Oleh:Yusuf L. Henuk*)
SEBAGAI seorang Relawan Jokowi-JK asal NTT yang telah mengajukan lamaran sebagai “Pembantu Presiden” di bidang Pendidikan (KUALITAS DOKTOR LULUSAN LUAR NEGERI http://ylhnews.com/opini/kualitas-doktor-lulusan-luar-negeri/), sudah sewajarnya penulis menanggapi berita: “Pendidikan Tinggi, Saran Dirjen Dikti untuk Jokowi http://bit.ly/1uf31NX yang didasarkan pada dua topik tulisannya yang terbaca dalam bukunya (ISBN: 978-602-8547-81-9): “I am A Writer and Leader from Undana” (Henuk, 2013).
A. Paradigma Belajar Abad 21
Telah diketahui bersama bahwa pengembangan Kurikulum 2013 merupakan bagian dari pergeseran paradigma belajar abad 21 dalam upaya meningkatkan capaian pendidikan di Indonesia,`selain sejumlah faktor lainnya,diantaranya: (1) lama siswa bersekolah, (2) lama siswa tinggal di sekolah, (3) pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi, (4) buku pegangan, dan (5) peranan guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan.
Pengertian Paradigma
Secara etimologis, paradigma berasal dari kata Latin “paradigma” atau dalam bahasa Yunani: “paradeigma”, artinya: “contoh”. The Concise Oxford Dictionary of Word Origins (1986: 335) mengartikan “paradigm” sebagai “pattern or example”, artinya ‘pola atau contoh’. Sesuai maknanya, maka paradigma memang merupakan semacam model yang dijadikan contoh oleh para ilmuwan dalam melakukan kegiatan keilmuwannya. Dalam kaitan dengan pengembangan Kurikulum 2013, harus diakui dalam perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad 21, kini memang telah terjadi pergeseran paradigma belajar, baik ciri-ciri maupun model pembelajaran (Tabel 1). Inilah yang diantisipasi pada Kurikulum 2013.Untuk mencapai tema itu dibutuhkan proses pembelajaran yang mendukung kreativitas. Oleh karena itu, telah dirumuskan Kurikulum 2013 yang lebih mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Selain itu, dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam jejaring melalui collaborative learning.
Pengertian Kurikulum
Kata “kurikulum” dapat didefinisikan sebagai: “susunan rencana pelajaran” (Poerwadarminta, 1985: 543). Kata ini berasal dari bahasa Latin, “currere”, berarti: “lari dalam suatu lapangan perlombaan”. Lapangan tersebut ada batas start dan batas finish. Dalam lapangan pendidikan pengertian tersebut dijabarkan bahwa bahan belajar sudah ditentukan secara pasti, dari mana mulai diajarkan dan kapan diakhiri, dan bagaimana cara untuk mengusai bahan agar dapat mencapai gelar (Dakir, 2004: 2). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 1, butir 19 juga mendefinisikan “kurikulum” sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.Khusus perguruan tinggi, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 35 ayat 1 – 2 telah mendefenisikan: (1) “kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi”; dan (2) kurikulum pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap perguruan tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi untuk setiap program studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan.
Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Menurut sejarahnya, kurikulum yang telah berlaku di Indonesia diawali dua tahun setelah kemerdekaan, yaitu Kurikulum 1947. Tahun 1964 ada Rencana Pendidikan Sekolah Dasaryang kemudian muncul Kurikulum Sekolah Dasar tahun 1968. Pada tahun 1973 muncul Kurikulum Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) yang kemudian menjadi Kurikulum Sekolah Dasar 1975. Selanjutnya, lahir Kurikulum 1984. Sepuluh tahun kemudian muncullah Kurikulum 1994 dan direvisi menjadi Revisi Kurikulum 1994 pada tahun 1997. Perkembangan terus terjadi sehingga muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 yang selanjutnya menjadi embrio lahirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Telah berulangkali dilakukan perubahan kurikulum pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di Indonesia, antara lain, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994,KBK tahun 2004,KTSP tahun 2006, dan kini Kurikulum 2013 yang merupakan revisi atas KTSP tahun 2006. Akibatnya, Kurikulum 2013 bukan merupakan kurikulum yang baru, karena basisnya tetap kompetensi, sehingga tentu tidak menimbulkan salah tafsir di masyarakat seperti pengintegrasian mata pelajaran dan bukan penghapusan mata pelajaran. Mata pelajaran IPA dan IPS di Sekolah Dasar diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Pengintegrasian ini dilakukan karena penting dan genting serta menyesuaikan zaman yang terus mengalami perkembangan pesat.
Alasan Pengembangan Kurikulum 2013
Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge; Tabel 2 – http://www.kurikulum2013. kemdikbud.go.id).
