Bulan Juni penuh dengan perayaan berbau meriah. Peristiwa jutaan manusia mudik menjadi salah satu kemeriahan. Jutaan rupiah dan tenaga tak sedikit rela dikeluarkan  untuk bersapa keluarga yang lama tak jumpa. Mereka kembali menemukan kerinduan, kehangataan dan kemesraan keluarga. Perjumpaan tersebut selalu dinanti dalam ritus mudik nan cukup melelahkan. Mudik kali ini juga menjadi pertaruhan pemerintah.
Pemerintah bertanggung jawab atas semua warga negara. Faktor keselamatan dan kelancaran harus menjamin pemudik menjalaninya dengan bahagia. Perjalanan untuk meraih kebahagiaan harus bermodal kebahagiaan pla. Tentu pembangunan insfrastruktur dan kesiapan petugas mudik tahun ini perlu ditandai khusus. Mereka betul -- betul melayani masyarakat dengan baik. Kalau selama mudik 3 tahun sebelumnya butuh 1-2 hari dari Jakarta ke kota -- kota di Jawa Tengah, saat ini hanya butuh beberapa jam saja. Kecepatan mudik tentu menghemat tenaga dan biaya. Mudik bulan Juni di tahun ini menjadi mudik terbaik yang pernah saya temukan.
Idulfitri juga terjadi di bulan Juni. Idulfitri adalah perayaan paling meriah umat islam usai puasa sebulan. Idulfitri diartikan hari baru. Hari dimana umat manusia berbaju baru dalam konotasi berbeda. Tak sekadar belanja baju baru untuk dipakai saat lebaran. Mereka memiliki jiwa -- jiwa baru untuk menghadapi kehidupan yang semakin kompetitif. Jiwa -- jiwa tersebut diharapkan bernuansa positif. Perubahan harus ke arah lebih baik. Tak ada lagi gesekan -- gesekan di masyarakat.
Idulfitri seyogyanya benar- benar dijadikan proses memaafkan diri dan memaafkan orang lain. Proses pemberian maaf terhadap orang lain tak gampang. Namun dalam beragama, memaafkan lebih diutamakan daripada meminta maaf. Orang -- orang yang bersedia memaafkan akan diberikan tempat mulia. Begitu kira-kira.
Ihwal perayaan idulfitri sejatinya menjadikan suasana menjadi sejuk. Ujaran -- ujaran kebencian di media sosial yang sering dijumpai tergerus dengan kalimat -- kalimat berbau memaafkan. Sungguh menyejukkan. Bulan Juni harus dimanfaatkan sema lapisan masyarakat dari politisi hingga warga liyan untuk memperbaiki diri. Tidak mengulangi kesalahan -- kesalahan sama bahkan merusak hubungan bermasyarakat.
Namun kita juga harus memperhatikan peristiwa lainnya. Peristiwa meriah selain idulfitri di bulan Juni yaitu Piala Dunia. Tepatanya di malam takbiran, jutaan manusia akan tertuju di layar televisi. Perhelatan empat tahunan ini selalu ditunggu penggila sepakbola. Â Nuansa lebaran berbau bola menjadi obrolan di rumah -- rumah. Orang -- orang tidak lupa sambil bersilaturahmi juga akan menanyakan negara jagoan di Piala Dunia. Lebaran lebih hangat karena ada obrolan bola. Obrolan -- obrolan perihal kesuksesan di tanah rantau tak mendominasi di saat lebaran.
Tentu saja ini menjadi ajang taruhan beberapa orang. Puasa dan lebaran seperti tidak bermakna bagi orang -- orang yang suka menaruh untung di sepak bola. Sebulan berpuasa dimana ajang kekuatan menahan segala hal yang merusak jiwa dan tubuh seperti kerakusan, keserakahan, dan ketamakan tak dimaknai secara mendalam. Puasa dianggap begitu saja. Tanpa makna, tanpa perubahan.
Lalu disamping bola, peristiwa akbar di negeri ini juga butuh perhatian. Pemilihan kepala daerah secara serentak berlangsung pada 26 Juni. Perebutan kekuasaan ada di bulan Syawal, bulan dimana peristiwa memaafkan satu sama lain sangat dianjurkan. Namun, politik tetaplah politik. Politik tak mengenal puasa. Politik juga tak mengenal lebaran. Politik tak mengenal hari baik seperti syawal. Pertarungan harus terus berjalan. Entah itu bulan baik atau bukan. Politik benar -- benar tak mengenal musim.
Proses perebutan kekuasan dalam politik kita saat ini masih bersifat menjatuhkan satu sama lain. Lawan -- lawan politik diserang habis-habisan, bahkan apapun bisa dilakukan untuk mendapatkan kemenangan. Lagi -- lagi, bulan puasa tak menghasilkan perubahan di dunia politik. Kita masih sering menjumpai ujaran kebencian di media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan sebagainya.
Kebermaknaan puasa sebagai bulan suci betul --betul bernasib sial. Mereka menempatkan kekuasaan di atas segala -- galanya. Kekuasaan mengalahkan kebaikan seperti kebijaksanaan, toleransi, persatuan hingga kasih sayang. Seharusnya puasa menjadikan iklim politik lebih sejuk, mereka berhak memilih dengan jujur. Tak ada paksaan bahkan tak diliputi ketakutan.
Namun jangan lupa di jalan -- jalan kalian akan menemui pemandangan menarik. Mendadak ada yang berbaju rapi, berpeci, berkerudung atau berbaju bola tak lupa dengan senyum terbaik . sambil menyatukan kedua tangan, mereka tak sekadar meminta maaf lahir batin, mereka menyisipkan pesan untuk memilihnya saat pilkada.
Juni seharusnya menjadi bulan kebahagaian, dimana peristiwa -- peristiwa di atas menjadi ajang kita untuk bersama -- sama mewujudkan kebahagiaan. Juni seharusnya menjadi bulan baru bagi bangsa Indonesia ke arah mulia. Tak ada lagi perpecahan akibat perbedaan politik. Tak ada lagi sumpah serapah di media sosial. Seharusnya kita menemukan cinta, kasih, bahagia di bulan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H