Namun, di tengah film, Susan melihat sosok yang tak asing duduk di barisan belakang. Ia menoleh sekilas dan... dadanya mendadak sesak.
Itu Johnny. Tapi ia tidak sendirian. Di sebelahnya, seorang gadis berambut pirang mengenakan gaun merah terang tertawa kecil sambil berbisik di telinga Johnny.
Susan memalingkan wajah cepat-cepat. Tangannya gemetar, popcorn di pangkuannya hampir tumpah. Ia tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Johnny, yang tadi pagi berkata manis bahwa ia sibuk, ternyata ada di sini—bersama orang lain.
Air mata menggenang di matanya, tapi Susan menahan diri agar tidak menangis di depan umum. Ia menarik napas panjang, mencoba fokus pada film. Tapi suara tawa gadis itu dan bayangan Johnny menggenggam tangan orang lain terus menghantui.
Ketika film berakhir, Susan langsung bangkit dan bergegas keluar. Ia tidak ingin Johnny melihatnya di sana. Di luar, udara dingin malam menerpa wajahnya yang basah oleh air mata.
Saat sampai di rumah, Susan berusaha menahan isaknya. Ibunya sedang duduk di ruang tamu, merajut sweater untuk musim dingin yang akan datang. Wanita paruh baya itu melirik putrinya.
"Susan? Kamu sudah pulang? Kok, matamu merah begitu? Kamu menangis?"
Susan cepat-cepat menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. "Ah, nggak, Bu. Cuma kelilipan di jalan tadi. Anginnya kencang banget malam ini."
Ibunya mengangguk pelan, tidak bertanya lebih lanjut. "Ya sudah, cepat cuci muka dan istirahat. Besok pagi kita ke pasar."
Susan tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. Ia berjalan ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Malam itu, Susan menatap cermin, melihat pantulan matanya yang sembab.