Baru beberapa hari lalu, suami dari penyanyi kenamaan Indonesia Bunga Citra Lestari (BCL) meninggal dunia. Ashraf Sinclair, meninggal dunia di usia 40 tahun dan meninggalkan seorang putra bernama Noah.Â
Padahal, beberapa jam sebelum Ashraf dinyatakan meninggal dunia, kita mungkin sedang menyaksikan BCL sedang menjuri di sebuah ajang pencarian bakat menyanyi yang disiarkan oleh sebuah stasiun swasta nasional.Â
Malam hari acara tersebut tayang, lantas paginya merebak kabar duka dari keluarga BCL. Sepanjang kabar tersebut beredar, kedukaan keluarga BCL menjadi sebuah berita besar dan seluruh masyarakat dipastikan telah melihat setiap inci prosesi, bahkan setiap sesi (bisa dikatakan demikian) informasi tersebut.Â
Mulai dari waktu, penyebab kematian, prosesi pemakaman, pengajian, keadaan BCL dan Noah, mungkin harta warisan dan peninggalan atau cerita sana-sini di balik meninggalnya Ashraf.
Seperti pula saat berita meninggalnya istri komedian Tanah Air, Sule, beberapa waktu yang lalu, bisa dikatakan, publik tahu segala hal tentang berita tersebut.Â
Kematian sudah menjadi fase mutlak pada kehidupan manusia dalam keyakinan apapun. Saya dan Anda, tentu (mungkin) pernah merasakan kedukaan.Â
Ditinggalkan oleh orang terkasih yang selama ini selalu ada untuk selama-lamanya, menjadi sebuah pesakitan tersendiri dan mungkin saja menorehkan sebuah luka dan trauma, Â meski hati ini sudah barang tentu dilatih untuk mengikhlaskan kepergian mendiang.
Tenggang Rasa Fisik dan Mental
Bagi masyarakat Indonesia yang 'katanya' masih menjunjung tinggi tenggang rasa, dalam hal kedukaan seyogianya kita mestinya dapat saling menguatkan walau tiada ikatan kekerabatan sekalipun.Â
Saya yakin, orang Indonesia pasti masih saling bantu untuk urusan kematian, seperti laiknya pada pernikahan dan hajatan lain.Â
Kita bisa membantu merapikan rumah untuk menyambut jenazah, seperti memasang tenda dan kursi bagi pelayat, mengurusi perlengkapan proses kubur, atau juga menyediakan konsumsi mulai dari air minum hingga menggantikan tuan rumah untuk memasak makanan berat.
Atau, hingga upacara keagamaan seperti pengajian, misa, dan lainnya, lantas bila orang Jawa bilang "lek-lek'an" atau tradisi melek-melek, tidak tidur hingga fajar di lokasi kedukaan untuk sekedar anjangsana atau memanjatkan doa, terlebih bila yang bersangkutan meninggal pada sore atau malam hari.Â
Intinya apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban dari tuan rumah yang berduka, hingga prosesi pemakaman berlangsung, dan pascakedukaan di mana bersih-bersih lingkungan termasuk melepas tenda dan merapikan kursi masih dilakukan secara bersama-sama.Â
Dalam kasus publik figur dalam pengantar di atas, saya tidak tahu pasti seperti apa. Namun yang jelas, keluarga pasti berkumpul untuk saling mendukung dan menguatkan.
Hal ini berlaku bagi kita yang berempati penuh pada keluarga yang ditinggalkan. Namun tidak bagi segelintir orang di luar sana yang mungkin menjadikan hal tersebut bahan obrolan. Dalam layatan, masih sering terdengar pertanyaan sana-sini yang ditutupi dengan imbuhan kalimat-kalimat manis yang seolah menguatkan.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat melayat salah seorang suami kolega. Beberapa pertanyaan menyelip dalam pikiran, namun saya tepis jauh-jauh. Saya menyalami beliau dan menyampaikan bela sungkawa. Itu saja.Â
Lantas beliau menatap saya dengan pandangan yang teduh meski beberapa bulir bening air mata beliau menetes, kemudian memeluk saya dan mengucapkan terima kasih. Dari terima kasih tersebut saya merasakan rasa sakit ditinggalkan-- dan cukup, beliau tidak perlu sakit terlalu dalam.
Hal lumrah yang sering saya lihat di lingkungan dan barangkali banyak yang tidak sadar:
Tetiba mendekati orang yang berduka, memegang bahu seolah merangkul dan berkata:
"aduh.. aku turut berduka. kenapa to, gimana kejadiannya? saya kok nggak tau....."
atau
Menyalami, lantas duduk di sebelah dan berkata:
"itu ceritanya gimana? dulu padahal sempat lho berobat X ya kan, kok gitu... tapi ya sudah, takdir, yang kuat, ya, Bu..!!"
Saya juga pernah mengalami kedukaan, dan sangat tidak nyaman. Pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda adalah salah satu pemicu ketidaknyamanan dalam kedukaan.Â
Anda sedang merasakan kesedihan mendalam, tetapi dicerca dengan dalih menghibur. Wahai Bapak Ibu, hentikanlah rasa penasaran Anda terhadap hal-hal yang tidak seharusnya Anda ketahui. Beri ruang privasi bagi keluarga yang ditinggalkan.
Lanjutan dari kelakuan masyarakat tersebut antara lain: kembali ke rombongan atau ke rumah dengan bahan obrolan baru: sebab-musabab meninggal, keanehan yang barangkali terjadi, kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti setelah mendiang berpulang (misal meninggalkan anak/istri/suami) dan serangkaian hal yang tidak ada gunanya bagi keluarga yang berduka.
Tenggang rasa untuk mental keluarga yang ditinggalkan perlu dilakukan untuk tidak memperparah suasana hati mereka. Kehangatan adalah hal yang dibutuhkan bagi keluarga yang berduka, selain bantuan materil.Â
Dari pada bergunjing sana-sini, alangkah baiknya untuk menguatkan dengan memanjatkan doa bagi yang berpulang, dan doa agar keluarga senantiasa diberi ketabahan dan keberkahan untuk melanjutkan hidup masing-masing setelah ditinggalkan. Pembicaraan positif tanpa menggurui juga menjadi alternatif yang baik saat melayat.
***
Tidak semua orang menginginkan kepergian, tetapi kepergian adalah satu hal yang tentu akan kita lewati. Selagi kita masih berdampingan di dunia ini, tidak ada salahnya bila kita berusaha menjadi manusia yang lebih baik.Â
Mari membudayakan kembali sopan santun dan berlatih untuk menjadi lebih bermartabat dari hal-hal kecil dan sepele.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H