(Lampu panggung menyala redup. Di tengah panggung, Mbah Priyo yang berperan sebagai batang pohon, tubuhnya dicat menyerupai kulit kayu, dengan beberapa tali dan paku tertancap. Dia berbicara dengan nada pilu.)
Aku berdiri di sini...
Diam.
Sunyi.
Mencoba setia pada tugas yang diberikan alam.
Namun apa balasannya?
Kalian... kalian manusia,
menganggap tubuhku ini hanya kayu tak bernyawa.
(Dia menunjukkan tali yang melilit tubuhnya.)
Lihat tali ini.
Kalian mengikatku,
membebaniku dengan bendera, spanduk, dan papan iklan.
Aku, yang tak pernah meminta perhatian,
kini jadi tiang untuk pesan-pesan kalian yang kosong.
(Dia meraba tubuhnya, lalu menunjukkan paku yang menancap.)
Lalu paku ini...
Setiap kali kalian menancapkannya,
aku merasakan sakitnya,
meski aku tak berteriak.
Tapi, tidakkah kalian dengar suara itu?
Suara retak kecil di dalam tubuhku,
setiap kali paku merobek kulitku.
(Dia mengulurkan tangan, seolah memegang kulit yang terkupas.)
Dan ini...
Kupasanku.
Mengapa kalian kupas kulitku?
Untuk apa?
Kalian menyebutnya seni,
tapi apa yang seni dari melukai tubuh yang hanya ingin hidup?
(Nada suaranya berubah, lebih tegas, penuh rasa perih.)
Aku adalah Mahoni.
Aku tumbuh lambat, sabar, menunggu dekade demi dekade,
membangun kekuatanku agar bisa berdiri kokoh.
Tapi kalian datang,
dengan gergaji, paku, dan tambang,
menghancurkan semuanya dalam hitungan menit.
Apa aku bukan makhluk hidup?
Apa aku tak pantas dihormati?