4. Ma : Dan
5. Lela: (a) wadah untuk menampung hasil pangan; (b) celah; dan (c) pintar atau kenal, tahu. Salah satu arti dari kata ‘lela’ ialah pintar. Kata lela diberi awalan ma dan akhiran k menjadi ‘malelak’ yang berarti kepintaran atau orang pintar. Sedangkan, kata ‘lela’ menjadi lela kapa adalah sebuah frase bertingkat. Makna denotasi dari lela kapa ialah celah kedua paha kerbau bagian belakang dimana melalui celah paha kerbau betina itulah anak kerbau menerima/mengisap air susu induknya. Kerbau dianggap salah satu lambang kemakmuran atau hewan serba guna bagi orang Rote. Buktinya diujung pangkal karpus rumah orang Rote dibuat dekorasi dari balok lontar atau kayu (bersilang) yang disebut “mataboa buluk”, walaupun bervariasi, namun pada prinsipnya bermakna tanduk kerbau.
6. Falu: Delapan. Angka 9 dan 8 adalah angka-angka puncak. Ndolu sio bermakna suatu sikap moral yang tinggi serta lela falu bermakna sifat murah hati yang besar. Orang yang memiliki sifat pendamai dan penyayang serta selalu menaruh belas kasihan dalam ungkapan orang Rote disebut ‘mana mahinda ndolu sio ma mana mambeda lela falu’. Arti mahinda atau mambeda adalah menaruh, menyimpan atau memelihara. Seseorang dapat dikategorikan sebagai orang yang ‘mana mahinda ndolu sio ma mana mambeda lela falu’, bila oknum tersebut mempunyai sikap moral yang tinggi atau mempunyai sifat pendamai, penyayang dan cerdas serta bermurah hati atau orang yang berpastisipasi tinggi dalam menciptakan kedamaian, kemakmuran, dan pengetahuan.
Misi yang diemban oleh Foeh Mbura bertujuan untuk mencari atau mengusahakan kedamaian, kesejahteraan, dan pengetahuan bagi rakyatnya, maka perahu yang dipergunakan diberi nama ‘Sangga Ndolu’, bermakna mencari sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan ‘mental spiritual’ dan tungga lela bermakna pergi mencari/mengambil sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan ‘fisik material’. Foeh Mbura sangat prihatin akan situasi keamanan, kesejahteraan, pengetahuan rakyatnya pada masa pemerintahannya masih tergolong miskin, bodoh dan selalu terjadi peperangan antara nusak yang satu dengan nusak lainnya (Paul A. Haning, 2013: 1 – 4).
Dua kata pertama, yaitu ‘Sangga Ndolu’ diabadikan untuk nama perahu yang dipergunakan dalam ekspedisi mereka menuju Batavia ketika ayahnya Mbura Mesah (1690 – 1729) meninggal pada tahun 1729 lalu ia dinobatkan menggantikan ayahnya dan Foeh Mbura merupakan Raja Thi’e ke-5 (1729 – 1746). Tujuan yang ingin dicapai oleh Foeh Mbura dan rombongannya dalam mempertaruhkan jiwa raga mereka mengarungi samudera untuk pergi ‘sangga ndolu sio ma tungga lela falu’ menandakan kecintaan besar mereka terhadap rakyat, rakyat Thie bahkan rakyat Rote Ndao. Sudah tidak dibantah lagi bahwa Foeh Mbura hebat, idealis, pelaut handal dan nasionalis. Dia patut dikenal dan dikenang sebagai salah satu pelaku sejarah lainnya di persada Tanah Air Indonesia. Oleh karena itu, tepat sekali Foeh Mbura dijuluki Raja, Pendidik, Perintis Agama Kristen pertama di Rote dan Pelaut andalan pertama asal Rote se-level Magelhaens dari Spanyol dari tahun 1519 – 1521.
Penulis pertama bahkan melakukan “Ekspedisi Sangga Mamanak” ke Batutua di Rote Barat Daya pada tanggal 3 Juli 2015 dan berhasil mewawancarai berbagai sumber dari berbagai tetua di sana dari suku Henula’e (Galeri Foto 1) dan diperoleh informasi tentang kisah “Ekspedisi Sangga Ndolu” ke Batavia yang bermula dari terjadinya pembantaian penduduk Kerajaan Ndana oleh salah seorang pemberani/panglima perang/meo, bernama Nale Tande yang berasal dari suku Kona di Nusak Thi’e pada tahun 1729. Beberapa penduduk Ndana yang tersisa rela bergabung dengan Kerajaan Thi’e dan dibawa ke Pulau Rote (Kerajaan Thi’e/Daehenda). Dari merekalah kemudian diperoleh informasi oleh Foeh Mbura bahwa di Pulau Ndana terdapat sebuah gua rahasia yang didalam tersimpan harta karun berupa emas, muti dan barang berharga lainnya. Namun untuk membuka gua tersebut harus melalui upacara ritual tertentu dimana harus pula dikorbankan salah satu kuping dari seorang pria perjaka. Dari kepercayaan mereka (masyarakat Ndana), gua tersebut bisa terbuka mana kala kuping tersebut setelah dipotong dan diletakkan di depan gua dengan menyanyikan syair-syair (helo) oleh penyair-penyair yang mengetahui cara menuturkannya.
Kemudian atas kesepakatan bersama, ke-empat raja lalu mengunjungi Pulau Ndana dengan menyiapkan kurban berupa sepotong telinga dari pada pengawal Raja Ndi’i Hu’a (nama pengawal ini tidak disebutkan dalam tuturan). Setelah mereka tiba di Ndana, upacara pun dilakukan di depan gua, ditengah berlangsungnya upacara ritual itu, pengawal Ndi’i Hu’a ketakutan lalu melarikan diri. Kemudian muncullah asap yang menyelimuti mereka dan ketika asap itu berlalu mereka membuka mata dan mereka terkejut, karena mereka telah tersesat dan berada dibibir pantai Pulau Ndana. Lalu mereka semua pun ketakutan mati mendadak, karena Pulau Ndana telah lama dikenal sebagai tempat paling keramat. Sekembali dari Pulau Ndana, terdengar kabar oleh mereka bahwa di Tanah Jawa (Olanda Matabi/Batavia), terdapat sebuah kepercayaan yang bisa menyelamatkan mereka dari kematian mendadak, sehingga mereka berkeinginan memperoleh kepercayaan itu dengan mengunjungi daerah tersebut. Namun untuk sampai ke sana harus melalui pelayaran laut, maka mereka pun bersepakat membuat sebuah perahu yang terbuat dari kayu kula’a/fula’a, karena mereka meyakini jenis kayu ini tergolong kuat untuk membuat perahu sehingga mereka pun membagi tugas bersama untuk mendapatkan jenis kayu ini. Khusus Raja Ba’a, diwajibkan mengumpulkan kayu kula’a untuk pembuatan gading perahu. Tempat pengumpulan gading perahu ini hingga sekarang diberi nama, Peda Nggadi di Desa Nauhadeon, Kecamatan Lobalain.
Penulis pertama pun berupaya menanyakan kekuatan kayu kula’a pada seorang pembuat perahu di Danoheo dalam perjalanannya menuju Gereja Fiulain pada tanggal 3 Juli 2015. Pembuat perahu itu bernama Fa’u Pah di Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamantan Rote Barat Daya.
Setelah semua material terkumpul, lalu dibuatlah sebuah perahu. Namun atas kemauan Raja Foeh Mbura bahwa perahu ini harus diberi nama, maka dibuatlah sayembara bagi siapa yang memenangkan sayembara ini akan diikutkan dalam rombongan ke Batavia. Dalam sayembara ternyata tidak seorang pun yang dapat menamai nama perahu ini. Tetapi ketika seseorang yang hendak pulang dari tempat sayembara, bertemulah dia dengan seorang anak kecil yang sedang menggembala kambing bernama “Rondo Soru” dari suku Bibimane, dan si anak bertanya kepadanya sedang dari mana. Lalu orang itu bercerita kalau dia baru pulang dari tempat sayembara penamaan nama perahu dan menurutnya tidak seorangpun yang bisa menamainya. Lalu anak kecil berkata jika dia diundang raja untuk menamai nama perahu itu, maka ia akan menamainya: “Sangga Ndolu”. Kemudian orang itu menanyakan lagi artinya, si anak kecil menjawab “Sangga Ndolu”, artinya “Sangga Ndolu Sio ma Tungga Lela Falu” yang bermakna: “sangga susuek ma lalaik”, artinya “mencari kasih dan keselamatan dari atas”.