Orientasi kurikulum baru ini sejalan dengan amanat UU Sisdiknas Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam Penjelasan Pasal 35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.Hal ini sejalan pula dengan pengembangan KBK yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Pada umumnya, terdapatbeberapa faktor yang menjadi alasan pengembangan Kurikulum 2013, diantaranya: (1) tantangan masa depan diantaranya meliputi arus globalisasi, masalah lingkungan, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, dan ekonomi berbasis pengetahuan; (2) kompetensi masa depan yang diantaranya meliputi kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda; (3) fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajaran, narkoba, korupsi, plagiarism, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest); dan (4) persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter. Jelasnya, inti dari pengembangan Kurikulum 2013 adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Titik beratnya, bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelajaran. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan zaman, memasuki masa depan yang lebih baik.
Singkatnya, melalui semua pendekatan dalam Kurikulum 2013 sebagai akibat telah terjadinya pergeseran paradigma belajar abad 21 diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan zaman dalam memasuki masa depan yang lebih baik***
B. Pendidikan Tinggi di Indonesia Dalam Era Globalisasi
Ulasan panjang sub-pokok bahasan ini diawali dengan penulis mengangkat tiga poin penting yang berkaitan dengan UU Perguruan Tinggi Pasal 50 ayat (1-3) yang berkaitan dengan jalinan kerja sama : (1) “If you can not network, you can not work” (‘jika Anda tidak menjalin network, Anda tidak dapat bekerja’), (2) sekarang sudah bukan “university”, tetapi “multiversity”, dan (3) awal “Potensi Academic Networking” dimulai dari orang per orang dan bukan institusi (Henuk, 2013: 357 – 359):
DALAM menyongsong masa depan pada umumnya orang sependapat bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Para ahli dapat saja membuat berbagai ramalan atau prediksi namun akurasi dari ramalan atau prediksi tersebut tidak dijamin. Dalam keadaan yang sedemikian, sesuatu yang pasti adalah perubahan atau change itu sendiri. Perubahan terjadi secara terus-menerus dalam skala dan intensitas yang semakin meningkat. Khususnya dalam dua tiga dekade terakhir ini, perubahan tersebut telah terjadi dalam skala dan intensitas yang sangat tinggi. Pendorong utama dari perubahan ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan yang sangat pesat dalam pemahaman kita tentang dunia diterapkan dan dikembangkan secara cepat dan meluas dalam berbagai bidang seperti industri, pertanian, kedokteran dan jasa. Berbeda dengan masa sebelumnya, tingkat kecepatan yang membawa perubahan ini, menembus batas-batas nasional (footloose). Dengan demikian, ilmu pengetahuan, teknologi dan pengetahuan manajerial cepat menyebar sehingga menambah jumlah bangsa yang memiliki kemampuan teknis untuk produksi dan rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh kemampuan teknis untuk produksi dan rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh kemampuan dan kecepatan komunikasi misalnya dalam bidang transportasi, satelit dan jaringan komputer.
Oleh karena itu, cakupan dari berbagai kegiatan produksi termasuk penelitian, rekayasa, produksi dan pemasaran dalam banyak sektor industri telah berkembang menjadi global. Dengan demikian, kemampuan teknologi jauh lebih menyebar di kalangan negara-negara industri maupun di negara-negara yang sedang mengalami proses industrialisasi. Hal ini sekaligus mengakhiri peranan tunggal Amerika Serikat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keunggulan teknologi dan industri Amerika Serikat sampai dengan permulaan dekade 1970-an menyebabkan arus teknologi berlangsung satu arah yakni dari Amerika Serikat ke negara lain di dunia. Akan tetapi sejak pertengahan dekade 1970-an pola tersebut telah berubah menjadi pola multi arah.
Sejalan dengan hal tersebut, telah terjadi pula perubahan pesat di bidang sosial budaya masyarakat. Kriteria mengenai pembangunan sosial yang sebelumnya bersifat lokal berkembang menjadi kriteria yang bersifat global. Pendidikan merupakan faktor utama yang menggerakkan perubahan yang terjadi tersebut. Dan dalam bidang pendidikan ukuran mengenai perkembangannya mengikuti standar internasional. Kecenderungan yang serupa terjadi pada bidang apresiasi budaya di mana terlihat kebangkitan kembali kesadaran akan seni dari berbagai anggota masyarakat di dunia (the art boom). Telah merupakan pembicaraan umum bahwa apa yang diuraikan di atas merupakan sebagian dari karakteristik era yang akan dihadapi di dalam abad mendatang yaitu era globalisasi. Dalam makalah ini, akan ditelaah mengenai kompleksitas era globalisasi ini dan peranan pendidikan didalamnya.
Globalisasi
Perubahan yang terjadi dan melanda dunia setelah masa pencerahan (Aufklarung) lazim disebut modernisasi. Banyak definisi diberikan mengenai modernisasi ini. Sejak pertengahan abad ini, berbagai ahli telah mengartikan modernisasi sebagaimana terlihat dalam definisi berikut:
Modernization is a type of social change directed by a rational belief whereby new social roles and new inter relationship among roles emerge. Modernization refers to those social changes that generate institutions and organizations like those found in advanced industrial societies. The term “modern” has many denotations and carries a heavy weight of connotations. It is applied not only to men, but to nations, to political systems, to economies, to cities, to institutions such as schools and hospitals, to housings, to clothes, and to manners. (Inkeles and Smith, 1974: 15) Sedangkan Anthony Giddens (1990), seorang pakar sosiologi modern, menyatakan bahwa: Modernity refers to modes of social life or organizations which emerged in Europe from about the twentirth century onwards and which subsequently became more or less worldwide in their influence.
Pada dasarnya definisi tersebut di atas menghubungkan modernisasi dengan suatu periode waktu dan dengan suatu lokasi geografis, dimana karakteristik utama dari proses ini tidak terungkap. Pada mulanya, terminologi ini muncul sebagai akibat upaya sekelompok ahli pembangunan di Amerika Serikat untuk mengembangkan suatu alternatif terhadap pendekatan Marxis mengenai pembangunan sosial. Dari sudut pandang sosiologi, teori modernisasi menjelaskan modernisasi dengan merujuk pada awal mula dari proses yang disebutkan Talcott Parsons sebagai diferensiasi struktural. Ini adalah proses yang dapat didorong oleh berbagai cara, namun yang sangat mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi atau nilai-nilai. Sebagai akibat dari proses ini, lembaga/institusi berlipat ganda, struktur yang sederhana dari masyarakat tradisional ditransformasikan ke dalam struktur yang kompleks dari masyarakat modern, dan nilai-nilai berkembang menyerupai apa yang terdapat di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dalam alur berpikir ini, maka modernisasi dapat dilihat baik sebagai proses maupun suatu keadaan. Dan lazimnya keadaan modern dilihat sebagai lawan dari keadaan tradisional. Pendekatan ini banyak mempengaruhi pendekatan pembangunan yang diterapkan oleh banyak negara, khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan pendekatan tinggal landasnya.Kalau kita mencermati karakteristik masyarakat modern, maka nyatalah bahwa terdapat pula karakteristik tradisional di dalamnya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian referensi waktu dan tempat tidaklah tepat untuk membedakan tradisional dan modern; yang sesuai ialah pemahaman secara kontekstual. Seperti disebutkan oleh Giddens (1996) bahwa setiap phase perubahan itu mempunyai hakikat yang khusus (intrinsic nature). Selanjutnya, Giddens mengatakan: “Obviously there are continuities between the traditional and the modern, and neither is cut of whole cloth; it is well known how misleading it can be to contrast these two in too gross a fashion”. (1965, p.4).
Dalam alur pikir ini pulalah sehingga dalam perkembangan selanjutnya, khususnya menjelang akhir abad ke-20, muncul pendapat dari sekelompok ahli yang berbicara mengenai era pasca modernisasi atau Post-modernity (Jean-Francois Lyotard, 1985). Nampaknya, masalah utama yang menyebabkan berbagai perbedaan pendapat tentang perubahan sosial yang terjadi ini ialah karena peristiwa-peristiwa yang kita sendiri tidak sepenuhnya memahaminya. Dengan demikian, untuk memahami hal-hal ini tidak cukup dengan sekedar menciptakan terminologi baru seperti pasca modernisasi dan sebagainya, akan tetapi lebih tepat kalau kita menelaah kembali hakikat dari modernisasi itu sendiri.
Demikianlah dengan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat pesat, maka muncullah pendapat bahwa era yang akan kita hadapi dalam abad mendatang adalah era globalisasi. Intinya adalah bahwa segala kegiatan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat berlangsung secara global. Dalam hubungan ini telah dirumuskan globalization sebagai “… the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole”. (Robertson, 1992: 8). Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa globalisasi menyangkut munculnya sistem budaya global. Budaya global ini dibawa oleh berbagai perkembangan sosial, budaya dan teknologi (misalnya kehadiran sistem informasi melalui satelit dunia), kehadiran pola global mengenai konsumsi dan konsumerisme, pengembangan gaya hidup kosmopolitan, munculnya olahraga global (seperti olimpiade, kompetisi sepakbola dunia dan lain-lain), penyebaran wisata dunia, menurunnya kedaulatan negara bangsa (nation state), perkembangan sistem militer global, pengenalan tentang krisis ekologi berskala dunia, perkembangan masalah gangguan kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), berperannya sistem politik dunia seperti PBB, gerakan politik dunia seperti Marxisme dan Kapitalisme, peningkatan kesadaran akan HAM, serta semakin intensifnya antar agama dunia. Intinya, globalisasi menyangkut kesadaran baru bahwa dunia adalah satu tempat tinggal. Globalisasi disebutkan pula sebagai “the concrete structuration of the world as a whole”, yakni kesadaran yang berkembang pada tingkat global bahwa dunia adalah sebuah lingkungan yang dibangun secara berkelanjutan. Dengan demikian, globalisasi lebih dari sekedar sosiologi hubungan international. Juga berbeda dari teori sistem dunia (world system theory) yang menganalisis perkembangan dari kesalingtergantungan ekonomi global dan yang mengklaim bahwa budaya globalisme adalah sekedar konsekuensi dari globalisasi ekonomi. Juga perlu dihindari pemahaman globalisasi dari thesis awalnya yang mengatakan bahwa globalisasi adalah “convergence of nation states towards a unified and coherent form of industrial society”. Teori yang mutakhir mengatakan globalisasi terdiri dari dua proses yang bertentangan yakni homogenisasi dan diferensiasi dan bahwa terdapat interaksi yang kompleks diantara lokalisme dan globalisme, dan bahwa terdapat gerakan yang kuat melawan proses globalisme. Argumentasi tersebut di atas penting untuk sosiologi tradisional yang terus memfokuskan diri pada nation state dibandingkan dengan fokus terhadap dunia sebagai suatu sistem masyarakat.
Dalam ungkapan yang lain Kotter (1995) mengatakan: Globalization is the product of many forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are technological (faster and cheaper transportation and communication), and some of which are economic (mature for seeking growth outside their national boundaries) (p. 42). Lebih jauh lagi, Robertson yang mengkonsepsikan phase sejarah ke dalam beberapa phase, menempatkan tingkat kepadatan dan kompleksitas global dalam tingkatan yang tinggi. Phase-phase sejarah Robertson adalah sebagai berikut:
Phase I: Phase awal (The Germinal Phase).
Phase ini berlangsung di Eropa dari permulaan abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-18. Pada phase ini terjadi pertumbuhan awal komunitas nasional dan pemekaran sistem transnasional abad pertengahan; pengembangan wawasan Gereja Katholik, penekanan konsep individu dan ide tentang kemanusiaan; munculnya teori Heliosentrik tentang dunia dan permulaan dari geografi modern; serta penyebaran kalender Gregory.
Phase II: The Incipient Phase.
Phase ini berlangsung pada dasarnya di Eropa dari pertengahan abad 18 sampai dengan tahun 1870-an. Pada phase ini terjadi peralihan yang tajam ke arah ide homogenitas, dan negara kesatuan; kristalisasi konsep-konsep hubungan internasional yang formal, kewarganegaraan individu yang baku, dan konsepsi kemanusiaan yang lebih konkrit; peningkatan yang tajam dalam konvensi-konvensi yang legal dan agen-agen yang menyangkut aturan-aturan komunikasi internasional dan transnasional; serta terjadinya ekshibisi internasional. Pada phase ini pula mulai timbul masalah mengenai ijin masuk masyarakat bukan Eropa ke dalam masyarakat internasional, serta masalah nasionalisme dan internasionalisme.
Phase III: Phase Tinggal Landas (The Take-Off Phase).
Terjadi diantara tahun 1870-an sampai dengan pertengahan tahun 1920-an. Tinggal landas di sini merujuk pada satu periode dimana terjadi kecenderungan globalisasi daripada periode sebelumnya ke arah satu bentuk tunggal yang berpusat pada 4 butir rujukan, yakni: masyarakat nasional, generik individuals (dengan bias pria), masyarakat international yang tunggal, serta konsepsi kemanusiaan yang semakin cenderung tunggal tetapi tidak bersatu. Phase ini merupakan awal mula munculnya masalah modernisasi konsepsi global yang semakin berkembang tentang kerangka yang benar mengenai masyarakat nasional; munculnya ide tentang identitas nasional dan pribadi; pengikutsertaan sejumlah masyarakat bukan Eropa ke dalam masyarakat internasional; serta formalisasi internasional dan upaya implementasi ide tentang kemanusiaan. Pada phase ini juga terjadi globalisasi batasan-batasan imigrasi, peningkatan yang sangat tajam dalam jumlah dan laju bentuk global komunikasi, munculnya novel-novel internasional yang pertama, bangkitnya gerakan oikumene, serta pengembangan kompetisi-kompetisi global seperti olimpiade dan hadiah Nobel. Penerapan waktu dunia dan kalender Gregory, serta Perang Dunia I juga terjadi pada fase tinggal landas ini.
Phase IV: The Struggle for Hegemonic Phase.
Phase ini berlangsung pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 1920-an. Pada phase ini timbul perselisihan dan perbedaan pendapat mengenai proses globalisasi yang terbentuk pada akhir periode tinggal landas. Pada phase ini juga terjadi pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) penetapan prinsip kedaulatan Nasional, perbedaan konsepsi tentang modernitas yang diikuti oleh puncak perang dingin (perselisihan di dalam proyek modern) serta kristalisasi dunia ke-3.
Phase V: The Uncertainty Phase.
Di mulai sejak akhir tahun 1960-an dan menunjukkan kecenderungan-kecenderungan krisis pada akhir tahun 1990-an. Pada tahun 1960-an ini terjadi peningkatan kesadaran global, pendaratan di bulan, penekanan terhadap nilai-nilai pasca materialisme, berakhirnya perang dingin, dan penampakan masalah hak-hak asasi serta akses yang meluas terhadap senjata nuklir.
Tren Perkembangan Pendidikan di Dunia
Pembaharuan dalam bidang pendidikan merupakan suatu karakter dunia modern. Hal tersebut pada dasarnya berkisar pada persepsi bahwa pendidikan merupakan menara gading dan bahkan pelopor pembaharuan. Segi kognitif pendidikan tetap mendapatkan prioritas yang tinggi dalam proses pendidikan, namun masalah integrasi proses dan hasil belajar dengan kehidupan yang nyata dan dengan masa depan semakin meminta penekanan-penekanan baru. Khususnya kurikulum pendidikan, seyogyanya dirancang untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang merangsang peningkatan kreativitas, intelektualitas, dan daya analisis. Kurikulum harus menyajikan hal-hal yang praktis dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan yang bervariasi, tujuan hidup yang berbeda, serta daya pemahaman terhadap persoalan yang berbeda pula. Pendidikan harus dapat menyajikan kesempatan-kesempatan untuk berbuat dan bertindak berdasarkan apa yang dipahami seseorang maupun kesempatan untuk berteori tentang solusi yang ideal dari berbagai masalah. Dengan singkat, kurikulum harus dapat diperkenalkan kepada anak didik dengan berbagai cara belajar maupun berbagai jenis pengetahuan. Pada gilirannya hal-hal ini mampu mempersiapkan anak didik untuk merencanakan masa depannya dan masyarakatnya, serta berperan aktif dalam merealisasikannya. Revolusi dalam bidang pendidikan mencakup segi kuantitas dan kualitas. Sejalan dengan pertumbuhan dalam bidang ekonomi yang berubah secara pesat, revolusi pendidikan pada akhirnya diarahkan untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian, maka segi pemerataan dalam bidang pendidikan memegang kunci yang penting.
Dari segi kuantitas, pemerataan pendidikan ini telah berlangsung secara mengesankan di dalam dua dekade terakhir ini. Di banyak negara, dari segi ratio pendidikan untuk anak didik pada tingkat pertama, terlihat bahwa pada periode tersebut ratio tadi telah mencapai sekitar 100%. Khususnya untuk sebagian besar negara-negara Pasifik, sejak tahun 1984 laju pendaftaran pada tingkat pertama pendidikan telah melebihi 90%. Bagi Indonesia, Nicaragua, Thailand dan Honduras, laju tersebut telah meningkat dari 80% menjadi 100% antara tahun 1975 dan tahun 1984. Untuk jenjang kedua pendidikan, kecenderungan peningkatan terjadi pula di negara-negara Pasifik. Peningkatan yang menonjol adalah peningkatan yang terjadi di Korea, Hongkong dan Meksiko. Sedangkan, di negara-negara industri maju, laju pendaftaran pada tahun 1984 telah melebihi 80%, kecuali di Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Korea yang telah melebihi 90%. Pada tingkat pendidikan tinggi kecenderungan yang sama terjadi di banyak negara-negara Pasifik, di Thailand, Korea, dan Philipina. Di negara-negara industri maju, laju pendaftaran mahasiswa untuk pendidikan tinggi berkisar pada satu dari dua sampai empat orang. Laju pendaftaran yang tertinggi terjadi di Amerika Serikat dan Kanada dengan ration 1 : 2 diikuti oleh Ekuador dan Philipina dengan perbandingan 1 : 3.
Dari segi kualitas pendidikan, pada dasarnya ditandai dengan meningkatnya pelaksanaan penelitian-penelitian khususnya penelitian dasar (basic research). Hasil penelitian-penelitian tersebut telah terpadu dalam perkembangan teknologi yang merupakan kekuatan pendorong utama dari perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat. Skala dan percepatan perkembangan teknologi ini merupakan kekhususan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Skala perubahannya melampaui batas-batas konvensional, seperti batas nasional negara dan sebagainya, serta percepatannya mengikuti deret ukur. Peningkatan penelitian terlihat dari jumlah dana yang disediakan oleh negara-negara industri maju untuk penelitian. Jerman Barat misalnya, pada tahun 1971 mengalokasikan anggaran penelitian sebesar 2% dari GNP dan pada tahun 1987 meningkat menjadi 3%. Dana penelitian Jepang pada periode yang sama mengalami kenaikan sebanyak 1% pula. Pola yang sama berlaku di dalam peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan. Antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1987, telah terjadi peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan (dilihat dari jumlah total tenaga kerja). Di banyak negara, Jepang misalnya, pada tahun 1965 memiliki 25 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja dan pada tahun 1980 telah meningkat menjadi 70 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja. Perancis, Inggris dan Jerman Barat juga mengalami peningkatan meskipun dalam skala yang lebih kecil. Amerika Serikat secara konsisten pada periode yang sama memiliki 65 – 70 orang peneliti dan ilmuwan per sepuluh ribu tenaga kerja.
Keadaan tersebut di atas telah membawa iklim baru dalam hubungan antara pendidikan dengan perusahaan. Kecenderungan keterlibatan perusahaan dalam proses pendidikan semakin menonjol. Keterlibatan ini tidak terlepas dari ketidaksesuaian yang terjadi diantara dunia pendidikan dan dunia kerja. Apa yang disiapkan oleh pendidikan dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja tidak sepenuhnya sesuai. Begitu besar ketidaksesuaian tersebut sehingga dunia usaha merasa terpaksa harus memasuki arena pendidikan secara besar-besaran. Tamatan perguruan tinggi sekarang yang tidak siap merupakan beban perusahaan di masa yang akan datang. Untuk itu, perusahaan-perusahaan menyelenggarakan pendidikan tambahan sebagai perbaikan terhadap kekurangan tersebut. Disamping itu, pengusaha-pengusaha ikut terlibat sebagai tenaga pengajar di dalam lembaga pendidikan serta memberikan donasi dalam bentuk uang atau peralatan pendidikan.
Lebih daripada itu, perusahaan-perusahaan telah pula mempelopori lembaga pendidikannya sendiri. Tercatat lebih dari 25 perusahaan di Amerika melaksanakan pendidikan yang memberikan gelar. Perusahaan Wang, North trop, Arthur Andersen dan Humana memberikan gelar Master, dan Rand Coorporations memberikan gelar Ph.D., bukan hanya untuk karyawannya tetapi juga untuk umum. Tercatat lebih dari 400 kampus dan banyak gedung yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan seperti Xerox, IBM, Pizer dan Control Data. IBM, sebuah raksasa pendidikan, menghabiskan sekitar US $700.000.000 setahun untuk pendidikan karyawannya. Meskipun nampaknya perusahaan-perusahaan cenderung untuk bertindak sebagai saingan di bidang pendidikan, namun hubungan diantara perguruan tinggi dengan perusahaan menjadi semakin kuat.
Perguruan tinggi, pada pihak yang lain, cenderung untuk beroperasi sebagai perusahaan. Beberapa faktor dalam pengelolaan perguruan tinggi telah mendorong hal ini. Misalnya, biaya pengelolaan perguruan tinggi yang semakin tinggi, bantuan pemerintah yang semakin mengecil, dan kompetisi memperoleh mahasiswa yang semakin meningkat. Oleh karena itu, para pengelola perguruan tinggi harus berpikir ekonomis dengan meningkatkan spesialisasi, pemasaran, dan perencanaan strategisnya. Dalam rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan memusatkan perhatian pada bidang-bidang ilmu yang mempunyai keuntungan komperatif (comperatif advantage). Hal ini dapat berarti menghilangkan program pendidikan untuk bidang ilmu yang kurang laris. Pertanda yang lain mengenai kecenderungan perguruan tinggi sebagai perusahaan adalah kecenderungan mengambil atau memilih rektor/presiden universitas yang mempunyai latar belakang sebagai usahawan. Trinity University di San Antonio Amerika Serikat (satu universitas yang tidak terkenal sebelumnya) merupakan contoh bagaimana peranan presiden universitas tersebut meningkatkan popularitas universitasnya untuk termasuk 10 besar dalam hal mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi nasional (national merit). Sebagai bekas pengusaha, presiden universitas tersebut menyediakan beasiswa sebesar US $ 5000 setahun bagi mahasiswa berprestasi dan meningkatkan gaji dosennya sekitar 60%.
Kecenderungan lainnya ialah perguruan tinggi telah berupaya pula mengembangkan usaha-usaha yang menghasilkan uang untuk pengelolaan perguruan tinggi tersebut. Usaha-usaha tersebut dapat berupa penyewaan ruangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mengadakan pertemuan, melakukan jasa-jasa lain yang menghasilkan pendapatan, dan sebagainya. Secara singkat, sifat kewiraswastaan semakin berkembang di kalangan pengelola perguruan tinggi.
Kecenderungan Pendidikan Tinggi di Indonesia
Di bandingkan dengan negara tetangganya, pengalaman Indonesia dalam pendidikan tinggi termasuk yang paling singkat. Kedua perguruan tinggi induk di Indonesia yakni Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) baru dibentuk secara resmi pada tahun 1950. Akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat perkembangan pendidikan tinggi dan lingkungannya telah cukup mengesankan.
Dari segi kuantitas, jumlah perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia adalah sebanyak 48 buah dan menampung sekitar 0,5 juta Mahasiswa serta 40.000 tenaga pengajar. Perguruan tinggi swasta lebih banyak lagi jumlahnya dengan kapasitas menampung mahasiswa dan tenaga pengajar yang lebih besar pula. Angka partisipasi perguruan tinggi (persentase jumlah mahasiswa perguruan tinggi terhadap penduduk berumur 19 – 24 tahun) adalah sebanyak 5,3% pada tahun 1983 – 1984, meningkat menjadi 8,5% pada tahun 1988 – 1989, dan mencapai 11% pada tahun 1993 – 1994 (Tilaar, 1994). Dilihat dari ratio pendaftaran mahasiswa untuk tingkat perguruan tinggi telah terjadi peningkatan yang mengesankan dalam dua dekade terakhir ini. Meskipun peningkatan ini mengesankan akan tetapi belum semua lulusan SLTA tertampung di lembaga pendidikan tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 1988 – 1989 tercatat 48% jumlah lulusan SLTA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan di duga jumlah ini akan meningkat menjadi 52% pada akhir REPELITA V.
Dari segi kualitas, upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi terus dilakukan. Terobosan utama sehubungan dengan ini ialah peralihan sistem pendidikan tinggi dari sistem paket (tradisi eropa kontinental) menjadi sistem kredit (tradisi Amerika) yang dimulai sejak permulaan dekade 1980. Efektivitas peralihan sistem ini masih akan terus diuji oleh pengalaman mengingat tradisi pendidikan Indonesia sejak tingkatan sekolah dasar yang berorientasi pada sistem pendidikan Belanda. Namun mengingat pendidikan tinggi di Indonesia yang singkat tersebut, maka harapan untuk keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan selalu ada.
Di tinjau dari latar belakang mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi, kecenderungan pemerataan telah mulai nampak. Pemuda-pemuda dari latar belakang sosial ekonomi rendah dan dari daerah-daerah berhasil memasuki perguruan-perguruan tinggi negeri pembina seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Nusa Cendana (Undana). Perguruan tinggi mulai menampakkan keterbukaan dan lebih mementingkan prestasi. Ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri seperti SIPENMARU dan PMDK yang telah dipraktekan selama beberapa tahun merupakan indikator mengenai hal ini. Di kalangan tenaga pengajar upaya meningkatkan prestasi atau mutu cenderung meningkat. Hal itu terutama disebabkan oleh persaingan menjadi tenaga pengajar mulai ketat. Selain itu, semakin banyaknya dosen muda yang melanjutkan pelajaran mendapatkan S2 dan S3 di dalam negeri maupun luar negeri yang merupakan insentif bagi tenaga dosen senior untuk meningkatkan pengetahuannya dan mutu materi kuliahnya.
Penataan bidang ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi mulai dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bidang ilmu sosial yang paling “laris” dan menampung jumlah mahasiswa yang sangat banyak mulai ditertibkan. Untuk membuka suatu perguruan tinggi yang baru sekarang ini dibutuhkan minimum 2 fakultas dalam bidang ilmu eksakta. Pembukaan politeknik diberikan peluang yang besar.
Dalam pengelolaan perguruan tinggi, kecenderungan untuk semakin meningkatkan usaha wiraswasta semakin menonjol. Hal ini khususnya terlihat pada perguruan tinggi negeri yang selama ini didukung pembiayaannya melalui anggaran pemerintah. Sedikit demi sedikit terlihat pelepasan tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah kepada masing-masing perguruan tinggi. Dalam hubungan itu keterkaitan perguruan tinggi dengan usaha swasta mulai menampakkan dirinya. Kontrak di bidang penelitian dan pendidikan antara usaha swasta dan perguruan tinggi mulai dilaksanakan. Minat para pengusaha pribumi terhadap pendidikan telah mulai nampak. Dapat dicatat disini Akademi Wiraswasta Dewantara yang dibuka oleh pengusaha Probosutejo dan kemudian bergabung ke dalam Universitas Mercubuana. Demikian pula Universitas Sahid Jaya yang dimiliki oleh Sahid Jaya Group.
Pada sisi lainnya, pendidikan tinggi telah dimanfaatkan sebagai lembaga usaha dagang. Oleh karena angka partisipasi perguruan tinggi yang masih rendah dan pembangunan yang berkembang semakin pesat, kemungkinan untuk menarik mahasiswa ke dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sedemikian cukup besar. Dari pengalaman terlihat bahwa usaha sedemikian memberikan hasil yang memuaskan meskipun dalam jangka waktu panjang. Dengan perkataan lain, masalah mutu pendidikan masih tetap merupakan masalah yang perlu terus ditingkatkan.
Beberapa Karakteristik Utama Era Globalisasi
Berikut ini akan diuraikan beberapa karakteristik utama globalisasi yang berkaitan dengan pendidikan, atau dengan perkataan lain yang merupakan peluang dan tantangan bagi pendidikan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, globalisasi menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat dan individu anggota masyarakat. Globalisasi menyangkut kesadaran baru mengenai dunia sebagai satu kesatuan. Interaksi dan saling tergantungan yang semakin besar dalam era baru perlu dijawab dengan tepat. Kurikulum pendidikan dan proses belajar-mengajar seyogianya mampu mengisi peluang ini serta menjawab tantangan yang ditimbulkannya.
Mengutip John P. Kotter (1995) dalam bukunya “The New Rules”, rule nomor 2 berbunyi: “The globalization of markets and competition is creating enormous change. The new rule is: to succeed, one must capitalize on the opportunities available in the faster-moving and more competitive business environment while avoiding the many hazards inherent in such an environment”. Dengan demikian, tamatan pendidikan tinggi seyogyanya diperlengkapi agar mampu memanfaatkan peluang-peluang baru yang tersedia dalam era yang baru tersebut; peluang-peluang mana berubah dan bergerak sangat cepat, demikian pula dengan tantangan-tantangan yang ditimbulkannya. Dan hal ini diungkapkan oleh Kotter dalam rule nomor. 7-nya yang berbunyi: “In the increasingly competitive and fast moving global business environment, winners reap big rewards while those who are unable or unwilling to compete can encounter huge problems. The new rule: you have got to be an able competiter. Effective competition requires many things, especially high standards and a strong desire to win”. Jadi, produk pendidikan tinggi seyogyanya mampu untuk berkompetisi yang salah satu syaratnya adalah memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Jadi kualitas pendidikan memegang peranan yang sangat sentral. Selanjutnya, Kotter mengatakan bahwa pendidikan seumur hidup (life long learning) merupakan tuntutan era baru tersebut. Sebagai rule nomor 8 ia mengatakan: “In a rapidly changing and competitive environment, formal K-12-university education is very important, but insufficient. Success at work demands huge growth after a terminal degree to learn new approaches offers many opportunities for growth for those willing to take some risks and to reflect honestly on their experiences”.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia, maka pelaksanaan tridharma perguruan tinggi seyogyanya dilaksanakan dengan benar dalam suasana yang kondusif untuk pengembangannya. Dharma yang pertama (pendidikan dan pengajaran) masih perlu terus dikembangkan pelaksanaannya, termasuk didalamnya adalah pemanfaatan satuan acara perkuliahan yang rinci serta variasi metode belajar mengajar yang dipergunakan. Salah satu persyaratan utama untuk ini adalah para tenaga pengajar harus tekun dan memiliki motivasi yang tinggi untuk secara terus-menerus menyempurnakan materi perkuliahannya. Dharma yang kedua, penelitian, masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Wajarlah jika para tenaga pengajar terus-menerus memperjuangkan pelaksanaan penelitian dalam pengembangan karirnya. Satu hal yang nampaknya sangat penting untuk dikembangkan adalah budaya penelitian. Seringkali penelitian di kalangan tenaga pengajar dilakukan hanya sebagai bagian dari satu pekerjaan proyek. Kondisi sedemikian tidaklah mendukung terciptanya budaya penelitian ini. Melaksanakan penelitian dalam suatu budaya penelitian yang benar akan membawa kepada penerapan manajemen penelitian yang baik. Dan pada gilirannya hasil penelitian tersebut akan mampu menjadi rekomendasi yang potensial dimanfaatkan oleh penentu kebijakan. Research University baru merupakan target bagi beberapa perguruan tinggi yang besar di Indonesia. Sedangkan, bagi iklim pendidikan tinggi di negara-negara industri, konsep ini telah dilampaui dan sekarang target yang dipandang sesuai dengan perkembangan yang ada ialah service university. Konsep ini menyangkut keterkaitan yang erat diantara lembaga pendidikan tinggi dengan dunia usaha. Dengan perkataan lain, perguruan tinggi dapat tumbuh dan berkembang didalam era globalisasi dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada didalam dunia bisnis.
Sehubungan dengan itu, perlu disadari bahwa tamatan perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya cukup memiliki pengetahuan kognitif yang tinggi, akan tetapi perlu dilengkapi dengan sikap dan perilaku inovatif. Terdapat kecenderungan bahwa hal-hal yang bersifat konvensional dan tradisional tidak mendapat tempat lagi didalam era globalisasi. Teknologi membuat keterampilan dan pengetahuan sebagai satu-satunya sumber keuntungan strategis yang berkelanjutan.***
Sumber Kutipan:
Henuk, Y.L. 2013. I am a Writer and Leader from Undana. Undana Press, Kupang, halaman: [A: 328 - 332]& [B: 332 – 343].
*) Guru Besar di Universitas Nusa Cendana (Undana) - Kupang, NTT; Salah satu kandidat sebagai "Pembantu Presiden" di Kabinet Trisaksi Jokowi - JK (2014 - 2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H