Mohon tunggu...
Operariorum
Operariorum Mohon Tunggu... Buruh - Marhaenism

Operariorum Marhaenism, merupakan Tulisan-tulisan mengenai ditindasnya orang Minoritas didalam realitas dan pola-pola diskriminasi yang dilakukan oleh pemilik otoriter, korporat dan kapitalissecara semenang-menang dan tidak adanya keadilan bagi kaum maniver mikro.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apriori Politik

28 Februari 2021   08:05 Diperbarui: 28 Februari 2021   08:11 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

teori interpretative atau hermeneutika. Muncul didalam penelitian politik sebagai alternative terhadap ilmu politik positivis. Ilmu politik positivis mengambil posisi monism metologis. Tujuan ideal dari ilmu politik empiris adalah mendapatkan penjelasan untuk meramalkan dan mengembalikan kehidupan sosial politik seobjektif mungkin melalui instrument korelasi statistik dan hukum kausalitas yang secara empiris dapat dibuktikan.

Penjelasan hanya dari aspek sikap subjektif dan indicator perilaku yang empiris terlalu sederhana untuk mengambarkan arti dan makna yang lebih spesifik dari sebuh kehidupan politik. Maka penentuan batasan teori interpretative menjadi lebih penting dari yang disangkakan para pendudkungnya. Atau mungkin nilai interpretative lebih terletak terutama pada kritiknya tehadap pengambaran peneltiian politik dan ilmu sosial positivis, dari pada kemampuannya menjelaskan kehidupan sosial.

Atau mungkin istilah-istilah wacana penelitian sosial dan politik memang tidak mampu menangkapkan arti interpretasi sepenuhnya? Mungkin wacana ilmu politik dan teori sosial cenderung mendistori argument dan klaim beberapa teoritis interpretif. Sebenarnya, kosakata yang berasal dari teoritis sosial dan politik, yakni kosakata kecurigaan dan penemuan kembali, tidak sepenuhnya bisa mengungkapkan hakikat teori interpretative dan kemungkinan serta implikasinya bagi politik dan penelitian.

Bahasa "konsep rasionalitas kita" yang menghadapkan dengan rasionalitas orang lain, ini sering kali menimbulkan problem yang serius. Bahasa ini mengesankan bahwa (1) standar rasionalitas muncul sepenuhnya secara internal (2) standar rasionalitas internal cukup untuk menilai praktek sendiri dan (3) standar rasional yang berbeda secara otomatis sepenuhnya eksklusif.

Teori interpretative sendiri merujuk kepada kaidah-kaidah sosial yang memungkinkan dicermatinya sebuah praktek tertentu. Hal ini pada gilirannya akan bergantung pada amkna konstitutif yang lebih mendalam, yang mendasarkan hubungan sosial. Pencarian dari standar rasionalitas internal, serta pendiriannya bahwa semua ketegangan sosial lebih berasal dari kesalah pahaman komunikasi alih-alih dari praktik sosial dan institusi itu sendiri; hasil dari semua ini semua sangat konservatif. Ia berhasil menarik orang untuk melakukan rekonsiliasi dengan tatanan sosialnya, hal ini dipraktekan dengan menunjukan pada mereka bahwa praktek sosial actual secara inheren adalah rasional.

Namun satu hal yang harus dicacat bahwa dengan mengfokuskan pada standar rasionalitas internal dan arti konstitutif, dan pada aspek-aspek argument interpretasi paling khas dari hermeunitika penemuan kembali, maka keduanya lebih benar-benar keliru dalam memahami kalim dan memungkinkan interpretasi.

Fay mengklim bahwa perhatian pada teori interpretative terhadap arti konstitutif dan standar rasional internal pada akhirnya hany mendorong kepuasan politis actor politik. Fay mengatakab mmebuktikan rasionalitas yang bersifat inheren sebuah jalan hidup berarti mengesampingkan tujuan dan hasil akhir sebuah penjelasan. Ada satu hal di balik kririsme lukes dan fay terhadap kemampuan teori interpretative dalam menghadapi perbedaan penampakan dan realitas. 

Winch gagal dalam membicarakan persoalan bagaimana kita akan menjelaskan inkonsistensi dan perbedaan antara pemahaman diri actor dengan perilaku actual mereka setelah mengambil langkah menuju pemahaman yang ia sampingkan. Dengan demikian interpretasi yang digunaka bukan hanya sekedar sebuah metode saja melainkan interpretasi menawarkan bukan hanya sekedar kemungkinan yang benar dari sebuah control teknologis, tetapi berbagai kemungkinan dasi sebuah kebijakan praktis. Itulah tanggapan winch.

Namun pandangan ini bertentangan dengan teori bahasa yakni bahasa konsitutif yang menganggungkan -- menganggungkan hermeneutika penemuan kembali. Teori bahasa designative melihatnya lebih kepada instrument, sebagai alat untuk menemukan tanda-tanda (signs) yang kemudian dapat dipergunakan sebagai memberi label dan menggambarkan kembali dunia objektif.

Artikulasi teori interpretative ekspresif akan melibatkan beberapa konsekuensi unik bagi studi kehidupan politik. Disini lebih mengfokuskan pada dua bidang isu yakni hubungan diri dengan pribadi serta poltik. Ekspresivisme mengendurkan kecurigaan, menolak menegaskan bahwa realitas dasar adalah suatu yang, yang dalam hakekatnya yang kuat, menentukan dunia yang tampak, atau mana pemahaman pada tingkat penampakan dengan sendirinya memiliki sendikit akses ata sama sekali memiliki sedikit pengaruh atau sama sekali tidak.

Teori kehidupan soailal dan politik ekspresif tidak juga mengingkair arti krusial dari jeterangan tentang rintangan struktura; dalam penjelasan politik. Namun lebih dari itu, jika seorang menerima tujuan yang dibuat oleh bberapa teoritis interpretative bahwa motivasi dasar yang sesuai dengan motivasi dasar yang sesuai dengan rintangan yang dirasa oleh pihak pekerja kerah putih didalam ekonomi politik ekonomi amerika adalah sebuah pencarian martabat dari pada keinginan yang tidak dikendalikan akan barng-barang yang bersifat material maka orang tidak mungkin menafsirkan tantangan structural dalam ekonomi politik amerika sebagai orang yang hanya menuntut pertumbuhan ekonomi yang terus bertambah. Jika para teoritas interpretative ini benar dalam menafsirkan mereka tentang dilemma, rintangan dan persoalan yang dihadapi oleh para pekerja kerah putih di amerika, maka masalahnya akan jauh lebih kompleks dibandingkan dipahami oleh arus utama wacana politik ameriika.

