Mohon tunggu...
Yusuf L. Henuk
Yusuf L. Henuk Mohon Tunggu... Ilmuwan - GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 - Sumatera Utara, INDONESIA

GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 -- Sumatera Utara, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Rote: Otak Rote, Konsep Berpikir Tehu & Suanggi

6 Mei 2015   07:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20 8729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ULASAN sebagian isi dalam tulisan ini ditulis pertama kali oleh Yoseph Yapi Taum untuk tulisannya berjudul: “Kearifan Lokal Orang Rote” dan telah diterbitkan. Judul ini dimuat ulang di Harian Victory News pada Minggu, 1 Februari 2015 dan 2 April 2015. Kini tulisan diedit ulang dengan versi terbaru untuk memperkaya isi tulisan ini tanpa mengubah intisaritulisan asli untuk dimuat di buku ini guna "mencerdaskan masyarakat" Rote Ndao yang serba sulit dalam mengakses internet dengan tentu semua sumber kutipan dalam tulisan  ini disajikan dalam kolom "Daftar Pustaka" dari buku: "Rote Mengajar Punya Cerita" (Henuk, 2015).

PULAU Rote terletak di lepas pantai ujung barat daya Pulau Timor di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagaimana kondisi alam NTT pada umumnya, Rote adalah sebuah pulau yang gersang, tandus, dan miskin sumber daya alamnya dengan musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang.Mata pencaharian penduduknya cukup beragam, mulai dari berkebun, beternak, dan nelayan lepas pantai. Akan tetapi perekonomian masyarakatnya lebih berpusat pada pohon lontar dan pembuatan gula nira, yang mampu memberikan keuntungan ekonomis lebih besar daripada apa yang diperoleh suku-suku lain di sekitarnya yang pertaniannya sudah mencapai titik jenuh.

Menurut cerita rakyat setempat, leluhur orang Rote bersama leluhur orang Belu berasal dari Sera Sue do Dai Laka atau Seram di Maluku. Mereka datang berkelompok, sebagiannya melalui Flores dan yang lainnya melalui Timor.Pola perkampungan (nusak) dibentuk berdasarkan kelompok kekerabatan (klen) yang mereka sebut Leo dengan pemimpin (Manek) yang disebut Manelo. Leo-leo ini tinggal di dalam komunitas-komunitas wilayah terotorial genealogis yang disebut nusak. Masing-masing nusak mengembangkan suatu budaya yang khas, termasuk di dalamnya bahasa. Bahasa-bahasa itu kadang-kadang sulit dipahami oleh warga dari nusak lain.

Orang Rote Bangga pada Identitasnya

Orang-orang Rote adalah orang yang bangga akan diri mereka sendiri, tegas, dan bersemangat. Mereka tidak meniru-niru dan tidak berasimilasi dengan kelompok-kelompok lain di NTT melainkan dengan kelompok yang mereka anggap lebih tinggi kebudayaannya. Pakaian adat sebagai tanda pembeda identitas orang Roti sangat khas dan menunjukkan pengaruh Portugis abad ke-17 dan Gujarat abad ke-18. Jika pakaian adat kaum pria suku-suku di Indonesia Timur mengenakan ikat kepala, orang Roti memakai topi daun lontar lebar (Ti'i Langga') seperti Sombrero yang mereka tiru dari topi orang Portugis abad ke-17. Sombrero kini menjadi topi kebanggaan orang Meksiko.

Motif kain celup ikat tradisional mereka merupakan gabungan motif-motif asli dengan disain patola yang diambil dari kain Gujarat yang merupakan barang dagangan impor kaum elit VOC pada abad ke-18. Orang Rote juga memiliki instrumen musik tradisional yang sangat khas yang disebut Sasando. Alat musik yang juga dikenal di Pulau Rote  ini dibuat dari daun lontar.Alat ini biasa dimainkan dalam berbagai kegiatan sosial yang penting seperti pernikahan, kematian, kelahiran, dan ulang tahun. Bahasa Melayu sudah dikenal oleh sebagian besar orang Rote sejak sekitar tahun 1660, di mana penguasa-penguasa Rote memulai surat-menyurat tahunan dengan gubernur jenderal VOC di Batavia.

14309474361954209973
14309474361954209973

Sejak semula, Bahasa Melayu diterima sebagai bahasa sastra yang dikaitkan dengan agama Kristen dan berkembang varian bahasa Melayu Alkitab. Bahkan bahasa Melayu Kupang memperlihatkan pengaruh bahasa Rote yang sangat besar. Situasi Pulau dan budaya Rote berbeda dengan tetangganya Pulau Sabu yang homogen. Masyarakat Rote telah berabad-abad terbiasa untuk menerima perbedaan. Hidup dalam suasana heterogenitas atau keberagaman diterima sebagai sesuatu yang baik.Dalam sejarah pemukiman mereka, para pendatang baru yang hendak bermukim di wilayahnya diterima dengan upacara penyambutan yang luar biasa. Kalaupun para pendatang baru itu menunjukkan perbedaan identitas dan pandangan hidup, mereka menganggapnya sebagai sebuah kekayaan.

Orang Rote bahkan tak bosan-bosannya membicarakan perbedaan-perbedaan di antara nusak-nusak (wilayah kekuasaan) dan dialek-dialek yang ada. Di Rote terdapat 19 nusak yang diperintah oleh seorang manek (raja kecil) yang mengetuai sidang pengadilan dan membuat keputusan-keputusan berdasarkan hukum adat nusak masing-masing.Di antara mereka sendiri orang Rote menekankan perbedaan-perbedaan sosial yang kecil daripada menekankan kesamaan-kesamaan yang menyeluruh. Perbedaan-perbedaan kecil cenderung diangkat untuk menunjukkan keterpisahan di antara mereka.

Bukankah cara ini mudah menyulut api konflik dan pertikaian? Bagi masyarakat Rote, perbedaan di antara mereka justru menunjukkan identitas dan kebanggaan akan harga diri yang tidak perlu mendatangkan pertentangan. Masyarakat Rote memiliki basis sosial yang kuat dalam berdemorasi. Hal ini menguntungan bagi proses konsolidasi sistem politik dalam konteks Indonesia yang menghargai kemajemukan.

Otak Rote“Made in Yahudi”

Secara prinsip, pertikaian fisik merupakan suatu hal yang dipandang rendah oleh orang Rote. Salah satu tema pengikat penting dalam hampir semua kisah pembentukan nusak, penaklukkan wilayah, penyatuan klen-klen dalam sistem pemerintahan, kejayaan serta kegagalan para pemimpin Rote adalah: kecerdasan akal atau telah lama dikenal dengan istilah “Otak Rote”, secara umum dapat diartikan sebagai akal atau ide orang Rote. Kata akal sering digunakan bergantian dengan kata ‘tipu yang berarti menjalankan sebuah siasaat atau strategi untuk menjebak lawan. Misalnya, dalam permainan sepak bola, ketika seseorang mengiring bola dan membuat gerakan untuk mengelabui lawan, orang Rote sering mengatakan: “Akal dia dulu!” atau “Tipu dia dulu!”. Namun banyak orang cenderung menganggap otak Rote selalu berkonotasi negatif.

Akibatnya, ketika orang Rote memecahkan rekor MURI pemakai Ti’i Langga terbanyak di Indonesia/dunia di GOR FLOBAMORA Oepoi Kupang, pada tanggal 31 Maret 2012, sebagai penerima sertifikat motivator kepada Prof. Yusuf L. Henuk, selaku ketua panitia deklarasi PORDA, penulis/editor dalam sambutannya menyatakan bahwa: “ejekan umum untuk semua orang Rote Ndao adalah jika ketemu ular dan orang Rote, maka matikan terlebih dahulu orang Rote daripada ular, karena orang Rote memiliki otak Rote, sehingga mereka lebih berbahaya dari ular”. Bahkan ada ejekan bernuasa keagamaan bahwa “jika orang Rote yang mula-mula mendiami Taman Eden, maka manusia tidak akan jatuh dalam dosa, karena ular tidak dapat menipu orang Rote”. Menurut sejarahnya, “Otak Rote” yang dimiliki orang Rote kemungkinan berkaitan erat dengan asal usul “Nenek Moyang Orang Rote Berasaldari Bangsa Yahudi”/

14309406771726387150
14309406771726387150


Dapat disebutkan bahwa keterampilan dan kecerdasan mengolah akal budi dan menyusun berbagai strategi dan siasat merupakan salah satu keutamaan terpenting masyarakat Rote. Kecerdasan akal dimaksud di sini adalah semacam kecerdikan yang mengandung jebakan yang sejajar dengan pengertian Melayu tentang akal seperti yang telah dicontohkan dalam permainan sepak bola tersebut di atas.Penaklukkan, kekuasaan, dan keperkasaan tidak didasarkan pada kekuatan (power) melainkan dengan cara jebakan, tipu daya pikiran adalah sifat yang dikagumi orang Rote. Pahlawan sebagai orang yang banyak akalnya merupakan tema yang pervasif dalam cerita rakyat Rote dan mencerminkan suatu citra positif yang dimiliki orang Rote tentang diri mereka sendiri.

Ketika cerita yang relatif baru tentang Abu Nawas menyebar sampai ke Rote, sebutan Aba Nabas bagi seorang Rote akan diterima sebagai suatu pujian. Tokoh Aba Nabas dikagumi sebagai orang yang banyak akalnya, melewati berbagai tantangan dengan sukses karena kecerdasan akalnya. Dalam masyaraat Rote, cerita-cerita Aba Nabas sangat populer, sangat dihargai dan selalu dipandang sebagai salah satu cultural hero yang merefleksikan keutamaan hidup orang Rote sendiri.

Konsep Berpikir Tehu Orang Rote

Sebagai orang yang mengutamakan olah akal budi, penyusunan strategi serta siasat, manusia Rote dikenal sebagai masyarakat yang tidak mengenal konsep kata ‘Ya!’ Mereka bukanlah orang yang mudah menyetujui sesuatu hal tanpa didahului dengan penalaran (reasoning) bahkan perdebatan.Masyarakat Rote mengenal dan memiliki konsep kata Tetapi (Tehu"). Hal ini sangat berpengaruh dalam norma-norma kehidupan mereka. Dalam kesehariannya, orang Rote selalu mempertanyakan kegunaan maksimal dari hal-hal yang diperintahkan kepada mereka.Konsep ini dapat pula menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri mereka dari unsur-unsur yang datang dari luar, bukan untuk ditolak mentah-mentah melainkan untuk dipertanyakan kegunaan maksimalnya. Masyarakat Rote terkenal sebagai orang-orang yang sangat kritis karena kecerdasan akal merupakan salah satu keutamaan yang dianggap penting oleh komunitas etnis ini.

SuksesiRegenerasiWajar Bagi Orang Rote

Orang Rote memiliki pandangan yang khas mengenai pergantian kepemimpinan. Dalam banyak komunitas lain, suksesi seringkali ditandai dengan intrik-intrik politik, persekongkolan, bahkan tidak jarang terjadi kudeta berdarah.Pandangan orang Rote mengenai pergantian kepemimpinan dapat kita amati dari puisi lisan mereka yang disebut Bini. Seluruh komunitas Rote mengenal nyanyian dengan bahasa ritual formal yang disebut Bini. Khazanah Bini seringkali mengungkap dasar-dasar kebudayaan Rote. Bini berikut ini mengungkapkan sebuah filosofi penting orang Rote dalam interaksi sosial yang formal, khususnya pandangan mereka tentang suksesi kepemimpinan.

Lole faik ia dalen
Ma lada ledok ia tein na
Lae: tefu ma-nggona lilok
Ma huni ma-lapa losik.
Tefu olu heni nggonan
Ma huni kono heni lapan,
Te hu bei ela tefu okan
Ma huni hun bai
De dei tefu na nggona seluk
Fo na nggona lilo seluk
Ma dei huni na lapa seluk
Fo na lapa losi seluk.

Pada hari yang baik ini

Dan pada saat yang baik ini (mataharinya)

Mereka berkata: Tebu itu memiliki pelepah emas

Dan pisang memiliki bunga tembaga.

Pelepah tebu itu jatuh

Dan bunga pisang rontok,

Yang masih tinggal hanya akar tebu

Dan juga batang pisang.

Tetapi tebu itu berpelepah kembali

Pelepahnya emas lagi

Dan pisang itu berbunga lagi

Bunganya tembaga lagi.

Bagi orang Rote, pergantian pemimpin merupakan sebuah hal yang wajar dan alamiah. Regenerasi itu akan berlangsung dengan damai bila memenuhi dua kondisi: (a) generasi muda mengakui jasa pendahulunya (Tebu itu memiliki pelepah emas//Dan pisang memiliki bunga tembaga), tetapi sebaliknya (b) generasi yang lebih tua pun dituntut untuk percaya pada kemampuan generasi penggantinya (yang pelepahnya emas lagi//bunganya tembaga lagi).

Perhatikan konsep “tetapi” dalam ungkapan tersebut. Ungkapan ini menunjukkan pentingnya saling memberikan penghormatan, yang muda terhadap yang tua dan yang tua terhadap yang muda. Jadi, tuntutan itu tidak saja diberikan kepada kaum muda untuk menghormati yang lebih tua (seperti dalam masyarakat yang masih berciri feodalistik).

Kesimpulan

Pola berpikir positif orang Rote yang membuat komunitas ini memiliki eksistensi diri adalah: (1) bangga akan identitas diri sendiri sebagai dasar untuk hidup dalam masyarakat majemuk; (2) memenangkan persaingan dengan pikiran/konsep lebih mulia daripada dengan kekuatan (power) yang hanya mendatangkan pertumpahan darah dan air mata; (3) pergantian pemimpin harus diterima sebagai sesuatu yang wajar; (4) para pendatang diterima dengan baik melalui sebuah ritual penyambutan.

1. Oang Rote Gunakan Buntiana Untuk Suanggi



Sihir, tenung, santet atau ilmu hitam sejenisnya memang ada dalam masyarakat Indonesia. Pada masing-masing daerah di Tanah Air, ilmu hitam ini dikenal dengan berbagai nama dan sebutan. Kebanyakan masyarakat di Kepulauan Maluku, Pulau Rote dan sekitarnyatermasuk Maluku, Timor, Alor dan Sabu ilmu hitam ini dikenal dengan nama suanggi: sebuah ”persahabatan” antara manusia dengan buntiana.

Secara umum kata suanggi, selalu dikaitkan dengan setan, hantu=demon, dan jahat, buruk = evil. Yakni, makhluk halus yang mempunyai rupa jelek, yang jauh berbeda dengan rupa seorang manusia biasa. Sedangkan perbuatannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang jahat, garang dan keji (devil). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta, 2006), kata “suanggi” diartikan sebagai hantu yang jahat atau burung-burung hantu, dan juga disebut dukun yang bekerja dengan pertolongan orang halus atau yang disebut dengan mahluk halus.

Suanggi atau santet dan ilmu hitam sejenis lainnya, sesungguhnya sudah lama dikenal hampir di seluruh negeri di Nusantara ini, tak terkecuali di Indonesia Timur, seperti Papua, Kepulauan Maluku, Pulau Timor dan sekitarnya, seperti Pulau Rote, Pulau Sabu dan Pulau Alor. Di daratan Flores dan Sumba mungkin ada juga ilmu hitam sejenis namun penulis tidak mengetahuinya dengan pasti penamaan yang tepat. Bahkan kini ceritera ilmu hitam dari kawasan Indonesia bagian timur telah di angkat ke layar lebar. Film garapan Rumah Produksi Putra Tidore Prodction ini mengusung genre horor action yang diproduseri oleh Ade Muhammad Nur dengan judul sesuai nama yang sebenarnya, yaitu: “SUANGGI”. Berita-berita tentang film ini yang beredar di sosial media terbaca bahwa: “SUANGGI bukan cerita fiktif, tapi nyata. Film ini diangkat ke layar lebar untuk mengenalkna kepada masyarakat bahwa Indonesia bagian Timur, tepatnya di Tidore, Maluku Utara, budaya dan adat istiadat ini masih lestari. “SUANGGI” pada dasarnya bukan saja ilmu hitam atau ilmu hajat, tetapi juga dapat menjadi budaya yang harus dilestarikan.

14308710381554194832
14308710381554194832

Bahkan di Papua sudah terkenal dengan nama “TARIAN SUANGGI”. Masyarakat Papua Barat justrumemiliki Tari Suanggi yang merupakan bentuk ekspresi masyarakat Papua Barat tentang kekentalan nuansa magis di daerah tersebut. Dalam kepercayaan magis masyarakat Papua Barat, Suanggi adalah roh jahat (kapes) karena belum ditebus dan belum mendapat kenyamanan di alam bakanya. Roh-roh ini biasanya merasuk pada tubuh wanita.Properti yang digunakan pada tarian ini hampir sama dengan tarian – tarian lain yang ada di Papua, yang tentunya Papua merupakan kepulauan yang dikenal dengan jenis tari yang banyak menggunakan properti berupa bulu–bulu yang disisipkan untuk menghiasi sekitar kepala. Tarian semacam ini biasanya berawal dari ritual, seperti tari perang, tarian dukun untuk menyembuhkan atau mengusir penyakit. Tarian ini mengisahkan seorang suami ditinggal mati istrinya yang menjadi korban angi-angi (jejadian).

1430870847271501661
1430870847271501661

Suanggi dan Tukang Suanggi memang masih akrab dengan masyarakat di Pulau Rote. Di daerah pedesaan, orang dengan mudah menunjuk siapa yang dicurigai sebagai Tukang Suanggi. Bahkan di Kota Kupang yang masyarakatnya lebih terpelajar bahkan pejabat tinggi pemerintahan sekalipun masih ada yang percaya dan terpengaruh dengan kekuatan Suanggi ini, sehingga di Kota Kupang sekalipun banyak juga orang yang dicurigai sebagai Tukang Suanggi.

Jika hari ini kita bertanya pada sebagian masyarakat di Timor, Alor, Sabu dan Rote tentang suanggi, maka orang akan menjelaskan tentang suatu kemampuan ”menyerang” orang dengan menggunakan ”jasa” buntiana. Secara umum, buntiana yang dipahami masyarakat di sini mirip dengan apa yang disebut ’Kuntilanak’. Sedangkan, ’Tukang Suanggi’adalah orang yang dicurigai memelihara buntiana di rumahnya,” begitu biasanya orang menjawab tentang arti Suanggi. Seperti apa makhluk buntiana itu? Setiap orang akan menggambarkannya dengan versi berbeda. Hanya saja sosok buntiana sini bukan seperti Kuntilanak dalam film atau sinetron, yakni perempuan dengan rambut terurai, bergaun putih dan wajah menyeramkan. Namun ada satu ciri yang disepakati di sini bahwa buntiana itu dikenal dari teriakannya di malam hari yang sering terdengar dari sekitar rumah si Tukang Suanggi. Si Tukang Suanggi juga sering dilihat orang dari kebiasaannya ”memberi makan” buntiana, yang tentu saja lain dari kebiasaan orang beriman dan berilmu.

Orang yang dicurigai sebagai Tukang Suanggi biasanya dikenali dari bola matanya yang memerah, badan dan pakaiannya terlihat kotor karena jarang mandi dan bermuka kusam pekat serta kesehariannya terlihat aneh dalam masyarakat. Dari cerita yang berkembang, sebelum ”memakan” korbannya mereka akan menari-nari tanpa busana di tengah malam saat purnama di depan atau belakang rumah mereka. Bahkan di jalan raya dan tanah lapang. Tak jarang orang kampung memergoki si Tukang Suanggi sedang menari. Namun karena takut, orang akan lari menghindar. Informasi soal Tukang Suanggi yang menari di tengah malam kadang diceritakan sndiri oleh anggota keluarga si Tukang Suanggi itu sendiri. Inilah yang membuat masyarakat makin percaya bahwa Tukang Suanggi itu memang benar-benar ada.

Oleh Tukang Suanggi, buntiana bisa disuruh untuk meyerang korbannya dengan membuatnya sakit. Selain menyuruh buntiana, Tukang Suanggi juga menggunakan benda-benda lain dalam menjalankan prakteknya, seperti tanah kuburan, telur, bonek dari daun lontar, jarum dan sebagainya. Seseorang menderita sakit yang sangat secara tiba-tiba pada bagian perut, dada, punggung atau kepala disertai jeritan, biasanya langsung divonis terkena Suanggi. Orang juga bisa memakai jasa Tukang Suanggi untuk menyerang lawan atau atau orang lain yang tidak disukainnya. Ini fenomena biasa yang terjadi di mana saja.

Dalam buku: “Suanggi”: Pemahaman Masyarakat Bolok Terhadap Suanggi”,ditulis oleh David Samiyono (2010: 1 – 94) dan telah diterbitkan oleh Fakultas Teologi Press – Salatiga, melaporkan bahwa: “Orang Helong sampai saat ini masih percaya kepada dewa-dewa nenek moyang moyang sebagai sumber kehidupan yang baik. Salah satu kepercayaan yang diyakini masyarakat tradisional adalah adanya suanggi. Orang Bolok suku Helong ini meyakini bahwa suanggi dapat memberikan mereka kehidupan yang lebih baik. OrangHelong menganut agama animisme yang disebut dengan suanggi. Ini kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan alam, percaya kepada setan dan percaya kepada mahluk-mahluk halus lainnya. Ilmu suanggi digunakan untuk mencelakai orang lain yang tidak disenanggi dengan mengunakan nisa perantara atau tanpa perantara. Contohnya: melalui makanan, minuman, dan lain sebagainya. Orang Helong sangat menghargai adat dalam kehidupan mereka. Sebab mereka berasumsi bahwa kepercayaan suanggi ini merupakan sebuah warisan dari jaman nenek moyang mereka. Sehingga kepercayaan suanggi ini sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ilmu suanggi sulit sekali dipisahkan dari kehidupan mereka karena ilmu suanggi sudah bertumbuh dan berakar dalam hati mereka. Selama manusia itu masih ada dalam dunia ini selama itu pula ilmu suanggi akan tetap ada. Meskipun agama Kristen telah masuk dan sudah diterima oleh orang helong sebagai agama baru, namun sampai saat ini masih ada yang melakukan atau mempraktekkan ilmu suanggi. Orang helong berasumsi bahwa mereka lebih dahulu mengenal agama suku bila dibandingkan dengan agama Kristen. Sehingga sulit sekali bagi mereka untuk memisahkan diri dari ilmu suanggi”.

1.2. Pengalaman Orang Rote Timur Soal Suanggi

Dalam upaya menguji kebenaran adanya suanggi di Pulau Rote, maka penulis/editor buku ini berhasil mendapatkan penuturan pengalaman dari seorang Orang Rote Timur, bernama Matheos Messakh yang telah menulis pengalamannya soal suanggi di masa kecilnya dan telah dimuat di media online pada tanggal 6 Desember 2014 dengan judul: “Sengketa Air Sawah dan Suanggi”. Penuturannya dimuat lengkap di buku ini mengingat kesulitan dalam mengakses internet bagi kebanyakan orang Rote di Kabupaten Rote Ndao.

ANDA mungkin tak percaya black magic. Saya juga tidak bisa menjelaskan kepada anda bagaimana black magic itu bekerja. Namun saya punya sebuah cerita masa kecil yang membuat saya berpikir akan keberadaan ilmu hitam ini. Sekitar tahun 1979 saya tinggal bersama kakek dan nenek saya di sebuah kampung terpencil di pulau paling selatan Indonesia, Pulau Rote. Sejak berusia enam bulan saya memang dititipkan oleh orang tua saya pada kakek dan nenek dari pihak ibu di kampung ini, sementara orang tua saya bertugas ke Kupang. Saya punya enam orang saudara laki-laki dan tidak mempunyai saudara perempuan. Adik saya yang nomor lima kemudian dititipkan juga pada kakek dan nenek sehingga kami berdua bersama-sama tinggal di Kampung ini, Kampung Oeulu, Desa Mukekuku, Kecamatan Rote Timur.

Saya ingat benar peristiwa ini, karena saya sudah kelas satu SD saat itu. Saya masuk SD berusia enam tahun. Suatu ketika adik saya yang bernama Simon ini sakit keras. Dia menangis tak hentinya sejak malam sampai pagi. Keesokkan harinya ia terus menangis dan maaf ada gelembungan seperti usus yang keluar dari anusnya. Nenek saya hanya bisa menggendongnya dan ia tak berhenti menangis karena kesakitan. Saya ingat kakek saya mencari pertolongan ke sana kemari. Kakek saya seorang pensiunan guru SD dan ia biasa mengobati orang juga, namun kali ini dia kewalahan. Segala macam cara dicoba. Sebagai anak kecil saya cuma mendengar kakek dan nenek bicara dan menyaksikan adik saya menangis. Saya yang masih kecil saat itu sudah bisa merasakan betapa kasihannya adik saya.

Saya ingat beberapa orang pintar atau dukun dipanggil. Di Kampung itu tidak ada perawat. Puskesmas terdekat konon ada di Ibukota Kecamatan di E’ahun beberapa kilometer dari kampung itu. Saya ingat ada orang yang datang memberi pertolongan mengatakan adik saya terkena guguran atap rumah, ada yang bilang terkena roh jahat, ada yang bilang disantet orang. Saya tidak mengerti apa artinya itu semua. Yang saya tahu cuma adik saya tidak bisa tidur atau duduk karena “ususnya” (orang kampung menyebutnya ‘buspirek’) keluar dan ia terus menangis dalam gendongan nenek.

Hingga sore harinya menjelang gelap, kakek saya rupanya telah mengetahui apa penyebab sakit adik saya. Saya ingat dia mengenakan pakaian bepergian dan mengambil tasnya yang terbuat dari pelepah pinang serta memasukan beberapa potong pakaian ke dalam tas situ. Pedangnya yang tak pernah ia gunakan juga sudah disiapkan. Tas dan pedang itu disimpan di lantai tanah, disandarkan pada tiang rumah.

Kebiasaannya kakek sebelum berangkat ke mana-mana ia makan sirih pinang dulu. Mungkin ia memikirkan langkah besar yang akan ia lakukan. Saya sedang bermain-main di tanah waktu itu. Saya ingat kalimat Bahasa Rote dialek Beluba yang ia ucapkan kepada nenek yang masih menggendong adik saya yang masih terus menangis saat itu. Kalau diterjemahkan artinya demikian: “Saya sudah mau berangkat sekarang. Setelah itu saya akan langsung ke E’ahun menyerahkan diri ke polisi.”

Baru saja selesai berkata demikian saya melihat ada orang hendak masuk ke dalam rumah. Rumah kami adalah rumah Rote modifikasi yang pintunya agak rendah sehingga orang yang masuk harus sedikit menunduk. Rupanya kakek saya juga melihat orang ini dan dengan sekejap saya melihat kakek saya berdiri dan menyonsongnya di depan pintu. Tiba-tiba terdengar bunyi keras sekali dan seluruh rumah berdinding papan pohon lontar itu bergetar.

Rupanya kakek saya membenturkan kepala orang itu ke pintu rumah. Saya kaget dan namun terlihat orang itu tidak melawan. Kakek saya juga tidak terus menyakitinya. Orang itu memeluk kakek saya dan meminta maaf. Kakek saya masih sempat menunjukkan kepadanya pedang yang masih tersandar di tiang rumah.

Anehnya seketika itu juga adik saya berhenti menangis. Dia malah minta turun dari gendongan nenek dan bermain di bawah. Dan “usus”nya  tidak nampak di anusnya lagi. Kejadian selanjutnya sudah tidak saya ingat lagi. Kemungkinan kakek dan orang itu duduk makan sirih pinang bersama-sama. Kemudian baru saya dengar cerita nenek bahwa orang itu sebenarnya berniat melakukan ilmu hitam kepada kakek saya namun adik saya yang terkena. Orang itu marah karena kakek saya yang bertugas membagi air untuk pengairan di sawah katanya tidak adil.

Entah bagaimana orang itu bisa tahu kalau kakek saya hendak membunuhnya. Yang jelas dia datang mengakui kesalahannya. Dan adik saya juga sembuh begitu saja saat itu juga. Sampai sekarang adik saya ini sudah berkeluarga dan mempunyai tiga putra dan tak pernah mengalami sakit serupa lagi. Entahlah mungkin semuanya kebetulan belaka. Demikian cerita masa kecil saya. Selebihnya silahkan pembaca memaknai sendiri.

1. 3. Penelitian Ilmiah Dari LeluhurOrang  Rote di Maluku Utara Soal Suanggi

Dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara umumnya, apabila ada anggota keluarga yang sakit, atau meninggal dunia, sering dikaitkan dengan perbuatan gelap (gaib) seseorang. Di Desa Buli, Kecamatan Maba, KabupatenHalmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, misalnya, sakit dan bahkan kematian seseorang selalu dikatakan dengan perbuatan "suanggi". Istilah "suanggi" sendiri dalam konsep kepercayaan lokal setempat adalah bentuk lain dari “santet” yang secara umum dikenal di Indonesia. Namun, “santet” bentuk ini, bukanlah pengiriman sesuatu yang jahat melalui media tertentu terhadap korban atau orang yang disantet, melainkan dilakukan oleh seseorang yang telah dikuasai oleh roh jahat atau “setan”. Suatu perbuatan secara 'gaib' oleh seseorang kepada orang lain dengan perantaraan manusia yang dikenal dengan sebutan “suanggi” atau orang yang “bersuanggi”. Secara umum diyakini bahwa “suanggi” memakan jantung si korban secara gaib. Akibatnya, orang yang telah dimakan “suanggi” akan mengalami sakit dan pada akhirnya dapat meninggal dunia. Karena itu, apabila dalam satu kelurga ada anggota keluarganya sakit selalu dikaitkan bahwa sakit yang diderita oleh anggota keluarga tersebut adalah perbuatan “suanggi”. Dengan demikian, orang yang dikatakan “suanggi” tersebut, selalu menjadi korban penghinaan, kekerasan, penganiayaan, pembakaran rumah dan bahkan pembunuhan. Tindakan demikian, secara umum di Indonesia telah menjadi fenomena biasa yang sering dialami oleh sebagian orang. Namun, dari aspek hukum bukan merupakan fenomen biasa, melainkan telah menjadi masalah hukum yang serius, karena selain telah menganggu keamanan dan ketertiban umum, tetapi juga telahmenimbulkan ketakutan-ketakutan dalam masyarakat, dan pengabaian atas hak-hak seseorang. (Banjo dan Mainassy, 2014: 1 – 2).

Korban suanggi pernah dilaporkan di NTT. Setelah di Rote, Alor, Kota Kupang dan Ende, tuduhan suanggi kembali makan korban. Kali ini terjadi di Adonara, Kabupaten Flores Timur.  Dua rumah hancur dirusak massa. Penghuni yang dituduh suanggi tinggalkan Adonara.Korban tuduhan suanggi adalah Dominggus Libu Kleden (66) dan Kamilus Ketan Lier Kleden, warga RT 6/RW 12, Dusun Watodei, Kecamatan Adonara Barat. Rumah keduanya dirusak massa hingga rata tanah pada Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011).

Pertanyaannya adalah sejauhmanakah “suanggi” dirumuskan dalam konsep hukum pidana baik materiil maupun formiil? Dapatkah orang yang dikatakan “suanggi” dipertanggungjawabkan sebagai pelaku delik? Dan Sejauh manakah rumusan delik santet dalam Rancangan KUHP Baru, dan hubungannya dengan konsep tentang “suanggi”? Karena itu, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui “suanggi” dirumusan dalam konsep hukum pidana baik materiil maupun formil, subyek delik dan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang dikatakan “suanggi”, dan mengetahui rumusan delik santet dalam Rancangan KUHP Baru dan hubungannya dengan “suanggi”.

Elstonsius Banjo danAlfred Mainassy (2014) telah melakukan suatu penelitian tentang “Suanggi” dalam Perspektif Hukum Pidana(Studi Kasus di Desa Buli Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur) dan telah diterbitkan di Jurnal UNIERA,3 (1): 1 – 21 dan menyimpulkan bahwa:

Suanggi adalah setan jadi tidak dapat menjadi subyek dan pelaku delik, sedangkan orang yang “bersuanggi” dapat menjadi pelaku delik dan dapat dipertanggung-jawabkan perbuatannya apabila perbutan tersebut, dapat menjadi fakta hukum menurut sistem Hukum Pidana Materril dan Formiil, yaitu:


Hukum Pidana Formiil, hukum Pembuktian. Harus memenuhi syaratsyarat pembuktian.

Hukum Pidana Materiil: rumusan deliknya harus sesuai atau mencakup konsep tentang “suanggi”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun