika mereka berpihak kepada 250 Juta rakyat Indonesia, penyalahgunaan praktik kerahasiaan finansial yang kebablasan akan mulai terkikis dan fungsi pajak untuk meredisribusi pendapatan dan mewujudkan sebuah welfare state akan semakin realistis.
Beberapa ahli ekonomi yang kontra berpendapat bahwa dengan merelaksasi praktik kerahasian finansial kepada otoritas pajak akan merusak stabilitas moneter karena akan terjadi penarikan dana ke luar negeri (capital flight). Beberapa dekade sebelumnya, argumen seperti ini valid. Namun, konsensus internasional yang sekarang sudah berjalan dan terus bergulir adalah menuju ke keterbukaan informasi finansial. Negara-negara yang tetap bertahan memegang teguh praktik financial secrecy kedepannya justru akan dikucilkan karena mendukung kegiatan ilegal baik itu korupsi, penggelapan pajak ataupun pencucian uang. Untuk Indonesia sendiri, memelihara uang haram (blood money) di dalam lembaga keuangan akan sangat berisiko karena biasanya dana seperti itu memiliki volatilitas yang tinggi dan penuh dengan spekulasi.
Perlu menjadi perhatian untuk mengkaji kombinasi kebijakan membuka data perbankan untuk kepentingan perpajakan dengan kebijakan tax amnesty. Hal ini penting untuk meredam intervensi politik kaum kaya dan memberi kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat untuk memulai suatu rekonsiliasi nasional, menarik garis batas yang jelas, meninggalkan dan belajar dari kesalahan masa lalu, serta fokus melihat kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H