Demikian pula, beberapa teoritis telah menegaskan bahwa kapitalisme liberal mengandung potensi krisis legitimasi meskipun fakta menunjukan bahwa para warga negara dari masyarakat-masyarakat itu tidak memahami problem menurut cara itu. Singkatnya penjelasan mengenai rintangan strukttural sebagian besar akan ditentukaan oleh pemahaman dan penjelasan arti yang didukung orang.

Secara khusus, Geertz menunjukan adanya unsure kedalaman hermeunitika, sesuatu yang menghubungkan makna dan aktivitas individual dengan sistem symbol dan jaringan makna yang lebih luas dan mendala. Keterangan lengap mengeni kehidupan politik yang melebihi apa yang disebut oleh Connolly sebagai interpretasi murni (dan apa yang telah saya gambarkan disini sebagai hermeunitikapenemuan kembali). Interpretasi murni (kebanyakan dicirikan oleh winch), tegas Connoly, tidak mampu menjelaskan inkonsistensi antara penampakan dan realitas.

Untuk menunjukan hubungan ini, Cpnnolly mengajukan sebuah interpretasi tentanf kesulitan para pekrja kerah biru yang sudah menikah dari bangsa kulit putih, diamerika serikat. Apa yang menyebabkan kesediaan mereka untuk tunduk pada berbagai rutinitas kaku dan control otoriter dari pekerjaan adalah apa yang disebut oleh Connolly dengan "ideology" berkorban (ideology of sacrifire), yakni apa yang mereka tafsirkan sebagai sebagai pengorbanan sukarela demi memberikan keamanan pada keluarga mereka dan kesempatan bagi anak keturunan mereka untuk menikmati janji kehidupan Amerika yang sebenarnya telah menjauhkan diri dari pekerjaan kerah biru.

Dalam hal ini Connolly mengkalaim bahwa identitas diri partisipan dikaitkan dengan rintangan structural dan institutional dan akibatnya akan bisa menjelaskan mengapa interpretasi-interpretasi baru yang bertentangan dengan pemahaman diri mendapatkan tentang yang kuat. Akhirnya, argument Connolly menunjukan bahwa keterangan Fay tentang hubungan antara teori dan praktek dalam teori interpretative adalah cacat.

Ini menyiaratkan, tegas Gadamer, bahwa otoritas tradisi tidak sekedar merupakan antithesis dogmatus dari akal yang telah dimasukkan oleh zaman pencerahan dan anak keturunanya (misalnya, Hambermas). Namun muncul suatu problem dari klaim harmeunitika filosofis gadamer masalah yang melambangkan kalim ekspresivis bahwa setiap hari kita dan kompetensi liguistik merupakan fondasi yang menjadi sandaran semua pengalaman dan pemahaman, dalam hal ini, hermutika mengemukakan pernyataan ; " adakah pemahaman tentang makna yang terkait dengan struktur symbol yang dirumuskan dalam bahasa sehari-hari , yang tidak memiliki kaitan pada prasangkaan konteks hermeunitka, dalam proses pemahaman yang bergantung kepada penegrtian ini menghindari bahwa natural sebagai sebuah meta-bahsa yang terakhir?

Herbermas menjawab ada. Psikoanalisis dan kritik ideology memprkenalkan adanya komunikasi yang terdistori secara sistematis, yakni batasan structural terhadap pemahaman yang tdak dapat diidentifikasi, dijelaskan bahwa ataupun diatasi kemampuan komunikatif, betapapun dikembangkan secara tajam dan disebarkan secara terampil dalam kehidupan sehari-hari. Maka esai dari habermas dalam hal ini menggambarkan contoh penjelasan psikoanalitik yang menawarkan keteranggan tentang tindakan komunikatif yang patologis, terdistori. Tetapi jelas, ini bukan persoalan- nya, tegas Habermas. Anggapan ini mengingkari fakta bahwa penggunaan kekuasaan (force), yang sering dalam bentuk otori- tas dogmatis, mengakibatkan terjadinya deformasi komunikasi ntersubjektif. Di sisi lain, 'Hermeneutika tercerahkan yang tis, yang membedakan antara pengetahuan (insight) dari delusi', 'mencakup kesadaran meta-hermeneutik dari kondisi bagi kemungkinan komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Hermeneutika ini menghubungkan proses pemahaman dengan prinsip wacana rasional, di mana kebenaran hanya akan dijamin oleh jenis konsensus itu, yang telah dicapai di bawah kondisi ideal komunikasi yang tak terbatas, yang terbebas dari dominasi'.

Mengingkari atau meremehkan arti penting paksaan, kekuatan dan kekuasaan dalam menetapkan penerimaan tradisi kita berarti tenggelam ke dalam pengakuan tradisi secara dogmatis. Habermas menegaskan bahwa hal ini mendorong Gadamer untuk mengingkari pertentangan antara akal dengan otoritas, dan mendorongnya untuk menempatkan pembatasan yang tidak masuk akal ke dalam proyek pencerahan.

Pada sisi lain, usaha Habermas sendiri akhir-akhir ini (1978) difokuskan untuk mengenali persyaratan komunikasi pragmatis, formal, yang tidak terlepas dari historisitas pemaha- man yang ditekankan oleh ekspresivisme. Misalnya, di antara kondisi komunikasi yang tak terdistorsi, yang dikenali oleh Ha bermas, adalah klaim validitas kebenaran, kelayakan dan kesungguhan (validity of truth, appropriateness, and sincerity)." Tetapi tentu, kriteria yang menentukan kebenaran atau kelayakan atau kesungguhan, akan bervariasi dari tradisi sejarah ke tradisi sejarah lainnya." Ada beberapa cara melihat perdebatan antara Gadamer (dan ekspresivisme secara umum) di satu sisi dengan Habermas di sisi lain. Sebuah cara, yang sangat tidak membantu, adalah dengan melihatnya sebagai perdebatan antara teori interpretif dengan rasionalisme yang tidak direkonstruksi. Tetapi pembacaan semacam ini mau tidak mau merendahkan apresiasi Hebermas terhadap teori interpretative dan juga kritisismenya terhadap rasionalisme kontemporer.

asih ada interpretasi yang ketiga. Perdebatan antara Habermas dan Gadamer dapat dilihat sebagai perdebatan yang terjadi di dalam teori interpretif ekspresif, sebuah perdebatan di mana setiap pemikir menerima ajaran ekspresivisme umum tetapi pada saat yang sama masing-masing menekankan implikasi- implikasi yang berbeda dari ekspresivisme itu. Gadamer dapat dipahami sebagai pemikir yang menekankan pembatasan alasan metodologis oleh dimensi ekspresivis bahasa, sementara Haber- mas dapat dianggap sebagai pemikir yang menekankan kapasitas kritis dari pemahaman metodologis. Keuntungan dari interpretasi ini adalah memahami pengakuan Habermas sendiri bahwa masalah pemahaman modern bukanlah masalah kesadaran tetapi masalah bahasa" dan pengakuan Gadamer bahwa pada akhirnya kita tidak dapat menempatkan suatu tujuan di luar sejarah, yang terlepas dari bahasa dan tradisi yang kita warisi, dari mana kita dapat menjelaskan dan menilai kehidupan politik kita. Dalam kata-kata Habermas:

Tentu, adalah benar bahwa kritisisme selalu terikat dengan konteks tradisi dicerminkannya. Persyaratan hermeneutika dari yang semata-mata menempelkan pada dirinya sebutan kritik. Tak ada pembenaran interpretasi hermeneutik-dalam (depth-hermenetics) di Juar refleksi diri dari semua partisipan yang berhasil dicapai melalui sebuah dialog... Dalam kondisi sekarang, mungkin lebih mendesak untuk menunjukkan batas-batas klaim universalitas palsu vang dibuat oleh kritisisme daripada oleh klaim universalitas hermeneutik. Bagaimanapun, sepanjang menyangkut perdebatan tentang lan- dasan pembenaran, adalah perlu untuk menguji klaim yang terGadamer dibenarkan dari segi kepastian-diri monologis, yang akhir ini secara kritis juga.

Pembacaan yang terakhir ini juga akan memudahkan pemahaman kita terhadap pengakuan Gadamer bahwa penerimaan prasangka yang tidak reflektif, yang merupakan pemahaman latar belakang kita, termasuk penerimaan kita terhadap Pencerahan dan prasangka teknologisme, mengakibatkan kita keliru dalam memahami kemungkinan tradisi: Tirani prasangka tersembunyi telah membuat kita tuli terhadap bahasa yang berbicara kepada kita melalui tradisi.

Peran ini serupa dengan apa yang dihubungkan oleh Gada- mer pada hermeneutika filosofis: Dalam komunikasi sehari-hari, interpretasi kognitif, harapan moral, ekspresi dan evaluasi tidak bisa saling melengkapi dan saling menginterpretasi. Untuk mencapai pemahaman dalam dunia kehidupan menuntut tradisi kultural yang melintasi spektrum keseluruhan (whole spectrum), bukan hanya sains dan teknologi. Sejauh menyangkut filsafat, mungkin baik untuk memperbarui lagi hubung- annya dengan totalitas melaui peran interpreter atas nama dunia kehidupan. Maka, peran ini dapat membantu menggerakkan saling-

EKSPRESIVISME, PRAGMATISME DAN GENEALOGI

Esai-esai yang ditulis Dreyfus, Foucault dan Rorty memperkenalkan serangkaian isu dan berbagai tantangan terhadap teori inter- pretif yang muncul dari perspektif pemikir 'dekonstruksionis' atau genealogis dan pragmatis. Artikel Dreyfus barangkali bisa disebut paling penting dalam hal ini. Betapa tidak, dalam artikelnya itu Dreyfus tidak hanya berhasil mengidentifikasi beberapa perbedaan penting dalam teori interpretasi, sekaligus juga mampu mengidentifikasi poin-poin persamaan dan perbedaan antara teori interpretasi dengan genealogi. tekanan yang terjadi pada konsepsi awal Heidegger tentang Dreyfus memulai uraiannya dengan menelusuri pergeseran

hermeneutika dalam Being and Time. Bagian I dari Being and Time membahas secara khusus hermeneutika keseharian (Hermeneutics of everydayness). Dalam praktik-praktik keseharian, herada . Padahal dalam praktik keseharian itulah kita selalu melakukan interpretasi. Interpretasi bukanlah sistem keper- cayaan yang diperoleh secara kognitif, yang dapat kita pisahkan dari lokasi di mana praktik keseharian itu dilakukan. Sebab, makna-makna senantiasa melekat pada dan di dalam praktik itu sendiri. Inilah apa yang disebut oleh Dreyfus sebagai pemahaman primordial. Pemahaman ini selaras dengan apa yang disebut Taylor sebagai 'makna-makana intersubjektif'. Melalui hermeneutika keseharian, pemahaman primordial ini bisa diungkapkan. Tetapi, ada kebenaran yang lebih dalam yang hendak diungkap dari analisis eksistensial Heiddeger oleh ketiga pemikir tersebut. Menurut Dreyfus, kebenaran ini ada pada bagian II seringkali kita lupa memperhatikan dunia tempat dimana kita Being and Time yang diejawantahkan dalam hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion). Interpretasi yang kita lakukan dalam praktik keseharian menjadi sebuah tabir. Tabir inilah yang menutupi kita dari fakta bahwa ia sendiri adalah sebuah interpretasi yang tidak memiliki akar lain selain praktik itu sendiri. Ketidakberakaran (rootlessness) ini biasanya dirasakan secara sangat samar oleh manusia. Kesamaran ini sering memunculkan resistensi atau keengganan para interpreter untuk mengakuinya. Dalam hal ini Dreyfus mengatakan: 'Alih-alih. berusaha struktur umum status menafsir diri sendiri, fenomenologi hermeneutika transendental malah mengklaim mampu memaksakan kebenaran substantif umat manusia. Yang benar, yang disembunyikan oleh semua kultur di segala zaman, adalah bahwa manusia tidak pernah bisa merasa nyaman hidup di dunia.' menyusun

Ada beberapa hal cukup penting dan menarik perhatie artikel Dreyfus, yakni isu pertelingkahan antara ekspresivisme dengan genealogi. Pertama, ketidakberakaran (rootlessness) yang pada awalnya digolongkan Heidegger sebagai kondisi transendental dan eksis. tensial umat manusia modern, kini menjadi respon manusia modern atas praktik teknologis dan pemahaman tentang dunia- nya sendiri. Kedua, Heidegger mencoba menyejarahkan hermeneutika keseharian untuk menunjukkan bagaimana masing- masing interpretasi menjadi sebuah penyingkapan dan penyembunyian yang masing-masing membuka beberapa kemungkinan dan menutupi kemungkinan yang lain. Pertanyaan berikutnya, sebagaimana dinyatakan Dreyfus, adalah bagaimana sebuah pemahaman bisa muncul?; bagaimana bisa pemahaman tertentu melibatkan lebih besar bahaya daripada keuntungannya?; dan bagaimana kemungkinan perubahannya? Ketiga, menurut Heidegger, adalah penting untuk meneliti masa-masa sebelumnya, karena masa-masa itu masih menyimpan keanehan yang muncul dari pemahaman teknologis kita terutama yang banyak tertuang dalam catatan pengendalian dan relief-reliefnya, Akhirnya, menurut pembacaan Dreyfus, Heidegger menawarkan sebuah asumsi kemungkinan keberakaran yang baru, sebuah penyesuaian dunia yang baru.

Dengan kemungkinan baru ini, manusia mungkin bisa mengatasi keterasingan dan ketercerabutan yang menjadi ciri utama kegelisahan modern. Dengan kemungkinan baru ei nula akan muncul sebuah artikulasi dari sebuah pemahaman baru, yang memungkinkan munculnya keramahan antara diri Dari perspektif genealogis, Foucault menegaskan bahwa kita tidak boleh menganggap pengetahuan sekadar mencerminkan atau menggambarkan dunia. Katanya "kita tidak seharusnya membayangkan bahwa dunia menghampiri kita dengan wajah yang dapat dibaca, membiarkan kita untuk sekadar melukiskannya. Lanjutnya, "tak ada takdir pradiskursif yang membuat dunia menguntungkan bagi kita".

Kita harus memahami wacana sebagai sebuah pelanggaran yang kita lakukan terhadap hal-hal (things). Dengan ata lain, ketika kita berwacana, otomatis kita telah melakukan praktik pemaksaan terhadap hal-hal itu yang kita wacanakan itu'. Satu-satunya jalan untuk menjelaskan keberhasilan suatu wacana pengetahuan tertentu adalah dengan menghubungkannya dengan jejaring kekuasaan (power). Di semua masyarakat, kuasa-pengetahuan (power-knowledge) berfungsi untuk memunculkan, meneguhkah dan mempertahankan kebenaran tertentu dan untuk memberangus kebenaran yang lain. Dalam masyarakat modern, produk kebenaran, dan fungsi kuasa pengetahuan terejawantahkan secara disipliner (misalnya dalan disiplin-disiplin ilmu terspesialisasi) dan normalisasi menuntut manusia sekaligus sebagai pelaku dan objek kuasa pengetahuan. Tugas genealogi, menurut Foucault, adalah menghubung. kan unit-unit masa sejarah dan ruang sosial tertentu dengan jejaring kuasa-pengetahuan spesifik di mana keduanya saling berjalin dan berkelindan.

Unit-unit diri, hubungan diri (seli dengan masyarakat dan diri dari masyarakat, bukan hanya seka. dar konvensi, tetapi konvensi yang menimbulkan praktik diri. perilaku seksual, kewarganegaraan,

kegilaan dan kesehatan. Praktik diri konvensional ini di dukung dan harus konsisten dengan pola kuasa-pengetahuan yang ada. Praktik diri itu kemudian dianggap sebagai gambaran diri, akal dan kebenaran yang harus diterima taken for granted sebagai kemungkinan eksistensi manusia terbaik. Di sinilah, genealogi berfungsi membongkar untuk menunjukkan bahwa semua itu hanyalah sebuah 'pembekuan atau pembakuan sejarah. Dengan kata lain, genealogi hendak memperlihatkan bahwa sebenarnya praktik kita tentang diri adalah hasil sebuah perkembangan yang kebetulan dan kontingen dan tidak pernah universal, yang dihadirkan pada kita dalam bentuk kebutuhan (needs).

Sebagaimana di tegaskannya: 'Genealogi nilai, moralitas, asketisisme dan pengetahuan tidak akan pernah menganggap pergantian sejarah sebagai tembok tebal dan tinggi yang tidak dapat ditembus. Genealogi akan menerobos dan membongkar detail dan aksiden yang menyertai setiap permulaan dari sebuah pergantian sejarah.' Episteme modern beroperasi melalui produksi subjek-subjek. Tugas genealogi dalam hal ini adalah menunjukkan bagaimana praktik episteme diri itu tidak lebih dari sekadar produksi-produksi dan konvensi-konvensi sesaat, dan tidak pernah bisa menyegala yang

zaman. Satu taktik yang digunakan geneologi untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menunjukkan bahwa tubuh (body) dibentuk oleh praktik kuasa-pengetahuan, menunjukkan bagaimana tubuh itu diorganisasi, disusun, diarahkan dan dimobilisasi. Singkatnya, geneologi menunjukkan bagaimana tubuh itu dijadikan sebagai sebuah instrumen (alat) disiplin untuk menciptakan subjek modern. Taktik ini akan memperlihatkan bahwa 'tubuh adalah penjara jiwa (prison of the soul)'.2" Dengan genealogi Foucault mengungkap pengetahuan pasien dalam karyanya.

geneologi dimaksudkan untuk mengganggu, menggoyahkan dan mengkritisi permainan pengetahuan yang meng- hibur (consolation). Geneologi dimaksudkan untuk 'menghancur- leburkan subjek yang mencari pengetahuan dalam kehendak pengetahuan yang tiada berakhir (Abadi)', yang mengasingkan kita dari keanekaragaman kehidupan manusia. Singkatnya, genealogi akan merisaukan dan mencemaskan kita yang meyakini adanya kesatuan pengetahuan yang bersumber pada satu pengetahuan yang muncul dalam praktik diskursif kita. Genealogi lebih suka menyebarkan makna-makna parodi, menggelikan, berulang-ulang, dan contoh-contoh strategis untuk mendorong "permainan" ketidakharmonisan antara diri (self) dengan identitas sosial yang diproduksi oleh wacana kita: Genealogi akan membangkitkan "multiplikasi" kemungkinan diri (self) yang akan menyingkapkan apa yang diberangus, dimarjinalkan, dibatalkan dan ditundukkan oleh produk kebenaran diri kita. Inilah yang menjadi karakter pemikiran modern dan reaksi pemikir ekspresivis terhadapnya. Sebagaimana dikemukakan Dreyfus, ada sejumlah persamaan antara genealogi dengan teori interpretif ekspresivis: Pertama, keduanya mempersoalkan konsepsi tentang subjek. Bagi keduanya, ide tentang Subjek yang serba mengetahui

Pengikut ekspresivis dan genealogis setuju bahwa gambaran tentang diri (self), akal (reason), kebenaran (truth), hubungan

antara diri dengan masyarakat dan kemungkinan kehidupan sosial, sebagian besar adalah interpretasi-interpretasi yang tertanam di kedalaman praktik sosial. Jika demikian, lalu mereka bisa berbeda pendapat? Di mana sebenarnya letak ketidak- sepakatan itu? Satu ketidaksepakatan yang utama terletak dalam pandangan masing-masing tentang makna interpretasi. Bagi ekspresivisme, pada dasarnya manusia berkarakter menafsirkan diri. Banyak manusia menafsir berarti banyak kemungkinan makna yang terartikulasikan. Tetapi, keliru jika mempertanyakan "mana dari makna-makna itu yang paling benar?" Tidak ada satu pun dari makna itu yang paling benar. Semua makna hanya bisa dinilai dalam ukuran "lebih baik" atau "lebih buruk" dibanding yang lain. Sehingga, orang dengan refleksinya bisa menentukan apakah sifat itu merupakan tipe eksistensi atau bukan. Hasil penentuan ini kemudian akan dipikirkan secara reflektif pula. Maka, Foucault melihat bahwa hakikat puncak (ultimate) dari setiap interpretasi bersifat relatif yang mewacana melalui istilah yang berbeda-beda.

adalah bahasa alam itu sendiri. Teori interpretif menegaskan bahwa bahasa hukum sebab-akibat dengan variabel yang dapat diperhitungkan bukanlah bahasa yang paling sesuai untuk men- jelaskan tindakan manusia. Karena itu, teori interpretatif : lak bahasa sains. Bahkan, aliran ekspresivis menegaskan bahwa bahasa-lah yang mewujudkan pemahaman diri partisipan ter- hadap sebuah jalan hidup. Dengan demikian, metode yang sesuai dengan studi ilmu sosial dan kehidupan politik adalah metode memiliki akses ke dalam kosakata itu. Konsekuensinya, meno- yang ilmu sosial niscaya harus dikaji dengan ilmu hermeneutik atau interpretif.

adalah bahasa alam itu sendiri. Teori interpretif menegaskan bahwa bahasa hukum sebab-akibat dengan variabel yang dapat diperhitungkan bukanlah bahasa yang paling sesuai untuk men- jelaskan tindakan manusia. Karena itu, teori interpretatif meno- lak bahasa sains. Bahkan, aliran ekspresivis menegaskan bahwa bahasa-lah yang mewujudkan pemahaman diri partisipan ter- hadap sebuah jalan hidup. Dengan demikian, metode yang sesuai dengan studi ilmu sosial dan kehidupan politik adalah metode yang memiliki akses ke dalam kosakata itu. Konsekuensinya, ilmu sosial niscaya harus dikaji dengan ilmu hermeneutik atau interpretif. Sebenarnya, mereka berusaha melegitimasi studi politik berpendekatan interpretif dengan menggunakan sebuah metanaratif yang berlaku dalam ilmu sosial seperti apa yang telah dilakukan filsafat (dan gagal) terhadap ilmu sosial. Tetapi, karena bahasa sains bukanlah bahasa sebenarnya tentang alam, maka bahasa dan pemahaman diri si pelaku politik bukanlah bahasa politik sejati atau fondasional: "Objek tidaklah tergambarkan secara "lebih objektif" dalam sebuah kosakata sains dibanding- kan yang lain. Kosakata lebih berkisar pada makna berguna atau tidak berguna, baik atau buruk, membantu atau menyesatkan,

sensitif atau kasar, dan lain-lain; tetapi bukan kosakata "lebih objektif" atau "kurang objektif", dan bukan pula "kurang ilmiah" atau "lebih ilmiah". bangunkan oleh wacana kuasa-pengetahuan. Alternatif semacam itu hanya memberi sedikit harapan pada tindakan moral. Foucault menyatakannya dengan cara berikut ini: Umat manusia tidak bergerak perlahan dari pertarungan satu ke pertarungan lainnya hingga akhirnya sampai pada pembalasan secara universal di mana kaidah hukum pada akhirnya menggantikan peperangan. Umat manusia telah sekian lama mengakarkan setiap kekerasannya pada satu sistem kaidah dan bergerak dari dominasi ke dominasi yang lain. Dalam dirinya, peraturan adalah sesuatu yang kosong namun keras dan tidak final. Peraturan lebih bersifat impersonal dan hanya terikat pada suatu tujuan. Keberhasilan sejarah menjadi milik mereka yang dapat menggunakan kaidah-kaidah ini...

Kedua, alternatif ini digunakan untuk menekankan 'makna mortal dari ilmu sosial dan perannya dalam memperluas dan memperdalam pengertian kita tentang komunitas dan kemungkinan dari komunitas.' Rorty mengklaim alternatif yang kedua ini sebagai sebuah alternatif yang mendorong harapan sebagaimana pernah ditebarkan Dewey. Tetapi sebenarnya alternatif ini juga dikemukakan Taylor, Connolly, Winch, Geertz dan tentu saja Heidegger, meskipun dalam batas-batas yang tak dapat diterima oleh Rorty.

klaim pengetahuan dan kebenaran. Meskipun penganut ekspresivis menyepakati tidak adanya kebenaran tunggal dalam persoalan-persoalan ini, namun kita harus percaya bahwa kita dapat memiliki jawaban sementara. Ini bisa berupa sejumlah pengetahuan tertentu tentang apa yang mengkonstitusi komunitas untuk menjadi lebih baik dan buruk, atau sebuah konsensus yang lebih asli dan konsensus yang kurang dipaksakan. Apalagi, jika kemapanan sebuah komunitas moral, sebagaimana dinyatakan di dan di mana-mana oleh Rorty, menjadi salah satu perhatian utama ilmu sosial. Jika kita dapat menerima arti penting pemahaman diri si pelaku dalam masalah moralitas, sebagaimana yang juga diklaim oleh Rorty dalam esai ini, maka tampaklah bahwa dalam keterangan Rorty sendiri ilmu sosial dalam suatu makna bisa bersifat interpretif (yakni hermeneutik). Karena alasan inilah, pada akhirnya apa yang dikatakan Rorty menyerupai keterangan ekspresivisme. sini

Pada akhirnya, arah pada argumen yang dikemukakan Taylor, bahwa gambaran Foucault tentang genealogi masih terbuka untuk diperdebatkan Hal ini mungkin, sebab ia tidak sepenuhnya membicarakan masalah ada atau tidak pernah adanya praktik serta disiplin diskursif tempat para pelaku politik bertindak secara otonom dalam mendukung apa yang diberitakan oleh gagasan kebenaran dan kebebasan. Ini jelas-jelas serupa dengan gagasan yang diartikulasikan oleh teori interpretif. Sebagai alternatifnya, masih ada kemungkinan, sebagaimana ditegaskan oleh Connolly, untuk memperlakukan karya Foucault secara ganda, suatu hal lain yang tidak akan hilang, yang tidak dapat sepenuhnya terkurung dalam interpretasi. Orang dapat meringkas perdebatan di kalangan "ekspresi- visme", "genealogi" dan "pragmatisme" ini melalui cara sebagai berikut. Para pendukung masing-masing perspektif setuju bahwa konsep pengetahuan sebagai representasi realitas objektif dan konsep positivisme tentang kebenaran, rasionalitas, metode dan ilmu sosial jelas-jelas keliru. Apalagi, masing-masing setuju bahwa kehidupan politik dan sosial manusia sebagian besar merupakan interpretasi kemungkinan diri (self), masyarakat dan yang lain, dan hubungan di antara ketiganya. Tetapi masing-masing dari mereka menarik kesimpulan berbeda.

lain, yang dan hubungan di antara ketiganya. Tetapi masing-masing dari interpretasi kemungkinan diri (self), masyarakat dan y mereka menarik kesimpulan berbeda. Pertama, aliran ekspresivis menegaskan bahwa kita dapat mengharapkan adanya pengetahuan kehidupan sosial yang memiliki kebenaran tertentu dan dapat mendukung kemungkinan sebuah komunitas moral. Kedua, aliran pragmatis setuju menekankan harapan pada kemungkinan komunitas moral, tetapi kurang optimis perihal seberapa banyak pengetahuan yang dapat kita harapkan. Ketiga, aliran genealogis menegaskan bahwa kita tidak dapat mengharapkan kebenaran atau harapan, sebab menurut mereka setiap kebenaran atau harapan yang muncul dari situasi kontemporer tertentu mustahil identik dengan apa yang diinginkan oleh para pendukungnya. Dan hal ini bisa jadi lebih berbahaya dari yang mereka kenal.

tindakan. Karena partisipan dalam dialog tersebut sedang coba meyakinkan (sebagai lawan dari memanipulasi atau memaksa) pihak-pihak lain, maka masing-masing akan me- nawarkan alasan, bukti, argumen, seputar mengapa kesimpulannya atau posisinya menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan. Hasil ideal yang diharapkannya adalah sebuah konsensus di mereka terlibat di dalam dialog. antara Tetapi di sini integrasi dengan pihak lain ke dalam sebuah komu- nitas rasional, sesuatu yang merupakan bentuk-bentuk identifikasi tanpa paksaan demi kebaikan bersama, tetap merupakan tujuan utama. Inilah model dialog, model tindakan komunikatif, yang mendorong karya Taylor dan Habermas. Di sini politik persesuaian (konformitas) diutamakan. Namun lain lagi dengan hal-hal yang ada di balik model dialog tentu, kedua. Dialog kedua ini tidak bertujuan mencapai yang sebuah konsensus rasional. Karena mengakui bahwa wacananya mungkin tidak lengkap atau terbuka terhadap tantangan, makan masing-masing partisipan akan mencari-cari melakukan penentangan terhadap pihak lain sebagai tantangan wacananya sendiri, jalan hidup sendiri, perspektif teoretisnya untuk menutup

Dari perspektif ini, penting kiranya jika kita berkonsultasi dan menghadapkan diri kita dengan pihak lain. Dalam model dialog ini, kita mungkin dapat menempatkan karya-karya Winch, Geertz, dan Connolly. Di sini, politik ketidaksesuaian, keberlainan diutamakan. Ada dua hal yang perlu dikemukakan menyangkut dua model dialog tersebut. Pertama, dan ini yang paling jelas, keduanya tidak mungkin direalisasikan secara terus menerus dalam bentuk idealnya di segala waktu. Lebih mungkin, jika hubungan sosial dan politik aktual ditempatkan di antara kedua model itu, atau sebagai variasi yang tidak sempurna dari salah satunya. Kedua, saya ingin menyarankan, sebagaimana diinformasi- kan oleh teori interpretif ekspresivis, masing-masing model, bahkan dalam bentuknya yang ideal, mensyaratkan alternatif yang tidak dapat muncul jika tidak diinformasikan oleh kemungkinan pihak lain. Politik penyesuaian (attunement) dan politik ketidaksesuaian (discordance) merupakan dua kemungkinan, dua momen yang dimungkinkan oleh teori politik ekspresif. Kesalingterkaitan

Ini bukanlah sebuah sikap sederhana (unsophisticated), tetapi sebuah sikap vang didasarkan pada sikap filosofis yang dikembangkan secara cakap dalam serangkaian makalah yang diterbitkan dalam buletin walaupun dengan tingkat sambutan yang kurang meriah, Bulletin of the Faculty of Arts tahun 193Q-an dari Universitas Mesir. Dengan menentang Lvi-Bruhl, di sini Evans-Pritchard menolak ide bahwa pemahaman ilmiah tentang sebab dan akibat yang mengarahkan kita untuk menolak ide-ide magis sebagai bukti superioritas intelejensi barat. Pendekatan ilmiah kita, jelas Pritchard, memiliki fungsi kultur untuk menegaskan bahwa suku Azande adalah suku magis yang 'tak beradab':

Gagasan-gagasan ilmiah adalah gagasan yang sesuai dengan realitas objektif, baik menyangkut validitas premisnya maupun dugaan dalilnya... Gagasan-gagasan logis adalah kaidah kesimpulan berpikir, yang benar bila premisnya benar, sehingga kebenaran premis menjadi tidak relevan... Sebuah pot hancur pada waktu penembakan. Hancur karena terkena peluru atau hancur karena faktor lain. Marilah kita teliti gagasan, menurut pot itu dan dilihat apa sebabnya. Itulah pemikiran yang logis dan ilmiah. Seseorang sakit. Penyakit disebabkan oleh ilmu sihir. Marilah kita meramal untuk mengetahui dukun sihir mana yang bertang gung-jawab. Itulah pemikiran logis namun tidak ilmiah. Saya kira, apa yang dikatakan Evans-Pritchard di sini benar. Tetapi salah, dan sangat salah, dalam usahanya mendefini- sikan yang ilmiah sebagai sesuatu 'yang sesuai dengan realitas objektif'. Meskipun memiliki perbedaan penekanan dan fraseologi, Evans-Pritchard tanpa sadar tengah mengemukakan cap metafisika yang sama sebagaimana dilakukan Pareto: bagi kedua- nya, gambaran 'realitas' harus dapat dipahami dan dapat dime- ngerti di luar konteks pertimbangan ilmiah itu sendiri, karena hal ini merupakan sesuatu di mana gagasan ilmiah dan gagasan yang tidak ilmiah memiliki sebuah relasi. Evans-Pritchard, meskipun Dalam hal ini, mudah untuk mengatakan bahwa kesulitan yang muncul dari penggunaan ekspresi komprehensif yang menyesatkan dan susah dipakai adalah 'sesuai dengan realitas'. Dalam beberapa hal, ini bisa dibenarkan. Pertanyaannya adalah

apa itu realitas? Pertanyaan ini akan memunculkan beragam jawaban tergantung pada ide dan kepercayaan yang Dengan demikian kita tidak boleh mengesampingkan fakta bahwa ide dan kepercayaan manusia selalu merujuk dan ber. dasar pada sesuatu yang independen-suatu realitas tak riil yang dianggap sebagai sesuatu yang maha penting. Ada dua kait yang harus saya kemukakan menyangkut hal itu dalam tahapan ini. Pertama, kita harus memperhatikan bahwa pemeriksaan terhadap riil yang independen ini bukanlah sesuatu yang aneh bagi sains. Masalahnya adalah bahwa pesona ditawarkan sains memudahkan kita mengambil keilmiahanya sebagai paradigma untuk mengukur "martabat intelektual" mode wacana yang lain: Renungkanlah apa yang dikatakan Tuhan pada Ayyub dari dalam gulungan angin: 'Siapakah orang ini, yang menggelapkan nasihat dengan kata-kata tanpa pengetahuan?... Di manakah kamu, ketika aku meletakkan landasan di bumi? Maklumkanlah, jika kamu telah paham. Siapa yang telah menetapkan ukurannya, jika kamu tahu? Atau siapakah yang telah membentangkan tali di atasnya. Akankah puas dengan perintah Yang Mahakuasa? Ia yang marah pada Tuhan, suruhlah ia menjawabnya.' Ayyub mendapat tugas berat sebagai hukuman atas ketersesatan akibat kehilangan pandangan tentang realitas Tuhan; ini tentu tidak berarti bahwa Ayyub memiliki suatu jenis kesalahan teoretis yang dapat dibenarkan dengan alat eksperi men. Realitas Tuhan barangkali berada di luar dari apa yang dianutnya.

Masalahnya adalah dalam penggunaan bahasa agamalah gambaran tentang realitas Tuhan mendapatkan tempatnya, meskipun, saya ulangi, ini tidak berarti berada dalam kekuasaan seseorang yang mengatakannya. Jika hal ini demikian, maka Tuhan tidak akan lagi memiliki realitas.

membedakan antara yang manis dengan yang tidak manis. Mudah untuk mengidentifikasi yang riil dengan ukuran bisa diindera atau tidaknya. Namun tidak demikian dengan riil dan tidak riil yang tak bisa diindera, sebab ia sulit ditemukan dengan cara yang dapat membedakan yang riil dari yang tidak riil dalam bahasa. Maka, jika kita ingin memahami arti konsep-konsep ini, maka kita harus meneliti penggunaannya di dalam bahasa.

eksperimen hanya dapat dikhususkan di dalam batasan kriteria yang telah mengenal jenis aktivitas ilmiah tempat metode iti diterapkan. Jika si buta huruf yang ilmiah diminta menggambar. kan hasil sebuah eksperimen yang ia amati di laboratorium fisika yang maju, maka ia tentu tidak dapat melakukan hal itu melalui istilah-istilah yang relevan dengan hipotesis yang sedang diuji. Padahal hanya dengan istilah itulah sebenarnya yang dibangun melalui metode eksperimen yang diterapkannya. Dan ini pada gilirannya hanya dapat dimengerti oleh seseorang bicara tentang kita pantas ber'hasil eksperimen'. seperti itu. Jelaslah bahwa ekspresi seperti 'penghubung yang benar' dan 'realitas yang independen' pada kalimat sebelumnya, dengan sendirinya mustahil dijelaskan dengan merujuk pada alam wacana ilmiah. Jika dipaksakan maka hal ini akan menimbulkan banyak persoalan. Dengan merujuk pada apa yang menetapkan alam wacana, maka kita bisa mempertanyakan bagaimana penggunaan ungkapan-ungkapan itu harus dijelaskan. Dalam hal ini, jelas- jelas Evans-Pritchard tidak menjawab persoalan itu. Dari apa yang saya katakan, muncul dua persoalan: Pertama, adalah bermasalah jika menganggap sistem magi primitif, seperti

yang dimiliki suku Azande, adalah alam wacana koheren seperti sains. Harus diperhatikan batasan-batasan untuk menentukan konsep realitas yang dapat dimengerti dan cara-cara yang jelas untuk membedakan mana kepercayaan yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan realitas ini! Harus diungkapkan di sini bahwa sebuah jawaban tegas persoalan pertama ini tidak akan membuat saya meng- anggap rasional semua kepercayaan yang tertulis dalam konsep- konsep magis atau dalam semua prosedur yang dipraktikkan atas nama kepercayaan semacam itu. Tak ada dalil yang kuat untuk mempertahankan bahwa semua prosedur yang 'dijustifikasi' atas nama sains adalah kebal dari kritisisme rasional. Pernyataan dari Collingwood tampaknya tepat untuk mengambarkan hal ini: untuk Orang-orang beradab tidak lebih terbebas dari kebodohan diban- dingkan orang yang tak beradab. Keduanya sama-sama bisa terperosok pada kesalahan berpikir mereka sendiri, atau dikuasai oleh pribadi-pribadi superior yang mereka anggap dapat melakukan apa yang sebenarnya tidak dapat dilakukan. Tetapi kesalahan ini bukanlah esensi dari magi.

sendiri. Ini harus dipahami secara agak berbeda. Evans-Pritchard sendiri menyinggung perbedaan itu dalam bagian berikut ini:

Ketika seorang Zande berbicara tentang ilmu sihir, ia tidak mem bicarakan tentangnya seperti kita berbicara tentang ilmu sihir vang menakutkan dari sejarah kita sendiri. Ilmu sihir bagi orang Zande merupakan kejadian biasa dan mereka jarang melewatkan satu hari tanpa menyinggungnya... Bagi kita, ilmu sihir adalah sesuatu yang membayangi dan memuakkan para leluhur kita yang caya. Tetapi orang Zande selalu berharap bisa bersama ilmu sihir setiap waktu, siang dan malam. Sementara kita takut ketika ilmu sihir menampakkan dirinya, mereka malah khawatir jika satu hari lewat dari kontak dengan ilmu kita ilmu sihir adalah tak masuk akal. Kita memberinya kosakata "ajaib". Bagi orang Azande, tak ada yang ajaib tentang hal itu.

mudah perberikan contoh yang jelas, Anda tidak dapat memahami apa itu Black Mass, kecuali jika Anda akrab dengan ritus Misa, dan karena itu dengan seluruh kompleks ide-ide keagamaan di mana Misa itu mendapatkan artinya. Begitu juga Anda tidak dapat memahami hubungan antara semua ini tanpa memperhatikan catatan fakta bahwa praktik Black ini ditolak karena dianggap irasional (dalam arti yang sesuai dengan agama) dalam sistem

Magi Hitam atau astrologi memiliki rujukan esensial pada sesuatu di luar keduanya. Posisi- nya adalah seperti ditunjukkan Socrates, dalam Gorgias dari Plato, sebagai gambaran retorika aliran Sophis: bersifat menempel (parasit) pada wacana rasional sedemikian rupa sehingga karakter irasionalnya dapat ditunjukkan dalam istilah ketergantungan ini. Karenanya penting dicatat, ketika kita berbicara tentang praktik- praktik seperti 'tahayul', 'ilusi', 'irasional', maka kita memikul beban kultur di belakang kita.

Gagasan-gagasan mistik (mystical notions).. adalah pola-pola pemikiran yang menghubungkan fenomena pada sifat-sifat adirasa (suprasensible) yang semuanya atau sebagiannya tidak berasal dari observasi atau tidak dapat diduga oleh observasi logis. menghubungkan gagasan kebenaran umum (common-sense) fenomena pada apa yang hanya bisa diamati manusia atau apa yang dapat diduga oleh observasi secara logis. Maka selama sebuah gagasan belum bisa diamati secara tegas, maka gagasan itu digolong. kan sebagai mistik. Jika sudah bisa diamati secara tegas, meskipun salah karena berdasarkan keterangan observasi yang tidak lengkap. ... gagasan itu disebut bukan mistik. Gagasan-gagasan ilmiah (scientific notions). Sains berkembang dari kebenaran umum (common-sense), tetapi jauh lebih metodis lebih baik. Dari ungkapan-ungkapan yang dicetak miring, akan terlihat bahwa Evans-Pritchard melakukan lebih dari sekadar mendefinisikan beberapa istilah yang ia pakai sendiri. Beberapa klaim metafisika diwujudkan dalam definisi: secara substansial hal ini identik dengan klaim yang diwujudkan dengan cara pembedaan Pareto antara perilakuanis'.

" Ada sebuah implikasi yang jelas bahwa mereka yang menggunakan gagasan II"

Kriteria apa yang kita gunakan untuk menentukan sesuatu ini dapat dimengerti atau tidak dapat dimengerti? Jawaban parsialnya adalah bahwa serangkaian kepercayaan dan praktik tidak dapat dimengerti sejauh keduanya masih terlibat dalam kontradiksi. Nah, tampaklah bahwa kontradiksi dalam konsultasi ramalan itu terjadi setidaknya melalui dua cara. Pada satu sisi, dua pernyataan ramalan berkontradiksi satu sama lain; dan pada sisi lain, sebuah pernyataan konsisten berkontradiksi dengan pengalaman masa depan. Pada gilirannya saya akan meneliti masing. masing dari kemungkinan yang tampak ini.

Di sini kita memiliki satu alasan mengapa kemungkinan 'penolakan oleh pengalaman' adalah jauh lebih sedikit dibandingkan yang sebelumnya diduga. Ada alasan lain yang erat terkait. Semangat yang dikonsultasikan dalam ramalan tidak serupa dengan semangat yang dialami oleh seorang saintis. Penyingkapan ramalan tidak diperlakukan sebagai hipotesis dan karena artinya tidak berasal dari cara di mana ramalan itu diperlakukan dalam konteksnya, maka ramalan itu bukan hipotesis. Ramalan bukanlah masalah kepentingan intelektual, tetapi cara utama di mana suku Azande memutuskan bagaimana mereka harus bertindak. Jika si peramal menyatakan bahwa jalan tindakan yang diusulkan penuh dengan bahaya ilmu sihir, maka jalan tindakan itu tidak boleh dilakukan; sehingga masalah konfirmasi atau penolakan tidak muncul.

Gagasan-gagasan mistik (mystical notions).. adalah pola-pola pemikiran yang menghubungkan fenomena pada sifat-sifat adirasa (suprasensible) yang semuanya atau sebagiannya tidak berasal dari observasi atau tidak dapat diduga oleh observasi logis. Gagasan- menghubungkan gagasan kebenaran umum (common-sense) fenomena pada apa yang hanya bisa diamati manusia atau apa yang dapat diduga oleh observasi secara logis. Maka selama sebuah gagasan belum bisa diamati secara tegas, maka gagasan itu digolong. kan sebagai mistik. Jika sudah bisa diamati secara tegas, meskipun salah karena berdasarkan keterangan observasi yang tidak lengkap. ... gagasan itu disebut bukan mistik. Gagasan-gagasan ilmiah (scientific notions). Sains berkembang dari kebenaran umum (common-sense), tetapi jauh lebih metodis lebih baik. Dari ungkapan-ungkapan yang dicetak miring, akan terlihat bahwa Evans-Pritchard melakukan lebih dari sekadar mendefinisikan beberapa istilah yang ia pakai sendiri. Beberapa klaim metafisika diwujudkan dalam definisi: secara substansial hal ini identik dengan klaim yang diwujudkan dengan cara pembedaan Pareto antara perilaku yang logis' dan 'nonlogis'." Ada sebuah implikasi yang jelas bahwa mereka yang menggunakan gagasan II

Kriteria apa yang kita gunakan untuk menentukan sesuatu ini dapat dimengerti atau tidak dapat dimengerti? Jawaban parsialnya adalah bahwa serangkaian kepercayaan dan praktik tidak dapat dimengerti sejauh keduanya masih terlibat dalam kontradiksi. Nah, tampaklah bahwa kontradiksi dalam konsultasi ramalan itu terjadi setidaknya melalui dua cara. Pada satu sisi, dua pernyataan ramalan berkontradiksi satu sama lain; dan pada sisi lain, sebuah pernyataan konsisten berkontradiksi dengan pengalaman masa depan. Pada gilirannya saya akan meneliti masing. masing dari kemungkinan yang tampak ini.

Di sini kita memiliki satu alasan mengapa kemungkinan 'penolakan oleh pengalaman' adalah jauh lebih sedikit dibandingkan yang sebelumnya diduga. Ada alasan lain yang erat terkait. Semangat yang dikonsul- tasikan dalam ramalan tidak serupa dengan semangat yang dialami oleh seorang saintis. Penyingkapan ramalan tidak diperlakukan sebagai hipotesis dan karena artinya tidak berasal dari cara di mana ramalan itu diperlakukan dalam konteksnya, maka ramalan itu bukan hipotesis. Ramalan bukanlah masalah kepentingan intelektual, tetapi cara utama di mana suku Azande memutuskan bagaimana mereka harus bertindak. Jika si peramal menyatakan bahwa jalan tindakan yang diusulkan penuh dengan bahaya ilmu sihir, maka jalan tindakan itu tidak boleh dilakukan; sehingga masalah konfirmasi atau penolakan tidak muncul.

RANGKUMAN ISI BUKU (TAFSIR POLITIK) TELAAH HERMENEUTIS WACANA SOSIAL-POLITIK KONTEMPORER. OLEH JURGEN HABERMAS, WILIAM, DKK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun