Mohon tunggu...
Febrian Arham
Febrian Arham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

alumni DIII STAN' 04, (harusnya) DIV STAN' 08

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hak Masyarakat Atas Migas di Daerah yang Dirampas Calo dan Elit

27 Januari 2017   15:35 Diperbarui: 27 Januari 2017   15:35 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini merupakan salah satu landasan filosofis dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan landasan filosofis tersebut juga lah ditetapkan Bab XII tentang Badan Usaha Milik Daerah yang berkesuaian dengan pasal 409 sebagai bagian dari ketentuan penutup Undang-Undang tersebut, yang mencabut sekaligus menyatakan tidak berlakunya lagi Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.

Adanya ketentuan yang mengatur tentang Badan Usaha Milik Daerah, sebagai nomenklatur baru dari perusahaan Daerah pada Bab XII, dimaksudkan untuk membenahi Perusahaan Daerah yang ada di Indonesia agar masyarakatnya dapat lebih menikmati peningkatan daya saing daerah untuk mewujudkan kesejahteraannya sendiri. 

Salah satunya melalui perusahaan-perusahaan daerah yang bergerak di bidang Minyak dan Gas Bumi (Migas), yang telah ada sebelumnya, untuk menjadi badan usaha milik daerah, yang memberikan manfaat perekonomian, menyediakan barang dan jasa yang bermutu , serta satu hal yang paling dapat diukur, menghasilkan laba.

Sebagaimana diketahui bersama, sumber pendapatan daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer serta lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Pendirian Perusahaan Daerah dimaksudkan untuk menghasilkan laba untuk disetorkan kepada kas daerah sebagai hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (HPKDYD) sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Bagian dari PAD lainnya adalah Pajak dan Retribusi Daerah.

Ketika Pemerintah Daerah diminta untuk tidak membebani (lagi) masyarakat daerah melalui pajak dan retribusi daerah yang dipungut langsung dari masyarakat di daerah, di luar pajak pusat yang dpungut pemerintah pusat, pengoptimalan HPKDYD yang didapat dari laba Badan Usaha Milik Daerah adalah alternatif terbaik untuk menjalankan roda pemerintahannya.

Wilayah Migas sebagai bagian dari Wilayah Pemerintahan Daerah pada umumnya dikelola oleh Perusahaan Asing ataupun perusahaan milik negara (baca: BUMN),dengan pemerintah pusat menarik Pajak maupun pungutan lainnya (pendapatan negara bukan pajak/PNBP) untuk kemudian dibagikan porsi dari penarikan tersebut kepada daerah melalui dana bagi hasil, dengan kepartisipasian minim dari BUMD.

BUMD, yang sebelumnya berupa Perusahaan Daerah, telah diikutkan dalam mengelola wilayah migas melalui skema hak partisipasi (participating Interest/PI), terakhir melalui regulasi yang tertingginya berupa Peraturan pemerintah Nomor Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2009.

  Turunan PP ini pun telah diundangkan, terakhir melalui Peraturan menteri ESDM nomor 37 tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% (sepuluh Persen) pada Wilayah Kerja Migas.

Secara sederhana skema hak partisipasi ini adalah, Daerah membentuk dan menyertakan modal pada BUMD, untuk kemudian dana yang terdapat pada BUMD tersebut disetorkan kepada BUMN/entitas lain pengelola wilayah migas sebesar 10% dari yang dibutuhkan, yang lalu, jika menguntungkan, keuntungannya dikembalikan kepada BUMD.

Masyarakat merupakan pemangku kepentingan terakhir setelah Pemerintah Daerah yang mendapatkan manfaat dari adanya pengelolaan migas di daerahnya melalui skema ini.

Meski begitu skema ini cukup positif mengingat terdapat transfer keilmuan yang digenerasir oleh pengelola wilayah migas yang utama, yang diberikan kepada BUMD, yang pada hakikatnya merupakan korporasi yang dikelola langsung oleh masyarakat daerah untuk di kemudian hari mampu mengelola wilayah migasnya sendiri.

Sayangnya terdapat kesalahan-kesalahan yang sangat fundamental dalam mengundangkan Peraturan Menteri ESDM nomor 37 tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% (sepuluh Persen) pada Wilayah Kerja Migas ini.

