Probo Pribadi SM
Magister Hukum Universitas Simalungun, Pematangsiantar, Sumut, Indonesia Advokat Peradi SAI Siantar Simalungun probopribadi@gmail.com
AbstrakÂ
Stand-up comedy di Indonesia telah berkembang menjadi platform ekspresi kreatif dan kritik sosial yang signifikan, terutama setelah tahun 2011. Melalui humor, komika menyampaikan pandangan terhadap isu-isu sosial, politik, dan budaya yang relevan dengan masyarakat. Fenomena ini menciptakan ruang untuk diskusi terbuka tentang permasalahan sosial yang sering kali tabu atau sensitif. Namun, meskipun kebebasan berekspresi dijamin dalam UUD 1945, stand-up comedy tetap menghadapi tantangan terkait pembatasan hukum, seperti yang tercermin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang ITE, dan norma sosial yang berlaku. Artikel ini mengkaji peran stand-up comedy sebagai media kritik sosial serta batasan hukum yang mengatur kebebasan berekspresi dalam dunia hiburan. Dengan menggunakan teori komunikasi dialogis, penelitian ini menunjukkan bagaimana humor dalam stand-up comedy dapat memfasilitasi dialog kritis antara komika dan audiens, mendorong perubahan sosial yang konstruktif. Meskipun demikian, komika harus tetap memperhatikan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial untuk menghindari pelanggaran hukum dan dampak negatif terhadap masyarakat.
Kata kunci:Â Stand-up comedy, kebebasan berekspresi, kritik sosial
AbstractÂ
Stand-up comedy in Indonesia has developed into a significant platform of creative expression and social criticism, especially after 2011. Through humour, comics express their views on social, political and cultural issues relevant to society. This phenomenon creates a space foropen discussion on social issues that are often taboo or sensitive. However, although freedom of expression is guaranteed in the 1945 Constitution, stand-up comedy still faces challenges related to legal restrictions, as reflected in the Criminal Code (KUHP), ITE Law, and prevailing social norms. This article examines the role of stand-up comedy as a medium for social criticism and the legal restrictions that govern freedom of expression in entertainment. Using dialogical communication theory, this study shows how humour in stand-up comedy can facilitate critical dialogue between comics and audiences, encouraging constructive social change. Nonetheless, comics must still pay attention to the balance between freedom of expression and social responsibility to avoid breaking the law and negatively impacting society.Â
Keywords: Stand-up comedy, freedom of expression, social criticism
PendahuluanÂ
Stand-up comedy telah menjadi fenomena budaya populer yang signifikan di Indonesia selama satu dekade terakhir. Seni pertunjukan ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai platform untuk menyuarakan kritik sosial. Melalui humor, para komedian dapat mengekspresikan pandangan terhadap berbagai isu kontemporer. Perkembangan ini menunjukkan transformasi cara masyarakat Indonesia menyampaikan aspirasi dengan cara yang kreatif dan kritis.1
Fenomena stand-up comedy di Indonesia mulai mendapatkan perhatian besar sejak tahun 2011, ketika kompetisi stand-up comedy ditayangkan di televisi nasional. Sejak itu, stand-up comedy berkembang pesat, tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga merambah ke ranah lain. Media ini sering dimanfaatkan untuk aktivisme sosial dan politik oleh para komika. Mereka mengangkat isu-isu seperti ketimpangan sosial, korupsi, diskriminasi, dan berbagai permasalahan sosial lainnya.2
Popularitas dan pengaruh stand-up comedy terus meningkat, tetapi diiringi oleh berbagai tantangan. Salah satu isu yang muncul adalah perdebatan tentang batas-batas kebebasan berekspresi dalam humor. Beberapa kasus kontroversial yang melibatkan komika memicu diskusi serius terkait tanggung jawab sosial. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang peran hukum dalam mengatur sekaligus melindungi kebebasan berkeskpresi dan tanggung jawab tersebut.3
Perspektif hukum sangat relevan dalam membahas kebebasan berekspresi di Indonesia. Kebebasan ini dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, namun dibatasi oleh UU ITE dan norma-norma sosial. Regulasi tersebut menciptakan tantangan bagi pelaku stand-up comedy dalam menyeimbangkan kreativitas dengan sensitivitas sosial. Para komika harus cermat menjaga ekspresi mereka agar tetap sesuai dengan batasan hukum dan nilai-nilai masyarakat. Artikel ini akan membahas mengenai peran stand-up comedy dalam konteks ekspresi dan kritik sosial di Indonesia, serta bagaimana perspektif hukum melihat kebebasan berpendapat dan batasannya dalam praktik stand-up comedy. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi dapat terjaga tanpa mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak individu dan norma-norma sosial.
Sejarah Singkat Stand Up Comedy di Indonesia
Stand Up Comedy di Indonesia berkembang pesat sejak era 2000-an. Meski begitu, bentuk komedi tunggal sebenarnya sudah ada sejak 1980-an melalui lawak tunggal yang dipopulerkan almarhum Taufik Savalas. Format modern Stand Up Comedy mulai dikenal luas setelah Ramon Papana mendirikan Comedy Cafe pada 2004. Comedy Cafe menjadi salah satu tonggak penting dalam perkembangan Stand Up Comedy di Indonesia.Â
Momentum kebangkitan Stand Up Comedy di Indonesia semakin menguat pada tahun
2011. Saat itu, Metro TV mulai menayangkan acara Stand Up Comedy Show. Tak lama kemudian, Kompas TV meluncurkan kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (SUCI). Program-program tersebut melahirkan komika berbakat seperti Raditya Dika, Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, dan Ryan Adriandhy yang menjadi pionir perkembangan Stand Up Comedy di Indonesia.4Â
Stand Up Comedy Indonesia memiliki keunikan dengan mengadaptasi format komedi
Barat yang dipadukan nuansa lokal. Para komika sering membahas isu sosial, politik, budaya, hingga kehidupan sehari-hari yang relevan dengan masyarakat. Pendekatan ini menjadikan Stand Up Comedy sebagai medium kritik sosial yang efektif. Selain itu, format ini juga mampu menghibur sekaligus memberikan wawasan kepada penonton.5Â
Perkembangan Stand Up Comedy di Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai
komunitas di kota-kota besar. Komunitas-komunitas ini dikenal dengan sebutan "Stand Up Indo" diikuti nama kota masing-masing. Mereka menjadi wadah bagi para comic pemula untuk berlatih dan mengembangkan materi melalui acara open mic reguler. Sistem pembinaan ini terbukti efektif melahirkan generasi baru komika berbakat.6Â
Era digital dan media sosial telah membuka peluang baru bagi perkembangan Stand Up Comedy Indonesia, dengan platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok sebagai sarana utama untuk berbagi konten. Para komika kini dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan membangun basis penggemar secara langsung melalui konten-konten yang mereka unggah. Fenomena ini juga memunculkan format-format baru dalam dunia stand up comedy, seperti roast battle online yang semakin populer. Selain itu, stand up comedy mini yang viral di media sosial semakin menarik perhatian dan memperkaya lanskap hiburan di Indonesia.7Â
Pandemi COVID-19 memberikan dampak besar bagi industri hiburan, termasuk Stand Up Comedy di Indonesia. Meskipun pertunjukan langsung terhenti, para komika kreatif beradaptasi dengan mengembangkan format virtual show dan konten digital. Langkah ini memungkinkan mereka untuk tetap terhubung dengan audiens dan mempertahankan eksistensinya. Adaptasi tersebut juga mencerminkan ketahanan dan inovasi komunitas Stand Up Comedy dalam menghadapi tantangan yang tidak terduga.8
Kebebasan Berpendapat dan Ekspresi dalam Konstitusi di Indonesia
Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak fundamental yang dijamin dalam UUD 1945. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jaminan konstitusional ini merupakan landasan penting bagi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Hal ini mencerminkan komitmen negara dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Sejarah kebebasan berpendapat di Indonesia mencatat perjalanan panjang, khususnya setelah reformasi 1998. Sebelum reformasi, kebebasan ini dibatasi oleh pemerintah Orde Baru yang cenderung mengekang oposisi. Namun, setelah amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2002, konstitusi Indonesia semakin memperkuat jaminan hak asasi manusia. Hal ini tercermin dalam penambahan pasal-pasal yang menegaskan hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi.
Kebebasan berpendapat di Indonesia tidak bersifat absolut, karena diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Pembatasan tersebut bertujuan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan moral, agama, keamanan, dan ketertiban. Dengan demikian, kebebasan berpendapat harus dijalankan dengan memperhatikan keseimbangan dalam masyarakat demokratis.
Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting sebagai pengawal konstitusi, khususnya dalam menafsirkan kebebasan berpendapat dan pembatasannya. Dalam berbagai putusan, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pembatasan kebebasan berpendapat harus dilakukan secara proporsional. Pembatasan tersebut tidak boleh mereduksi esensi hak atas kebebasan berpendapat itu sendiri. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berperan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan pembatasan hak tersebut.
Praktik kebebasan berpendapat di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya dan nilai-nilai lokal. Konsep musyawarah mufakat, yang merupakan warisan budaya Indonesia, sering menjadi pertimbangan dalam mengimplementasikan kebebasan berpendapat. Dalam hal ini, harmoni sosial menjadi faktor penting yang harus dijaga. Penghormatan terhadap keberagaman juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan dalam praktik kebebasan berpendapat di masyarakat.Â
Perkembangan stand up comedy di Indonesia mencerminkan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Sejak booming pada era 2010-an, stand up comedy menjadi medium untuk menyampaikan kritik sosial dan pandangan politik melalui humor. Komika dapat mengangkat topik-topik mulai dari kehidupan sehari-hari hingga isu sensitif seperti politik, agama, dan ketimpangan sosial. Namun, kebebasan ini tetap harus memperhatikan batasan-batasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.Â
Para komika Indonesia sering menghadapi dilema antara kebebasan berekspresi dan potensi konflik dengan norma sosial atau hukum yang berlaku. Kasus-kasus kontroversial yang melibatkan komika seperti Joshua Suherman, Ge Pamungkas, dan Pandji Pragiwaksono menunjukkan bahwa meskipun konstitusi menjamin kebebasan berekspresi, implementasinya dalam dunia stand up comedy tetap menghadapi tantangan. Para komika harus menyeimbangkan kreativitas humor dengan sensitivitas publik, terutama dalam menghadapi isu SARA. Isu SARA tetap menjadi topik sensitif yang dapat memicu kontroversi dalam penampilan komika di Indonesia.Â
Pengembangan stand up comedy di Indonesia ke depan memerlukan interpretasi progresif terhadap jaminan konstitusional kebebasan berpendapat, dengan tetap mempertimbangkan konteks sosial-budaya masyarakat. Dialog konstruktif antara pelaku stand up comedy, masyarakat, dan pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk merumuskan batasan yang jelas namun tidak membatasi kreativitas. Hal ini penting karena stand up comedy telah menjadi medium efektif untuk edukasi publik dan kritik sosial melalui humor. Keberadaannya juga menjadi indikator kematangan demokrasi Indonesia dalam menghormati kebebasan berekspresi sesuai amanat konstitusi.
Stand-Up Comedy sebagai Kritik Sosial
Stand-up comedy kini menjadi media efektif untuk menyampaikan kritik sosial di era modern. Seni pertunjukan ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga wadah untuk mengangkat isu-isu sensitif di masyarakat. Para komika menggunakan humor sebagai alat untuk membongkar permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pendekatan ini membuat isu-isu serius lebih mudah diterima oleh khalayak luas.Â
Teori Komunikasi Dialogis yang dikembangkan oleh Mikhail Bakhtin menekankan pentingnya komunikasi yang melibatkan dua pihak atau lebih dalam suatu dialog terbuka. Menurut teori ini, komunikasi bukan hanya penyampaian pesan satu arah, tetapi juga proses interaktif yang memungkinkan terciptanya pemahaman bersama. Dalam konteks stand-up comedy sebagai kritik sosial, teori ini relevan untuk menjelaskan bagaimana komedi dapat memfasilitasi dialog yang kritis antara komika dan audiens. Dengan demikian, stand-up comedy menciptakan ruang untuk pertukaran ide yang memungkinkan audiens berpikir reflektif mengenai isu sosial yang diangkat.Â
Dialog dalam stand-up comedy terlihat dari bagaimana komika menggunakan humor untuk membuka percakapan mendalam tentang isu sosial. Mereka menantang norma sosial dan mengajak audiens untuk mempertanyakan status quo melalui sarkasme, ironi, dan satire. Hal ini membangkitkan kesadaran kritis dan menciptakan ruang diskusi yang lebih luas di luar panggung. Secara keseluruhan, stand-up comedy menjadi platform untuk membangun pemahaman bersama mengenai masalah sosial yang kompleks dan mendorong perubahan dalam cara pandang audiens terhadap dunia sosial.9Â
Stand-up comedy memiliki keunikan sebagai medium kritik sosial dengan mengemas pesan serius dalam bentuk yang menghibur. Humor berfungsi sebagai "pembungkus" yang memudahkan audiens menerima dan mencerna kritik. Pendekatan ini sesuai dengan konsep "sugar-coating the pill," yaitu menyampaikan pesan sulit dengan cara yang lebih ringan. Para komika memanfaatkan teknik seperti satir, ironi, dan sarkasme untuk mengkritisi fenomena sosial tanpa terkesan menggurui. Stand-up comedy efektif sebagai media kritik sosial karena sifat pertunjukannya yang langsung (live) dan interaktif. Komika dapat menyesuaikan materi berdasarkan respons audiens, menciptakan pengalaman yang personal dan autentik. Penggunaan pengalaman pribadi sebagai bahan materi membuat kritik terasa relevan dan mudah dihubungkan oleh penonton. Hal ini menjadikan stand-up comedy lebih unik dibandingkan bentuk kritik sosial lainnya.
Efektivitas stand-up comedy sebagai media kritik sosial bergantung pada kemampuan komika untuk berinovasi dan beradaptasi dengan dinamika sosial. Mereka perlu mengembangkan materi yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan perspektif baru bagi audiens. Hal ini memungkinkan stand-up comedy berkontribusi dalam membentuk diskursus publik yang relevan. Dengan cara tersebut, stand-up comedy dapat mendorong transformasi sosial yang konstruktif.
Batasan Hukum terhadap Stand-Up Comedy di IndonesiaÂ
Stand up comedy sebagai bentuk seni pertunjukan telah berkembang pesat di Indonesia sejak awal 2010-an. Dalam konteks hukum, aktivitas ini dilindungi oleh kebebasan berekspresi yang diatur dalam Pasal 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun demikian, stand up comedy tetap menghadapi batasan hukum terkait penghormatan terhadap norma kesusilaan dan perlindungan terhadap kelompok tertentu. Oleh karena itu, meskipun kebebasan berekspresi dijamin, komedian tetap harus memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.Â
Batasan hukum stand up comedy di Indonesia diatur dalam beberapa instrumen hukum utama. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan dasar hukum terkait penghinaan, pencemaran nama baik, dan penghinaan terhadap golongan atau SARA. Pasalpasal yang relevan, seperti Pasal 310-321 mengenai penghinaan, Pasal 310 tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 156-157 terkait SARA, memberikan kerangka hukum yang harus diperhatikan oleh komika. Oleh karena itu, setiap komika wajib memastikan materi yang disampaikan tidak melanggar ketentuan hukum tersebut.Â
Perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah praktik stand up comedy, menjadikannya tidak hanya terbatas pada panggung fisik, tetapi juga tersebar di platform digital. Dalam konteks ini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi relevan sebagai batasan tambahan. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengatur larangan penyebaran konten yang mengandung penghinaan, pencemaran nama baik, atau ujaran kebencian berbasis SARA di media elektronik. Oleh karena itu, komika juga harus memperhatikan aturan ini dalam menyampaikan materi di platform digital.Â
Perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi hal penting dalam industri stand-up comedy. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, materi original yang diciptakan oleh komika dilindungi hukum. Ini termasuk jokes, bit, premise, serta elemen kreatif lainnya yang merupakan hasil karya intelektual seorang komika. Dengan adanya perlindungan ini, hak cipta memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap karya kreatif dalam dunia hiburan.
Konsekuensi hukum atas pelanggaran batasan dalam stand up comedy dapat bersifat pidana maupun perdata. Secara pidana, sanksi dapat berupa hukuman penjara atau denda. Sedangkan secara perdata, pelanggaran dapat mengarah pada gugatan ganti rugi dan kewajiban permintaan maaf publik. Beberapa kasus yang telah terjadi menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia memandang serius pelanggaran dalam konteks stand up comedy.Â
Untuk meminimalisir risiko hukum, komika dan penyelenggara pertunjukan perlu melakukan riset mendalam sebelum membuat materi. Dokumentasi originalitas konten juga sangat penting untuk menghindari klaim pelanggaran hak cipta. Selain itu, pemahaman konteks sosial-budaya dapat membantu mengurangi potensi masalah dengan audiens. Terakhir, konsultasi dengan ahli hukum entertainment dan pengelolaan risiko yang baik sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan karier dalam industri ini.Â
Sebagai kesimpulan, batasan hukum stand up comedy di Indonesia mencerminkan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan kepentingan publik. Kebebasan berekspresi dalam komedi harus tetap memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Pemahaman yang komprehensif terhadap aspek-aspek hukum ini sangat penting bagi keberlangsungan industri stand up comedy. Dengan demikian, keberlanjutan industri ini bergantung pada kesadaran dan kepatuhan terhadap regulasi yang ada.
Kesimpulan
Stand-up comedy di Indonesia telah berkembang menjadi platform penting berekspresi dan kritik sosial, sejalan dengan prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945. Sejak 2011, medium ini telah mengubah cara masyarakat menyampaikan aspirasi dan kritik sosial secara kreatif dan menghibur. Meski demikian, praktik stand-up comedy harus mematuhi batasan hukum yang berlaku, seperti KUHP, UU ITE, dan norma sosial. Dengan keseimbangan antara kreativitas, tanggung jawab sosial, dan kepatuhan hukum, stand-up comedy dapat mendorong perubahan sosial yang konstruktif sembari menghibur masyarakat.
SaranÂ
Berikut adalah saran yang dapat diberikan:
- Komika sebaiknya terus meningkatkan pemahaman mereka terhadap batasan hukum, khususnya terkait UU ITE dan norma sosial, untuk menghindari pelanggaran yang merugikan.
- Penting bagi komunitas stand-up comedy untuk mengembangkan pedoman etika yang jelas, guna menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.
- Penyelenggara acara stand-up comedy harus menyediakan platform edukasi bagi komika tentang aspek hukum dan sensitivitas sosial untuk mencegah kontroversi.
- Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang dampak jangka panjang stand-up comedy terhadap persepsi sosial dan perubahan kebijakan di Indonesia, guna mendukung perkembangan industri ini secara berkelanjutan
Daftar Pustaka
Dika, R. (2014). Stand Up Comedy Indonesia: Dari Komunitas ke Industri. Media Indonesia.
Double, Oliver. (2014). Getting the Joke: The Inner Workings of Stand-up Comedy. Bloomsbury Publishing.
Munawwar Manshur, Fadlil. (2017). Teori Dialogisme Bakhtin Dan Konsep-Konsep Metodologisnya. Sasdaya: Gadjah Mada Journal Of Humanities. 1. 235. 10.22146/Sasdayajournal.27785
Papana, R. (2016). Stand up comedy Indonesia. Elex Media Komputindo. Putra, A. M. (2015). "Perkembangan Stand Up Comedy di Indonesia". Jurnal Komunikasi, 8(2)
Santoso, B. (2022). "Adaptasi Stand Up Comedy di Era Pandemi". Jurnal Seni Pertunjukan Digital, 2(1)
Setiawan, Ikwan. (2018). "Stand-up Comedy dan Resistensi terhadap Islamofobia di Indonesia." Jurnal Komunikasi Islam, 8(1)
Surya, A. (2020). "Media Sosial dan Transformasi Stand Up Comedy". Jurnal Digital Media, 3(2)
Wijaya, H. (2018). "Peran Komunitas dalam Pengembangan Stand Up Comedy". Jurnal Seni Pertunjukan, 5(1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H