Dulu, potong rambut itu urusan dekat-dekat rumah. Di depan pasar ada tukang cukur yang duduk di bangku kecil, cermin sederhana dipaku di tembok bata, dan kipas angin yang seringkali hanya berputar melambat. Di tempat lain, di bawah pohon rindang, ada juga tukang cukur "DPR" alias Di Bawah Pohon Rindang.
Di situ, rambut bukan hanya dipotong, tapi cerita juga mengalir deras. Semua pelanggan, dari anak kecil yang rewel sampai bapak-bapak penuh uban, punya panggungnya sendiri. Tukang cukur DPR ini jago menghibur: dari obrolan politik sampai ramalan cuaca. Tapi ada satu momen yang tak terlupakan. Pernah suatu kali hujan deras turun tiba-tiba. Semua langsung bubar. Pelanggan yang sedang dicukur terpaksa ikut lari dengan rambut setengah jadi---bagian kiri sudah licin, tapi bagian kanan masih gondrong. Berteduh dan menunggu hujan reda, dan kegaitan cukur-mencukur baru dikanjutkan di bawah pohan tadi. Mungkin perlu di pasang terpal sekedar untuk menahan hujan dan terik matahari. Hari itu jadi lelucon se-kampung selama seminggu.
Namun, era tukang cukur sederhana ini perlahan mulai hilang, tergantikan oleh fenomena barber shop modern yang menjamur di setiap sudut kota. Barber shop bukan sekadar tempat potong rambut, tapi arena pencitraan. Ada sofa empuk di ruang tunggu, kopi gratis, AC dingin, dan lampu-lampu Instagrammable. Bahkan, ada yang menawarkan layanan premium seperti hair spa atau hot towel. atau bahkan pemijat yang cantik dengan baju kurang bahan.
Tapi benarkah rambut yang rapi itu hasil gunting atau hasil gengsi?
Di barber shop, kita bayar lebih dari sekadar potongan rambut. Kita bayar suasana, bayar pengalaman, dan tentu saja bayar tambahan gengsi. Kursi barber yang keren, pomade mahal, hingga aroma khas di ruangan itu membuat seolah-olah kita bukan sedang potong rambut, melainkan sedang syuting iklan.
Tapi buat apa semua itu kalau rambut tetap tumbuh lagi dalam seminggu?
Saya memilih jalan lain. Hair clipper jadi teman setia. Di rumah, tanpa antre dan tanpa basa-basi, rambut uban saya dipangkas pendek setiap minggu. Tidak ada sofa empuk, tidak ada kopi gratis, tapi juga tidak ada tambahan biaya untuk gaya hidup yang tak perlu. Istri dan anakku juga sering bantu cukur kepalaku.
Barber shop bisa terus tumbuh bak cendawan di musim hujan. Tapi saya tetap percaya pada filosofi tukang cukur DPR: rambut boleh tumbuh lagi, tapi hidup ini terlalu singkat untuk mengurusi gengsi.