Kenangan Pertama Naik Kereta Api
Saya mengenal kereta api sejak kecil. Rumah saya tak jauh dari rel panjang yang membentang antara Prambanan dan Klaten. Setiap pagi, saat berjalan menuju sekolah, saya selalu melihat kereta yang melintas. Bagi seorang anak kecil seperti saya, pemandangan itu adalah sesuatu yang mengagumkan---sebuah mesin besar yang melaju dengan kekuatan dan kecepatan, seolah membawa cerita dari tempat-tempat jauh. Dalam hati, saya sering membayangkan bagaimana rasanya naik kereta api. Di sekolah Pak Guru mengatakan bahwa suara kereta itu bunyinya seperti pesan "Ojo jajan ojo jajan" artinya pesan untuk tidak jajan dan rajin menabung. Â
Keinginan itu akhirnya terkabul pada tahun 1989. Itu adalah pertama kalinya saya naik kereta api, sebuah kereta ekonomi yang membawa saya dari Prambanan menuju Jakarta. Sebagai rakyat kecil, rasa bahagia karena akhirnya bisa naik kereta terasa luar biasa. Meskipun kondisi kereta jauh dari nyaman, perjalanan itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Kereta ekonomi pada masa itu benar-benar "merakyat." Pedagang asongan menjadi pemandangan yang lazim. Mereka naik di setiap stasiun, menjajakan dagangan mulai dari makanan, minuman, hingga mainan kecil. Beberapa di antaranya bahkan ikut naik hingga stasiun berikutnya, menciptakan suasana riuh di dalam kereta. Bagi saya, itu adalah kekacauan yang penuh warna.
Namun, perjalanan itu juga membawa pengalaman yang tidak sepenuhnya menyenangkan. Ketika saya mencoba memejamkan mata untuk tidur sejenak, tiba-tiba saya merasakan sesuatu yang panas mengenai tubuh saya. Rupanya, seorang pedagang kopi tak sengaja menumpahkan kopinya ke arah saya. Rasa perih bercampur kaget langsung menyadarkan saya dari kantuk. Meski begitu, saya tak marah. Dalam hati, saya hanya bisa tersenyum kecut, menganggap kejadian itu sebagai bagian dari "petualangan" saya.
Perjalanan pertama naik kereta itu memberi saya banyak pelajaran. Dari semangat pedagang yang tak kenal lelah, hiruk-pikuk penumpang yang beragam, hingga sensasi menjadi bagian dari "denyut kehidupan" di atas rel, semuanya begitu membekas. Meski sederhana dan penuh tantangan, momen itu menjadi titik awal kecintaan saya pada kereta api, yang hingga kini selalu membawa rasa nostalgia setiap kali saya mendengar deru roda di atas rel.
Perjalanan Kereta Api yang Semakin Membaik
Setelah pengalaman pertama naik kereta api ekonomi pada tahun 1989, kenangan itu terus melekat dalam ingatan saya. Namun, baru pada tahun 2012, saya kembali menumpang kereta api. Kali ini, rutenya dari Stasiun Gambir di Jakarta menuju Stasiun Tawang di Semarang. Rasanya seperti memasuki dunia yang sama sekali berbeda.
Kereta api yang saya naiki sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Jok tempat duduknya empuk dan nyaman, membuat perjalanan panjang terasa lebih menyenangkan. Tidak ada lagi pedagang yang hilir-mudik di lorong-lorong kereta, mengurangi keruwetan yang dulu sangat khas. Bahkan, jadwal keberangkatan dan kedatangan kini jauh lebih tepat waktu, memberikan rasa kepastian bagi penumpang.
Perjalanan itu benar-benar membuat saya terkesan. Saya bisa menikmati pemandangan indah sepanjang jalur utara Pulau Jawa tanpa gangguan, hanya ditemani deru roda kereta yang stabil dan tenang. Rasa kagum pun muncul ketika melihat bagaimana kereta api telah berkembang begitu pesat. Sistem pelayanannya semakin terorganisir, fasilitasnya semakin memadai, dan yang paling penting, penumpang seperti saya merasa lebih dihargai.