Kesalahan-kesalahan fundamental tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  • Pada regulasi ini rentang kinerja laba atas BUMD yang dimaksudkan untuk dikembalikan ke daerah semakin panjang dengan ditetapkannya Perusahaan perseroan Daerah sebagai pemilik hak partisipasi sebagaimana dimaksud pada ketentuan umumnya yang menyatakan bahwa Perusahaan Perseroan Daerah adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang dibentuk oleh BUMD yang modalnya terbagi dalam saham yang dimiliki seluruhnya oleh pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung.
  • Selanjutnya BUMD ditetapkan sebagai organisasi tanpa bentuk, sebagaimana dimanatkan pada Pasal 3 nya yang menyatakan bahwa bahwa bentuk BUMD adalah 1. perusahaan daerah yang seluruh kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah; atau 2. perseroan terbatas yang paling sedikit 99% (sembilan puluh sembilan persen) sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah dan Slsa kepemilikan sahamnya terafiliasi seluruhnya dengan pemerintah daerah. Sebagaimana dijelaskan di atas, nomenklatur Perusahaan Daerah sebagaimana dimaksud pada UU no. 5 tahun 1962, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku masih. Sementara definisi bentuk perseroan terbatasnya, tidak sesuai dengan UU no. 23 tahun 2014.
  • Kemudian lagi dijelaskan bahwa statusnya disahkan melalui peraturan daerah, dimana hal ini tidak berlaku bagi Perseroan terbatas yang status bentuk hukumnya disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur pada UU no. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Regulasi ini telah mengobrak-abrik setidaknya 2 perintah pada peraturan yang jauh lebih tinggi di atasnya.  Analogi pengobrak-abrikannya pada BUMN adalah, Pertamina sebagai perseroan dimiliki oleh BUMN, dan bukan dimiliki oleh Negara.

Dari apa yang telah ditelaah sebelumnya, kesalahan fundamental yang dilakukan Kementerian ESDM ini ini kemungkinan besar terjadi disebabkan oleh tidak adanya koordinasi dengan instansi lain terkait, seperti tergambar dalam berita sebagai berikut : https://finance.detik.com/energi/d-3406402/bertemu-jonan-kepala-daerah-apresiasi-aturan-hak-partisipasi-migas. sengan dugaan bahwa terdapat anasir-anasir yang berperan mengaburkan koordinasi dalam pembuatan regulasi ini, sehingga terkesan bahwa Menteri ESDM berkinerja baik dan adil sesuai dengan kebutuhan para pemangku kepentingan melalui peraturan yang ditandatanganinya, sementara daerah bahagia dengan regulasi yang terkesan mudah untuk dipatuhi.

Ke depannya, sesuai dengan umurnya yang masih pendek (diundangkan tanggal 29 November 2016),  regulasi ini tidak akan dapat dilaksanakan oleh daerah. Meskipun, pembuktian akan hal ini masih akan menemui jalan yang cukup memakan waktu.

Dengan data yang ada, BUMD migas memiliki derajat variasi yang besar dalam menghasilkan laba. Ada BUMD yang sangat untung dan ada yang sangat rugi. Pada umumnya, BUMD yang untung adalah BUMD yang tidak mengalihkan hak partisipasi kepada anak perusahaannya.

Melalui regulasi ini, dalam jangka pendeknya akan terdapat lebih banyak lagi anak perusahaan dari BUMD untuk menghasilkan laba bagi daerah.

Dengan regulasi korporasi yang wajar (good corporate governance/GCG), ketika “anak perusahaan BUMD” berupa perusahaan perseroan daerah menghasilkan laba melalui hak partisipasi / participating interestnya, laba ini akan lebih dulu ditahan oleh elit perusahaan, dibagikan di dalam perusahaan, baru kemudian memberikan dividen kepada “BUMD”nya sebagai induk. “Induk BUMD” ini akan melakukan hal sama, hingga akhirnya, pada level ekstrim melaporkan kepada Pemerintah Daerah bahwa ia, si BUMD tidak menghasilkan laba, sehingga tidak mampu memberikan dividen sebagai HPKDYD.

“anak perusahaan BUMD” ini hanya akan diisi sedikit eksekutif yang memahami GCG, yang meminimkan kesempatan putra daerah untuk mendapat transfer pengetahuan dari perusahaan pengelola wilayah migas, kemudian, siklusnya berlanjut seperti semula yang tidak menyertakan daerah sebagai , kecuali, mungkin para elit di pemerintah daerah itu sendiri, yang mendapat nilai tambah.

Dengan ditemukannya cadangan Migas baru di blok Masela yang berpotensi sangat besar, kesempatan daerah untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kekayaan daerah dalam wilayah migas sesungguhnya terbuka, berbeda pada masa lalu, melalui PP Nomor 35 Tahun 2004.  Namun dengan regulasi turunannya yang seperti ini, pertanyaan-pertanyaan kemudian yang timbulnya (lagi) adalah, kapan percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat terjadi? mana kontribusi migas untuk masyarakatnya?.         

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun