"Kita jadi bisa pacaran dan ciuman, karena siapa?
Kita jadi tahu masalah artis cerai, karena siapa?
Kita bisa dandan dibimbing teve
Kita jadi lebay dibimbing teve
Tevepemerintah membuat gelap gulita
Jasamu tiada...........!
(Gimana mau maju, nontonnya itu!)"
SEBUAH iklan parodi tentang TV Indonesia muncul di Youtube akhir tahun 2014 ini. Dalam video berdurasi 1 menit 20 detik tersebut, sejumlah anak-anak siswa SD menyanyikan lagu luhur "Jasamu Guru". Aslinya, lagu itu dinyanyikan untuk penghormatan guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun, oleh Remotivi-HIVOS, lagu itu diparodikan menjadi berjudul "TV, Jasamu Tiada.....". Sebuah kritik pedas lewat lagu terhadap sihir yang dibawa televisi kita. Selamat datang di dunia citra!.
Televisi memang media yang menawarkan pesona citra. Sebagai media informasi, televisi dipercaya sebagai media yang mampu menyebarluaskan informasi instan secara cepat. Dibanding media lain, televisilah jagonya meski banyak peran yang kemudian terusik.
Kekuatan televisi adalah dramatisasi dan sensasionalisasi. Realita yang diusungnya dianggap sebagai representasi dan realitas kehidupan secara menyeluruh. Pencitraan yang dilakukannya kadang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sebuah realitas buatan yang dikemas rapi sesuai keinginan pembuatnya (para produser, para pengelola TV).
Televisi lahir sebagai wujud teknologi baru yang menembus ruang dan waktu. Tak lagi sekadar sebentuk kotak sabun elektronik. Sihir elektroniknya telah mempengaruhi pola sikap dan perilaku manusia. Bahkan tanpa sungkan masuk hingga ke ranah privat sekali pun. Sudah bukan rahasia lagi hal-hal yang tadinya tabu di televisi menjadi diumbar.
Kemajuan keberadaan TV telah menyisakan dampak polemik yang berkepanjangan. Terjadi pertentangan tentang dampak televisi bagi anak-anak. Kuatnya penetrasi TV itulah yang menyebabkannya televisi dianggap sebagai media paling berpengaruh bagi anak. Riset yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia [YKAI] menyebutkan bahwa televisi ternyata medium yang banyak ditonton dengan alasan “paling menghibur”.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa televisi benar-benar merupakan media yang diidolakan oleh anak-anak. Artinya, televisi menjadi alternatif utama yang dipakai ”untuk menghibur anak-anak”. Meski pun interaksi yang dimunculkan bersifat pasif dan satu arah. Bahkan seringkali menghanyutkan dalam euphoria dan dramatisasi semu terhadap tayangannya.
Dampak Televisi pada Anak
Secara umum televisi berpengaruh terhadap sikap dan perilaku. Anak yang banyak menonton TV namun belum memiliki daya kritis yang tinggi, besar kemungkinan terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di televisi. Mereka berpikir bahwa semua orang mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.
Tayangan televisi juga merupakan media peniruan dan penanaman nilai negatif. Rasa ingin tahu anak yang tinggi, akan membuat mereka memiliki kecenderungan meniru dan mencoba melakukan apa yang mereka lihat. Beberapa tayangan anak-anak di televisi memberi pembenaran atas perilaku negatif. Seperti berkelahi, menipu, menampar, memaki, intrik, isu, perilaku seks menyimpang, atau mempertontonkan aib orang lain.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika, ternyata banyak sekali anak-anak menjadi pemirsa televisi untuk program-program televisi yang sebenarnya dikhususkan untuk orang yang sudah dewasa. Akibatnya, anak-anak Amerika (yang terjadi juga di televisi Indonesia) dihadapkan pada tayangan pembunuhan, kekerasan, penculikan, penyanderaan, amoral dan asusila, keruntuhan moral, budaya dan sosial.
Televisi dipandang melakukan penyeragaman manusia lewat sihir tayangan-tayangannya. Kecenderungan massif yang ditandai dengan makin mengglobalnya nilai-nilai hidup. Televisi dikhawatirkan akan melahirkan manusia-manusia yang terasing, manusia yang teralienasi dari budayanya, manusia yang ”raib dari dunia mereka sendiri”.
Wajah TV Kita
Ada hal besar yang dikhawatirkan banyak pihak. Tayangan televisi kita dianggap masih belum ramah pada anak-anak. Banyak sihir yang meninabobokkan.Sepertinya masyarakat pemirsa sendiri masa bodoh dengan sajian televisi yang ditontonnya. Mereka merasa televisi telah memberikan apa yang mereka cari selama ini.
Meski demikian, masyarakat saat ini mulai banyak yang keberatan akan sajian isi televisi. Televisi dianggapnya cenderung mengumbar pornografi, kekerasan dan bahkan mengajarkan perilaku negatif. Televisi membuat kekerasan dan kriminalitas semakin meningkat, seks bebas semakin tak terkendali, penggunaan drugs dan narkoba, serta pola konsumerisme yang ikut pula meningkat.
Salah satu tayangan yang disoroti banyak pihak adalah sinetron. Banyak sinetron yang nampaknya biasa-biasa saja namun tidak ramah untuk ditonton anak-anak.Sajian sinetron sering hanya menjual tangis, intrik, perselingkuban, ketidakharmonisan keluarga, dan tipu daya, sinetron yang terlalu mengekploitasi anak-anak dengan kekerasan. Dan juga reality show mengambil pola sinetron yang kadang tidak ada “real”-nya
Tayangan televisi juga menjadi media peniruan dan penanaman nilai negatif pada anak-anak. Beberapa tayangan anak-anak di televisi memberi pembenaran atas perilaku negatif. Seperti berkelahi, menipu, menampar, memaki, intrik, isu, atau mempertontonkan aib orang lain.
Masa Baligh Dini
Sejatinya, TV kita bukanlah sahabat baik bagi anak. Apalagi TV punya kemampuan menyihir anak dengan program-programnya.Tanpa Sadar, kita telah membiarkan anak-anak memasuki dunia orang dewasa. Terbukalah tabir dunia dewasa untuknya, tanpa rikuh, dan tanpa seleksi.
Televisi telah membuat anak kita matang secara seksual lebih cepat dari umurnya. Meski ada anak-anak punya jam menonton TV sendiri, namun banyak ditemukan anak-anak masih tetap menonton TV pada jam dewasa. Mau tidak mau anak-anak ikut menyaksikan hal-hal yang tidak pantas baginya. Rasa ingin tahu anak yang tinggi, akan membuat mereka memiliki kecenderungan meniru dan mencoba melakukan apa yang mereka lihat. Anak berpeluang menjadi pelaku (sekaligus korban) perilaku-perilaku seksual.
Akibat mengenalkan masalah seks secara mendadak dan terburu-buru kepada anak-anak dan remaja, masyarakat akan berhadapan dengan apa yang disebut sebagai "masa baligh dini". Mereka matang secara seksual lebih cepat dari seharusnya. Hal yang sekarang ini terjadi juga di masyarakat barat.
Di medium dewasa tersebut (televisi) anak-anak leluasa melihat sinetron, film, realityshow, news yang vulgar, yang menampilkan secara bebas hubungan pria-wanita, intrik keluarga, perselingkuhan, pengabsahan poligami/poliandri, kekerasan fisik, kata-kata kasar, mistikisme, dan pola hidup hedonisme.
Anak-anak terajarkan keluar dari dunianya sendiri yang indah, ceria, dan innocent. Mereka terbawa masuk ke dunia dewasa yang penuh intrik dan kepura-puraan. Lewat medium televisi yang (celakanya) bukan realitas yang sesungguhnya.
Kendati telah dilemahkan dengan regulasi, tayangan tentang seks (atau berita tentang seks) yang sebenarnya tayangan konvensional setelah mereka dewasa, masih sering ditemukan nyelonong ke jam anak-anak tanpa terkendali. Bagaimana pun juga, masalah seksual (pornografi) menjadi masalah yang seharusnya milik dunia dewasa. Namun, saat sekarang sudah nyata-nyata dibuka di televisi.
Celakanya, kita melepas dan membiarkan anak-anak kita sendirian mengarungi dunia tersebut. Anak-anak yang seharusnya masih berada dalam dunia imut masa kanak-kanak, tiba-tiba dihadapkan dengan tayangan asusila, pornografi atau problematika rumah tangga. Anak-anak telah memasuki dunia dewasa sebelum waktunya.
Perlindungan pada Anak
Kesadaran kritis terhadap media memang harus terus digalakkan. Orangtua perlu menyadari bahwa TV bukanlah satu-satunya pilihan hiburan. Bila salah dalam menyikapi, dia akan berpotensi luas merusak anak-anak. Apalagi belum banyak tayangan TV yang menyajikan tayangan yang benar-benar membangun mental anak.
Sejatinya, TV kita masih belum jadi sahabat baik bagi anak. Bagaimana pun juga, industri penyiaran kita perlu secara rinci memperhatikan aspek perlindungan pada anak.
Ada satu peran yang kadang terlupakan, yaitu peran sebagai orang tua dari anak-anak kita. Di dalamnya tertulis hak dan kewajiban yang terembankan, sesuai dengan hak-hak milik anak-anak kita (UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak) Tugas mulia sebagai orang tua mendampingi dan menjelaskan ke anak ketika menonton televisi. Setidaknya menyiapkan pola kemenontonan televisi sehat bagi keluarganya.
Tanpa terasa, kita telah membiarkan sebuah “pintu terbuka lebar”; pintu yang memasukkan apa saja ke dalam ruang bermain anak-anak; membiarkan apa saja ditonton oleh anak-anak; menjejali otak anak dengan sampah. Tugas kita semua, memfilter keluarga kita sendiri agar punya kemenontonan TV yang sehat.@ Priyo SM
*) Catatan akhir tahun televisi Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H