Ada yang berbeda di teras depan kafe 1915 Arts Koffie Huis Salatiga, Kamis (22/04) sore lalu. Serombongan pegiat seni budaya dan lingkungan berpakaian serbaputih tengah bersiap memulai gelaran bertajuk Kendhitan Sri Pertiwi. Diprakarsai oleh tim Inisiatif Sri Pertiwi, kegiatan ini berlangsung untuk memaknai rasa syukur, serta welas asih kepada bumi. Bertepatan dengan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April tersebut, peserta Kendhitan Sri Pertiwi khusyuk memadu rasa dengan atmosfir kota Salatiga yang sejuk. Berkesempatan untuk berbincang santai dengan Mbak Anggi, salah satu tim sekaligus peserta Kendhitan Sri Pertiwi, mari ikuti perjalanan spiritual dibalik makna dalam dari Kendhitan Sri Pertiwi ini.
Kendhitan Sri Pertiwi, 'Menyentuh' Rasa dan Karsa dari Sang Pencipta
Berbicara menyoal kegiatan ini, banyak makna mendalam dan begitu intens yang menarik untuk diketahui bersama.  Mengambil tema "Laku Banyu" atau "Jalannya (mengalirnya) Air" di tahun 2022 ini, dimaksudkan agar bagaimana kita selaku umat manusia memahami dan mengikuti aliran air dan berupaya menyimpannya di dalam tanah untuk menumbuhkan kehidupan. Menurut penuturan tim Insiatif Sri Pertiwi, salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan menyimpan air dalam tanah dengan menanam pohon sehingga membentuk lanskap berpohon di berbagai lokasi yang memungkinkan. Gelaran dimulai dengan pembukaan dilanjutkan dengan lantunan langgam Jawa oleh Mas Athan, seorang dhalang muda dari Salatiga. Selanjutnya sebuah bejana antik dari masa dinasti Tang koleksi Om Tito dari 1915 Arts Koffie Huis yang melambangkan Sri Pertiwi, penghormatan agung kepada bumi sebagai sumber kehidupan dari Sang Pencipta diangkat dan di-kendhit atau digendong oleh seorang perempuan. Dalam bahasa Jawa, kendhitan, dari asal kata kendhit, bermakna selendang kecil untuk menggendong, biasa untuk menggendong bayi, anak, atau barang yang dirasa perlu ditempatkan pada sekitaran dada atau punggung yang nantinya akan aman. Sri Pertiwi dibawa menuju Kali Lanang, Kampung Kalitaman dipandu oleh Ibu Titik selaku cucuk lampah; atau 'penunjuk' jalan.
Menurut tim Inisiasi Sri Pertiwi, Kendhitan Sri Pertiwi adalah serangkaian kegiatan berupa proses laku spiritual dengan simbol-simbol tersebut yang mana nantinya simbol-simbol tersebut akan dibawa dan diletakkan pada sebuah lokasi sesuai dengan tema.Â
Kegiatan tahun ini mengambil lokasi di Kali Lanang, Kampung Kalitaman, sebuah mata air di pusat kota Salatiga sebagai sentra kegiatan sekaligus mengajak masyarakat kota Salatiga untuk memaknai air yang mengalir laksana urat nadi bumi, sekaligus merawat rasa dan karsa dari Sang Pencipta.
Merawat Air, Merawat Bumi
Selain gelaran teatrikal sarat makna diawal kegiatan, Kendhitan Sri Pertiwi juga mewadahi perupa Salatiga untuk unjuk kebolehan di Zero Point Kalitaman berupa pembuatan mural dan grafiti bernuansa lingkungan. Selain itu, terdapat pula pertunjukan musik dan diskusi ringan yang diikuti oleh masyarakat sekitar dengan mengindahkan protokol kesehatan mengingat saat ini pandemi masih mendera.
Lewat karya-karya yang tersampaikan pada rangkaian kegiatan Kendhitan Sri Pertiwi, pegiat ingin mengingatkan kita untuk selalu menjaga bumi dengan upaya-upaya sederhana yang dapat dilakukan sehari-hari, seperti menjaga kebersihan lingkungan, sebisa mungkin untuk mengurangi sampah rumah tangga, penggunaan plastik, dan juga memperhatikan kebersihan mata air seperti pada lokasi Kali Lanang, Kampung Kalitaman Salatiga karena sudah sejak zaman Kolonial, Kampung Kalitaman dan Pancuran didesain sebagai lokasi pengairan di kota Salatiga.
Menariknya, secara spontanitas dan melihat kondisi, panitia mengajak anak-anak yang begitu antusias dalam kegiatan ini untuk ikut serta secara langsung merawat bumi, yaitu dengan menanam bibit-bibit pohon di paralon-paralon kosong untuk kemudian dirawat.
Menganugerahkan Penghargaan Tertinggi kepada Pencipta
Seusai rangkaian kegiatan seni budaya yang berlangsung sejak Kamis hingga Jumat (23/04) di Kali Lanang, Kampung Kalitaman Salatiga, kegiatan dilanjutkan dengan penutupan. Kegiatan penutupan ini berupa kegiatan pengembalian Sri Pertiwi kembali menuju 1915 Arts Koffie Huis dimana hal ini berupa simbol pengembalian kepada rumah. Sri Pertiwi kembali dikendhit, kemudian di bawa kembali diiringi oleh cucuk lampah yang membuka sekaligus memandu perjalanan kembali.Â
Rombongan bertolak kembali ke 1915 Arts Koffie Huis, dilanjutkan dengan doa-doa penutup sebagai penghargaan tertinggi  kepada Sang Pencipta sekaligus ungkapan syukur kegiatan telah berjalan dengan lancar.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk merawat bumi, tempat kita tinggal, secara sederhana dan dapat dilakukan sehari-hari. Tidak harus menunggu hari Bumi, hal ini dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Sang Pencipta telah menitipkan salah satu ciptaan-Nya yang Agung, mengapa kita tidak merawatnya secara paripurna pula?
Melalui kegiatan ini, tim Inisiasi Sri Pertiwi ingin mengingatkan kita betapa pentingnya untuk merawat bumi, salah satunya dengan merawat air. Bagaimana dengan Anda? sudahkah merawat bumi hari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H