Di zaman dulu, pola asuh anak melibatkan cerita dongeng sebelum tidur, masak bareng di dapur, atau jalan-jalan sore sambil ngobrol santai. Kini, pola asuh telah berevolusi menjadi "anak siap, kamera siap". Selamat datang di era sharenting, di mana setiap senyum, tangisan, bahkan langkah pertama anak tak hanya menjadi momen keluarga tetapi juga "konten."
Para orang tua zaman sekarang mungkin bisa mendapatkan gelar "sutradara amatir rumah tangga". Anak-anak mereka adalah bintang utama, dengan rumah sebagai lokasi syuting, dan media sosial sebagai panggung yang tak pernah sepi penonton. Judulnya? "Kehidupan Anak Saya: The Series." Dari video pertama bayi tersenyum hingga tutorial anak belajar menyanyi, semuanya tersaji untuk konsumsi publik.
Tapi tunggu dulu, apakah semua ini benar-benar tentang kebahagiaan anak, atau sebenarnya tentang engagement?
Pola Asuh Zaman Digital: Demi Anak atau Demi Likes?
Dulu, orang tua bangga karena anaknya berprestasi di sekolah. Sekarang, kebanggaan itu diukur dari jumlah likes dan komentar, "Duh, lucunyaaa!" atau "Anaknya mirip ayah banget!". Tentu, ini membanggakan. Tapi pernahkah terpikir bahwa si kecil mungkin tidak tahu bahwa dirinya sudah menjadi selebritis kecil di antara teman-teman ibu dan ayahnya?
Dan jangan lupa, "konten parenting" ini sering kali dikemas dengan sedikit bumbu drama. Kalau ada tangisan atau ekspresi marah, tambah efek suara lucu, lalu unggah. Ini katanya biar relatable. Padahal, kalau si kecil tahu, mungkin dia akan berkata, "Relatable dari mana? Aku cuma nggak suka makan brokoli, kok jadi trending?"
Eksploitasi yang Tak Terlihat
Eksploitasi anak zaman dulu bentuknya kerja keras di ladang, eksploitasi zaman sekarang lebih halus---tapi sama beratnya. Dengan dalih dokumentasi, banyak orang tua sebenarnya memanfaatkan anak untuk mendongkrak popularitas. Bahkan, tak sedikit yang rela menjadikan anak mereka aset komersial.
"Ayo, bikin konten lagi, Nak. Kali ini promosi mainan ya." Anak itu mungkin belum paham, tetapi kamera terus merekam. Dan uang? Masuk ke rekening orang tua. Anak kecil itu? Ia tetap anak kecil, hanya saja kini dengan jadwal syuting padat dan wajahnya terpampang di berbagai platform tanpa persetujuan.
Komersialisasi Anak: Dari Momen ke Bisnis
Sharenting yang paling sukses adalah yang berujung pada kontrak endorsement. Si kecil jadi brand ambassador popok, susu formula, bahkan aplikasi edukasi. Bukan hal yang buruk, kecuali anak-anak ini tumbuh dengan kesadaran bahwa seluruh masa kecilnya telah diperdagangkan.
Ketika teman-temannya sibuk main di taman, dia harus tersenyum di depan kamera dengan tagline, "Minum susu ini bikin pintar, lho!" Padahal, dia cuma ingin minum cokelat panas dan tidur siang.
Refleksi: Anak atau Aset?
Orang tua yang ber-sharenting sering berdalih, "Ini semua demi anak." Tapi pertanyaan pentingnya: apakah anak memang meminta semua ini? Apakah benar senyuman yang diabadikan itu adalah murni kebahagiaan, atau senyuman karena dia diminta "ulang lagi, lebih lebar ya"?
Anak-anak bukanlah content creator yang bekerja tanpa kontrak. Mereka adalah manusia kecil yang berhak atas privasi, kebebasan, dan masa kecil yang normal. Jangan sampai ketika mereka dewasa, mereka melihat masa kecilnya di YouTube dengan rasa malu dan berkata, "Kenapa aku nggak pernah punya ruang untuk jadi diriku sendiri?"
Penutup: Konten yang Terbaik
Membesarkan anak di era digital memang tantangan besar. Kita ingin mendokumentasikan setiap momen indah, tetapi di saat yang sama, kita harus ingat bahwa anak adalah pribadi dengan hak yang harus dihormati.
Jadi, sebelum mengunggah video anak Anda menangis karena mainannya hilang, pikirkan lagi: ini momen keluarga atau konten viral? Jangan sampai anak-anak kita mengenang masa kecil mereka sebagai "musim pertama kehidupan saya yang disutradarai ayah dan ibu."
Karena, pada akhirnya, pola asuh terbaik bukanlah yang menghasilkan followers, tapi yang menghasilkan manusia bahagia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI