Pada Debat Capres bertema “Politik Internasional dan Ketahanan Nasional”, Minggu (22 Juni 2014), Capres Jokowi mengatakan: “Saya, Jokowi-JK, mendukung penuh Palestina menjadi negara merdeka, menjadi negara berdaulat. Dan mendukung penuh Palestina untuk masuk sebagai anggota PBB”.
Banyak yang bertepuk tangan. Tentu saja, bagi umat Islam di Indonesia, isu Palestina adalah jualan yang menarik perhatian. Sebagian mungkin menilai bahwa Jokowi berusaha menarik hati pemilih Muslim. Tapi saya pikir, pernyataan Jokowi itu seperti menabur garam di lautan. Karena, komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, dan dukungan agar Palestina menjadi anggota PBB sudah menjadi sikap permanen politik luar negeri Indonesia. Dalam teori politik luar negeri ada konsep “continuity and change“. Nah, diantara banyak perubahan sikap politik luar negeri Indonesia pada setiap periode, sikap terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina tidak pernah berubah sejak jaman Bung Karno.
Lalu, bagaimana kita menjelaskan “jualan” Jokowi terhadap isu kemerdekaan Palestina ini? Ada rentetan peristiwa yang menurut saya menarik untuk dibincangkan.
Minggu, 22 Juni, sore hari sekitar jam 3 sore, ada berita heboh di situs Kantor Berita Antara Biro Sulawesi Selatan. Isinya, Dubes Palestina H.E. Fariz N. Mehdawi menyatakan dukungan dirinya dan rakyat Palestina terhadap Jokowi. Tentu saja, pendukung Jokowi segera menyebarkan link “membahagiakan” ini.
akan tetapi, sebagai orang yang belajar HI, saya terbelalak. Sungguh kaget dan tidak percaya ada Dubes negara sahabat membuat pernyataan seperti itu. Pernyataan tertulis pula. Dalam praktek diplomasi, ini fenomena seperti “off-side, plus diving di kotak penalti, dan memukul kiper lawan” dalam sepak bola. Harusnya kartu merah dan larangan bermain seumur hidup untuk Dubes H.E. Mehdawi… (maksudnya, Dubes ini harus dipersona-non-grata oleh Pemerintah Indonesia, dan diberhentikan dari diplomat selamanya oleh Pemerintah Palestina). Ini masuk kategori “mencampuri urusan domestik” dari sisi Indonesia. Dan dapat dikategorikan “membahayakan kepentingan nasional” kalau dilihat dari sisi Palestina (coba bayangkan, apa jadinya jika Prabowo yang terpilih jadi Presiden RI).
Ternyata, berita ini memang palsu. Kantor Berita Antara pada Senin (23 Juni 2014) sore hari menyatakan bahwa Website Antara Biro Sulawesi Selatan kena hack. Antara tidak pernah menyiarkan berita tersebut, wartawannya tidak pernah mewawancarai Dubes Palestina, dan juga tidak ada pernyataan tertulis Dubes Palestina. Ini penjelasan resmi Antara di situsnya.
Hanya beberapa jam setelah berita yang dimuat Antara Biro Sulawesi Selatan (yang dirujuk oleh media-media lain, termasuk Kompas), Jokowi seperti “menyambung” pemberitaan tersebut, yang sekilas dapat diartikan sebagai komitmen persahabatan kedua pihak, yaitu Dubes H.E. Mehdawi dan Capres Jokowi, yang nampaknya akan meningkat menjadi persahabatan antara kedua negara. Seperti saya katakan di atas, ini adalah konstruksi yang menarik. Karena Indonesia memang lahir bathin mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, dan juga terus berjuang untuk keanggotaan Palestina di PBB.
Pagi hari ini, Selasa (24 Juni 2014) pagi-pagi muncul berita mengenai rencana Jokowi untuk membuka Kantor Kedutaan Besar Indonesia di Palestina. Berita ini antara lain dimuat juga Republika Online di sini. Saat kampanye di Pontianak, Capres Jokowi menyatakan niat tersebut.
Apa yang menarik disini?
Ketiga rentetan peristiwa ini (Antara kena hack, pernyataan Capres Jokowi saat debat, dan pernyataan soal keinginan membuka Kedutaan Palestina saat kampanye) adalah konstruksi yang menarik. Apakah itu adalah hal yang terpisah satu sama lain? Ataukah ketiganya merupakan desain, dengan maksud hendak mengangkat isu Palestina?
Saya cenderung menduga-duga (mungkin karena suasana kampanye dan di belakang sana ada yang sedang adu strategi), bahwa ketiga peristiwa itu "by design".