Air menyapa dengan lembut pagi,
mengalir di sela batu dan tepi,
namun hari ini suaranya tinggi,
menggulung sunyi, menelan tepi.
Langit muram, awan menumpahkan beban,
hujan berbisik, lalu berteriak garang,
sungai yang dulu penyejuk ladang,
kini menelan jalan, rumah, dan ladang.
Tangis anak tenggelam di arus,
jerit ibu terhempas derasnya arung,
pohon-pohon berderak lepas,
terbawa deras tanpa junjung.
Dimana tanah tempat berpijak?
Dimana rumah tempat berteduh?
Semua hilang dalam sekejap,
tersapu air yang tiada jenuh.
Murka air tak kenal belas,
mengingatkan kita yang lalai,
membuka mata yang terpejam,
tentang janji alam yang dikhianati.
Namun di balik lumpur dan duka,
ada tangan yang saling menggenggam,
ada cahaya dari doa dan lara,
bangkit lagi dari reruntuhan.
Bulan-bulan menunggu hujan,
petani menanam doa di ladang,
menggemburkan tanah dengan harapan,
agar hidup tetap bertahan.
Tapi langit mengirim terlalu banyak,
menumpahkan sungai yang lepas kendali,
merayap di pematang,
menyeret padi yang nyaris menguning.
Banjir datang tanpa salam,
membawa lumpur dan serpihan nestapa,
rumah tenggelam, jalan terputus,
sawah berubah lautan hampa.
Jerih payah hanyut sia-sia,
bulir yang diimpi musnah seketika,
raut petani penuh tanya,
dimana keadilan bagi yang bekerja?
Air surut, menyisakan luka,
tanah yang basah, jiwa yang kering,
dan di ujung hari yang panjang,
hanya sisa doa yang bertahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI