Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah pada tahun 1980-an, hiduplah seorang bocah bernama Suroto. Anak laki-laki berusia delapan tahun ini dikenal lincah dan ceria. Seperti anak kampung lainnya, sore harinya sering dihabiskan bermain di jalanan bersama teman-teman. Hari itu, Suroto begitu asyik bermain layangan hingga lupa waktu.
"To! Sudah Maghrib, ayo pulang!" teriak salah satu temannya, mengingatkan.
"Tunggu sebentar! Layanganku hampir putus, aku mau gulung dulu!" balas Suroto sambil terus menarik benangnya.
Waktu berlalu, teman-temannya satu per satu pamit pulang. Hingga akhirnya hanya Suroto yang masih bertahan di jalanan, tertantang untuk mengejar layangan putus miliknya yang tersangkut di pohon besar di ujung desa.
---
Di rumah, ibunya, Bu Warti, mulai gelisah.
"Pak, Suroto kok belum pulang, ya? Biasanya nggak sampai segini lamanya," ucapnya sambil mondar-mandir di ruang tamu.
"Tenang, Bu. Mungkin masih main. Biar aku cari dia," jawab Pak Sardi mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri mulai khawatir.
Pak Sardi keluar rumah, berjalan ke lapangan tempat anak-anak biasa bermain. Di sana gelap dan sepi. Ia bertanya kepada tetangga, tetapi tak ada seorang pun yang melihat Suroto.
"Pak Karyo, tadi lihat Suroto nggak?" tanya Pak Sardi kepada tetangga yang kebetulan sedang duduk di teras rumahnya.
"Tadi sore masih main di jalan. Tapi pas Maghrib, saya nggak lihat lagi. Coba cari di rumah temannya, Pak," saran Pak Karyo.