Sejarah Buruk Yahudi
      Sepanjang sejarah, Yahudi tidak pernah memiliki reputasi yang baik. Sebaliknya, catatan mereka dipenuhi dengan kejahatan dan kejahatan. Membunuh para nabi dan saling berperang di antara mereka sendiri adalah adegan di panggung-panggung awal. Setelah itu, mereka beralih untuk menindas bangsa-bangsa lain, dengan mengklaim diri sebagai umat pilihan Tuhan.
Ada sebuah ungkapan dan premis bahwa "Orang Yahudi adalah Bani Israel," sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam bukunya "Al-Yahud fi al-Qur'an" yang diterbitkan oleh Al-Fath lil I'lam al-Arabi di Kairo pada tahun 1994, halaman 5. Penulis menyajikan pernyataan ini seolah-olah sebagai sebuah fakta yang tak terbantahkan, tanpa ada keraguan atau perdebatan. Akan tetapi, Al-Qur'an tidak sejalan dengan premis ini. Al-Qur'an secara umum, dan cukup jelas, membedakan antara orang Yahudi dan Bani Israel. Artinya, Al-Qur'an tidak menganggap keduanya sebagai satu entitas, melainkan dua entitas yang berbeda.
Ironinya, Banyak orang di dunia Arab dan bahkan di seluruh dunia menggunakan istilah "Yahudi" untuk mewakili seluruh Bani Israel. Namun Al-Qur'an sekali lagi tidak menyamakan Yahudi dengan Bani Israel secara harfiah bahkan membedakan antara keduanya dengan sangat gamblang. Istilah "Yahudi" dalam Al-Qur'an merujuk pada komunitas Yahudi yang hidup di zaman Nabi Muhammad, bukan pada seluruh keturunan Nabi Ya'qub As.
Dan peperangan yang terjadi dalam Sejarah umat Islam sebagaimana dituliskan dalam buku-buku Sirah Nabawiyah adalah antara kaum muslimin dan Yahudi, yang keberadaannya memang nyata adanya, bukan dengan Bani Israel yang sudah tiada.[1]
Â
Bani Israel dan Yahudi
Para mufassir (ahli tafsir) memang telah sepakat bahwa Israil adalah Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim, dan Bani Israil adalah keturunannya.[2] Di antara keturunan Bani Israel terdapat para nabi seperti Nabi Yusuf, Nabi Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Ayyub, Zakaria, Yahya, dan Isa Al-Masih Radhiyallahu Ta'ala 'Anhum. Oleh karena itu, menghina "Israel" - yang merupakan Nabi Allah, Ya'qub As. - atau menghina "Bani Israel", di mana terdapat para nabi dan rasul, dianggap sebagai salah satu dosa besar.
Â
Maka menyamakan semua Bani Israel dengan Yahudi (meskipun ada hubungan historis di antara keduanya) adalah tidak benar dan bertentangan dengan teks Al-Qur'an serta realitas sejarah. Karena Jelas bahwa dengan adanya kerancuan dan miskonsepsi dalam penggunaan istilah dan maknanya, yang menyebabkan kebencian historis terhadap seluruh Bani Israel. Kita perlu memahami konteks ayat dengan lebih baik lagi agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman.[3]
Â
Senjata Utama: Kelaparan
      Dalam kekuasaan mereka atas bangsa-bangsa khususnya terhadap rakyat Palestina, Yahudi mengandalkan kelaparan sebagai senjata utama. Mereka terus melakukannya hingga kelaparan menghantam semua yang mereka kepung, lalu hitungan korban mati pun dimulai. Inilah yang kita saksikan di Palestina yang dijajah. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka. Tuduhan ini telah berulang kali dibantah oleh negara Yahudi tersebut meskipun terdapat banyak bukti yang menyatakan sebaliknya.
Â
      Dan  Human Rights Watch dan Oxfam mengutuk penggunaan kelaparan oleh Israel sebagai senjata perang. Dan Borrell melaporkan bahwa Penduduk Gaza menghadapi " bencana akibat ulah manusia " atau "man-made disaster". Tidak lain bencana kelaparan itu memang sengaja didisain oleh mereka untuk menyiksa rakyat Palestina. Fenomena yang membuat kita meneteskan air mata adalah saat kita dengan nikmat menyantap menu berbuka di meja makan kita, sedangkan warga Palestina di Gaza saat itu berbuka puasa selama Ramadhan dengan sisa sampah dan jumbai rumput.[4]Â
Â
      Pada tanggal 29 Desember 2023, Afrika Selatan mengajukan Permohonan ke ICJ yang menuduh Negara Israel melanggar Konvensi Genosida 1948, antara lain dengan "the starvation of civilians as a method of warfare" atau "kelaparan terhadap warga sipil sebagai metode peperangan". Stephen Devereux, Julian May dan Carla Bernardo menyebutkan bahwa "Kelaparan adalah salah satu strategi paling biadab yang digunakan untuk berperang. Hal ini digunakan untuk membunuh secara perlahan, untuk menghancurkan secara emosional, dan pada akhirnya untuk melenyapkan. Membatasi akses masyarakat terhadap makanan dan air, dan membiarkan mereka tertatih-tatih di ambang kelaparan dan kelaparan, akan menimbulkan konsekuensi yang mengerikan dan tidak dapat diubah yang akan bertahan hingga generasi mendatang."[5]
Â
      Sebelum pengepungan terakhir ini, 80% penduduk Gaza sudah bergantung pada bantuan kemanusiaan sebagai sumber utama pangan dan nutrisi. Kini, ketika toko roti, dapur umum, dan pasar makanan dibom, keran air mengering, tanaman hancur, dan akses terhadap bantuan pangan internasional ditolak, rakyat Palestina dibuat sangat menderita dan dihancurkan berkeping-keping.
Â
      Lebih dari 2.000 tahun yang lalu, Sun Tzu menulis dalam The Art of War tentang keterkaitan antara perang dan makanan. Julius Caesar diyakini menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Di Afrika Selatan, Shaka menggunakan taktik "scorched-earth" atau "bumi hangus" dalam kampanye militernya, seperti yang dilakukan Inggris selama Perang Afrika Selatan.
Â
      Dan Pada masa Perang Dunia II, Nazi Jerman melaksanakan "Der Hungerplan". Dengan memblokade kota-kota seperti Leningrad, penduduknya mengalami kelaparan berkepanjangan, yang mengakibatkan kematian sedikitnya satu juta warga sipil (dan yang paling banyak tewas saat itu adalah bangsa Yahudi).
Â
      Pada tahun 2020, PBB juga memperkirakan bahwa 131.000 dari 233.000 kematian selama perang yang sedang berlangsung di Yaman disebabkan oleh "penyebab tidak langsung seperti kekurangan makanan"
Kejahatan pangan di Palestina [6]
Sejak pendudukan Israel dimulai pada tahun 1948, sistem pangan Palestina telah diserang. Selain pembatasan penandaan dan mobilitas, penghancuran tanaman juga merupakan metode peperangan yang sering digunakan dan banyak dikritik oleh pemerintah Israel.
Kebun zaitun, yang merupakan pusat penghidupan dan budaya warga Palestina, telah dihancurkan oleh pasukan Israel, baik pada saat konflik maupun dalam kondisi yang relatif damai. Di beberapa bagian Gaza seperti Khan Younis, para petani memerlukan izin untuk masuk dan merawat tanah mereka.
Impor dan ekspor juga dikontrol secara ketat oleh rezim Israel, melalui pemberlakuan daftar barang terlarang atau dibatasi, termasuk buah-buahan kering, ketumbar, selai, dan coklat. Kebutuhan pertanian seperti pupuk sulit didapat karena dianggap berpotensi sebagai bahan pembuatan bom.
Konflik yang terjadi saat ini melanjutkan pola yang sama: selama musim panen pada bulan Oktober dan November 2023, banyak petani Palestina tidak dapat merawat lahan pertanian dan ternak mereka. Pengeboman yang terus-menerus membuat keluarga petani terpaksa mengungsi, memutus jalur keuangan dan sumber makanan utama mereka.
Banyak penentang dan protes atas Tindakan tidak manusiawi ini karena adanya dampak buruk malnutrisi terhadap kesehatan dan perkembangan anak. Anak-anak di bawah usia lima tahun, dan anak-anak yang belum lahir, merupakan kelompok yang paling berisiko, dan guncangan nutrisi akibat kelaparan yang terjadi di Gaza dapat menghambat perkembangan fisik dan kognitif mereka secara permanen. Berat badan lahir rendah yang kemungkinan disebabkan oleh malnutrisi pada ibu juga akan meningkatkan risiko kematian atau kecacatan bayi. Persediaan air yang tercemar, rusaknya sistem pembuangan limbah padat, dan sanitasi yang buruk meningkatkan risiko diare pada anak, sehingga semakin meningkatkan risiko kekurangan gizi kronis .
Implikasi dari kelaparan yang dipersenjatai tidak hanya sekedar penderitaan langsung dan malnutrisi jangka panjang. Jika tidak terjadi kematian dan kehancuran akibat bom dan peluru dalam waktu dekat, penggunaan kelaparan sebagai senjata perang akan tertanam dalam masyarakat yang terkena dampak, sehingga menimbulkan trauma seumur hidup dan melemahkan prospek perdamaian dan rekonsiliasi, mungkin selama beberapa generasi.
Korban 2023-2024
Laporan Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), sejak pecah konflik bersenjata pada 7 Oktober 2023, jumlah korban tewas warga Palestina mencapai lebih dari 36.000 ribu jiwa dan 86 ribu lainnya luka-luka. Sebanyak 36.171 korban jiwa berada di Jalur Gaza dan 519 korban jiwa di Tepi Barat. Jumlah anak yang menjadi korban mencapai 15.162 dan puluhan ribu lainnya terpisah-pisah dari keluarga mereka. Jumlah perempuan tewas dalam serangan Israel mencapai 10.018 sementara 7.000 lainnya hilang. Pemberitaan media massa mencatat, dalam 100 hari pertama konflik, lebih dari 1.000 anak Palestina di Gaza terbunuh.[7]Â
Â
Berdasarkan laporan Aljazeera, sampai hari ke-149 konflik tersebut, sedikitnya 3.954 warga Palestina meninggal dunia akibat serangan Israel. Rinciannya, sebanyak 30.534 merupakan warga Jalur Gaza, termasuk di antaranya 12,300 anak-anak dan 8 ribu orang yang hilang. Kemudian warga Tepi Barat sebanyak 420 jiwa termasuk di antaranya 110 anak-anak.
Â
Data yang diambil dari Palestinian Ministry of Health dan Palestine Red Crescent Society ini juga mengungkapkan total korban luka di pihak Palestina mencapai 72 ribu lebih orang. Dengan rincian warga Jalur Gaza mencapai paling tidak 71,920 orang, termasuk di antaranya 8.866 anak-anak, dan warga Tepi Barat sebanyak lebih dari 4,600 orang.[8]
Â
Dimanakah Orang-Orang Arab?Â
      Yang mengherankan adalah, mereka yang menyebut diri sebagai orang-orang yang murah hati sepanjang sejarah, yaitu orang-orang Arab, kini justru turut serta dalam politik kelaparan Yahudi. Tidakkah ada satu orang Arab yang waras yang akan membuka jalan bantuan kemanusiaan ke tanah yang terus-menerus diserang dan dibombardir selama kurang lebih satu tahun ini? Sungguh menyedihkan dan menyayat hati kita semua.
Â
Tragedi Nabi Elia [9]
      Sejarah mencatat, Yahudi pernah mengepung Nabi Ilyas a.s. di Gunung Qasiyun hingga beliau meninggal kelaparan. Setelah Beliau datang kepada mereka dengan membawa petunjuk dan ketakwaan serta berusaha menasihati mereka untuk kembali kepada Allah[10], mereka justru berusaha membunuhnya. Namun, Nabi Ilyas a.s. berhasil menaiki Gunung Qasiyun yang tidak terjangkau oleh mereka, dan mereka terus mengepungnya selama bertahun-tahun hingga akhirnya Allah memanggilnya.
 Â
Penutup
Setelah pemaparan panjang lebar di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Pemerintah Israel harus diselidiki atas kejahatan perang di Gaza. Mereka harus dihukum seberat-beratnya di dunia ini, sebelum dihakimi oleh Allah di Akherat kelak.
Â
Mata kita harus melek dan hati kita harus tergugah menyuarakan kebenaran dan realitas yang terjadi di Palestina. Tidak boleh ada yang tutup mata bahkan tutup mulut melihat penderitaan yang melanda mereka. Di samping itu, kita harus bahu membahu untuk terus membantu rakyat Palestina dengan bantuan material finansial berupa uang dan logistik, bantuan emosional berupa empati dan simpati, serta bantuan spiritual berupa doa-doa yang selalu terlangitkan.
Â
 Referensi :
[1] https://al-akhbar.com/Kalimat/274839
[2] Seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Razi, Imam asy-Syaukani, Sayyid Siddiq Hasan Khan, dan ulama lainnya.
[3] Dr. Taufik Hamid dalam https://www.alhurra.com/latest/2019/10/18/--------
[4] "This year, Palestinians in Gaza broke their fasts during Ramadan with scraps of garbage and tufts of grass." Tulisan John Oakes dalam https://www.theguardian.com/commentisfree/article/2024/jun/25/starvation-israel-gaza-war
[5] Israel's genocidal use of starvation as a weapon of war pada web https://foodsecurity.ac.za/news/israels-genocidal-use-of-starvation-as-a-weapon-of-war/
[6] Ibid.
[7] https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-gencatan-senjata-permanen-konflik-israel-palestina-dan-perdamaian#:~:text=Laporan%20Palestinian%20Central%20Bureau%20of,korban%20jiwa%20di%20Tepi%20Barat.
[8] https://dunia.tempo.co/read/1841341/jumlah-korban-tewas-konflik-israel-palestina-per-4-maret-2024-mencapai-31-ribu-jiwa
[9] Nabi Elia dalam Islam dikenal sebagai Nabi Ilyas AS. Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, Imam Ibnu Katsir berpendapat bahwa Nabi Ilyas dan Khidr telah meninggal dunia, dan prasangka yang mengatakan bahwa keduanya masih hidup dan berkumpul setiap bulan Ramadhan di Baitul Maqdis serta berhaji setiap tahun merupakan pendapat yang tidak berdalil dan tidak dapat dijadikan hujjah.
[10] Mendakwahkan tauhid dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H