Sharenting, atau kebiasaan orang tua membagikan informasi, foto, dan video anak-anak mereka di media sosial, tidak hanya menimbulkan pertanyaan etis dan psikologis tetapi juga tantangan dari sisi hukum. Dalam konteks hukum positif, sharenting dapat melibatkan sejumlah aturan dan regulasi yang berhubungan dengan privasi, hak anak, dan keamanan digital. Berikut adalah tinjauan lebih mendalam dari perspektif hukum positif:
Hak privasi adalah bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh banyak sistem hukum di seluruh dunia. Di Indonesia, hak atas privasi diakui dalam Pasal 28G UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi dan keluarganya. Dalam konteks sharenting, anak-anak sering kali tidak diberi kesempatan untuk menyetujui konten yang diunggah tentang mereka. Hal ini berpotensi melanggar hak privasi mereka.
Bahkan, ketika anak masih kecil dan belum memahami konsekuensi dari eksposur digital, orang tua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hak anak atas privasi tetap terjaga.
2. Perlindungan Hak Anak
Di bawah Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, anak memiliki hak untuk dilindungi dari eksploitasi dan pelanggaran hak-haknya. Pasal 16 konvensi tersebut secara khusus melarang intervensi sewenang-wenang terhadap privasi anak. Di tingkat nasional, Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 juga menegaskan perlunya menjaga hak anak atas perlindungan dari dampak negatif teknologi.
Ketika orang tua membagikan konten anak secara publik, terutama untuk tujuan komersial, hal ini berpotensi dianggap sebagai bentuk eksploitasi yang melanggar hak anak.
3. Jejak Digital dan Perlindungan Data Pribadi
Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberikan kerangka hukum untuk melindungi data pribadi setiap individu, termasuk anak-anak. Informasi seperti nama lengkap, tanggal lahir, lokasi, atau aktivitas sehari-hari anak termasuk dalam kategori data pribadi yang sensitif. Ketika data ini diunggah tanpa pengamanan yang memadai, orang tua dapat dianggap lalai dalam melindungi data pribadi anak mereka.
Selain itu, UU PDP mengatur bahwa data pribadi anak harus diproses dengan perlindungan ekstra, mengingat mereka termasuk kategori rentan. Dengan demikian, sharenting yang tidak hati-hati dapat bertentangan dengan regulasi ini.