Mohon tunggu...
Febrian Arham
Febrian Arham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

alumni DIII STAN' 04, (harusnya) DIV STAN' 08

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia, Kodok Bijaksana yang Akan Tersingkirkan  

24 Juni 2015   22:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Di dalam salah satu kisahnya, Kahlil Gibran menceritakan mengenai beberapa ekor kodok yang bertengkar di atas sebuah batang pisang yang terbawa derasnya arus sungai. Beberapa kodok masing-masing mempertahankan pendapatnya dan terlibat perdebatan panas mengenai keputusan yang dapat diambil mengenai nasib mereka bersama. 

Salah seekor kodok dengan bijak mengatakan bahwa masing-masing pendapat mereka yang bertengkar adalah benar.

Meski begitu, ia akhirnya dijatuhkan ke dalam arus sungai oleh para kodok lain tersebut, sebagai konsensus akhir bersama, dari mereka yang sebelumnya berpendapat yang berbeda.

Indonesia bisa jadi adalah Kodok itu.

Meski era perang dingin telah berlalu,  Cina yang tengah bersinar bersama mereka yang tidak menerima mengenai Amerika yang masih kuat bersama barat dengan demokrasi dan kapitalismenya,baik itu komunisme Rusia, Identitas Persia dan non muslim arabnya Iran, sosialisme amerika latin, serta supremasi hitam negara-negara Afrika, mempengaruhi Indonesia, yang terbiasa tidak memiliki sikap atas apapun, untuk menjadi “bijak”.

Tanda-tanda itu telah tampak pada pemerintahan Jokowi-JK sekarang ini.

Berkali-kali melakukan tindakan sembrono mendasar yang dipengaruhi kekuatan asing, seperti misalnya pembuatan komitmen pinjaman baru ke IMF dan perizinan investasi China trilyunan rupiah. Pengambilan-pengambilan keputusan seperti itu tidak lain adalah bentuk yang bertolak belakang satu sama lain dari sisi si pemangku kepentingan.

Agak senada sebenarnya dengan gerakan non blok yang dikampanyekan presiden Soekarno pada masa awal kemerdekaan, dan akhir zaman kolonialisme di dunia.

Meski begitu, karakter non blok itu telah hilang. Dunia, kini, tenggelam dalam demokratisasi yang mengaburkan penguasaan informasi sebagai dasar pengambilan keputusan terkait kepentingan masing-masing diferensiasi kedaulatan bangsa dan negara.

Islamophobia dan rasisme di Amerika Serikat, pemihakan zionisme dan resiko global ekonomi yang kesemuanya logikanya tidak terkait satu sama lain, adalah, seharusnya dapat dipercaya (believe) terkait satu sama lain.

Termasuk isu-isu penting dalam negeri yang berkutat pada politik, korupsi dan anti korupsi serta identitas kedaerahan dan agama yang seolah-olah tidak nyata padahal saling terkait.

Atas ketidakmampuan mengakui isu-isu tersebut untuk kemudian melemparkan bumerang berupa pencitraan tindakan bijaksana ke luar negeri, ke depannya senjata itu juga yang mungkin akan menghancurkan cita-cita bangsa Indonesia.

Indonesia tidak perlu mengkonsolidasikan kekuatannya lagi.  

Berkaca kepada analisa Ong Hok Ham, sejarawan Indonesia keturunan tionghoa lulusan Yale yang menyimpulkan bahwa devide et impera tidak pernah ada di Indonesia, karena Indonesia sedari awal tidak pernah bersatu, kecuali tanpa “pertolongan” tuan penjajah sama, yaitu Belanda.

Dan rasanya kita sudah terlambat dalam melakukan segala sesuatunya demi masa depan bersama yang indah dan bermartabat. Cepat atau lambat, si Kodok Indonesia akan terlempar dari eksistensi dinamika pergulatan kepentingan global. Tapi semoga saya salah.

Kita masih bisa membangun kepentingan si Kodok ini untuk tetap berada pada perahu di tengah arus deras sampai akhir zaman, jika kita mampu menyatakan kepentingan kita sendiri dengan benar. Yaitu kepentingan untuk mengakui masalah kita sendiri dan membiarkan yang terbaik dari kita untuk berbicara.  Dan ini tidak terdengar seperti pemerintahan yang sekarang yang didukung oleh kekuatan yang hanya sekedar kerja, tanpa berfilosofi.

 

 

     

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun