Mohon tunggu...
Rahman Ishaq
Rahman Ishaq Mohon Tunggu... pegawai negeri -

menulis sedikit di banyak tempat...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa di Balik Isu Palestina?

2 Juli 2014   06:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:53 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masalah utama eksistensi Palestina di dunia internasional adalah faktor Israel, yang tidak pernah (atau belum) rela membiarkan Palestina merdeka.  Israel menjadikan isu Palestina sebagai alat politik internasionalnya, selain tentu saja karena faktor penguasaan efektif terhadap wilayah.  Israel memiliki bargaining position sangat kuat dalam hubungan internasional, terutama karena kemampuan negara ini mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat melalui apa yang sangat populer dikenal dengan “lobby Yahudi”.

Instrumen “lobby Yahudi” yang utama di Amerika Serikat adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), suatu organisasi lobby yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan di Kongress dan eksekutif Amerika Serikat.  Karena “dekatnya” hubungan Israel dan Amerika Serikat, hampir tidak ada perbedaan kepentingan kedua negara yang "mencolok di muka umum".  Amerika Serikat adalah negara adidaya yang tidak pernah dapat berbuat apa-apa terhadap Israel, seberat dan separah apapun Israel melanggar norman internasional atau hukum internasional.

Sementara itu, pada konflik Israel-Palestina, Indonesia sudah sejak lama ingin mengambil bagian dan berperan strategis dalam penyelesaian konflik.  Selama ini, peranan Indonesia hanya sebatas memberikan dukungan kepada Palestina saja, baik melalui mekanisme bantuan kemansiaan mapun melalui dukungan kepada Palestina di forum-forum internasional.  Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi aktor dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, baik sebagai fasilitator maupun sebagai mediator.

Akan tetapi, keinginan Indonesia tersebut tidak pernah dapat direalisasikan, karena Tel Aviv mengajukan satu syarat yang sangat sulit diterima Jakarta, yaitu: “Indonesia harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel” terlebih dahulu.  Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim sangat sensitif dengan isu ini.  Cita-cita Israel untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia tidak pernah kesampaian, karena kuatnya penolakan di dalam negeri Indonesia. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid membuka wacana ini, penolakan publik (terutama umat Islam) luar biasa besar. Tentu saja, wacana itu berhenti ditengah jalan.

Mungkinkah Kedutaan Besar di Palestina?

Apa yang oleh sebagian negara di dunia diakui sebagai “negara Palestina”, dalam perspektif Israel hanyalah wilayah otonom, yang secara formal disebut Palestinian National Authority atau PNA.  Sebagian besar wilayah tersebut berada di bawah kendali Israel.  Karena Israel tidak mengakui eksistensi Palestina sebagai negara berdaulat, maka Israel tidak pernah mengijinkan ada Kedutaan Besar negara asing di Palestina.

Negara-negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Palestina (artinya mengakui eksistensi Palestina sebagai negara berdaulat) mengakreditasi Kedutaan Besar di beberapa negara sekitar, sehingga wilayah kerjanya juga mencakup Palestina.  Sebagian besar terletak di Kairo, Mesir.  Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Palestina kini dirangkap oleh KBRI Jordania di Amman.

Sekarang ini ada 39 perwakilan negara asing plus Uni Eropa di dalam wilayah Palestina (sebagian besar berkantor di Ramallah dan beberapa diantaranya berkantor di Gaza).  Akan tetapi, statusnya adalah Kantor Perwakilan, bukan misi diplomatik, apalagi Kedutaan Besar.  Tentu saja, karena hanya merupakan kantor perwakilan maka tidak ada kekebalan diplomatik (diplomatic immunity) yang menjadi atribut utama para diplomat.  Israel dengan tegas mengatakan bahwa negara-negara asing diperkenankan membuka perwakilan di wilayah Palestina, tetapi tidak mengijinkan pelaksanaan fungsi kekonsuleran.

Dengan latar belakang demikian, maka gagasan Jokowi untuk membuka Kedutaan Besar di Palestina adalah gagasan yang tidak masuk akal, setidaknya untuk situasi politik internasional saat ini.  Paling maksimal yang bisa dilakukan adalah membuka kantor perwakilan.  Akan tetapi, hal itu hanya dapat dilakukan jika “Indonesia terlebih dahulu membuka hubungan diplomatik dengan Israel”.  Apakah memang Jokowi berniat membuka hubungan diplomatik dengan Israel?

Saya yakin, tim pemikir Jokowi-JK paham sekali situasi Palestina.  Bukankah ada pemikir-pemikir HI papan atas, seperti Andi Widjajanto (mantan dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia), ada Rizal Sukma (tokoh penting di CSIS Jakarta), bahkan juga ada puluhan mantan jenderal yang seharusnya telah menerima informasi tentang hubungan luar negeri Indonesia saat mengenyam kursus-kursus di Lemhanas.

Maka kita patut pertanya-tanya mengenai motif utama dibalik mainstreaming isu Palestina oleh Jokowi pada Pilpres kali ini.  Jika saja Jokowi betul-betul ingin membuktikan janjinya membuka Kantor Perwakilan Indonesia di Palestina, berarti memang ada niat untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.  Apakah rakyat Indonesia siap dengan hal itu? Ini tantangan terbesarnya. Memberi pengertian kepada ratusan juta rakyat Indonesia untuk isu seperti ini tidak bisa dengan “diplomasi makan siang“, sebagaimana strategi berdialog dan memberi pengertian kepada pedagang kaki lima yang diminta pindah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun