Mohon tunggu...
Priyono Mardisukismo
Priyono Mardisukismo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Redaktur www.fixen.id

Seorang kakek yang telah pensiun dari hiruk pikuk dunia, banyak menulis fiksi di FIXEN (https://fixen.id) Bantu saya dengan komentar dan penilaian atas tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Monolog: Memuliakan Pohon

16 Januari 2025   05:00 Diperbarui: 15 Januari 2025   20:34 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon rindang - Koleksi Pribadi

(Suara angin sepoi-sepoi, Mbah Priyo berdiri di tengah kerumunan, memegang setangkai daun yang mulai menguning. Dia menatap ke kejauhan.)

Ah, pohon...
Kau berdiri di sana, tegak, tanpa keluh kesah.
Akarmu menembus tanah, menahan amarah bumi yang kadang berguncang.
Batangmu kokoh, meski waktu terus menggerogoti.
Daun-daunmu... ah, daun-daunmu!
Mereka tak pernah marah meski angin mencabut mereka satu per satu.

(Dia meraih segenggam tanah dari bawah kakinya, lalu menatapnya dengan saksama.)

Tanah ini.
Bukankah ia juga berhutang hidup padamu?
Kau, pohon, yang menjaga tanah ini dari amblas,
yang menyerap air dan mengembalikannya ke langit,
seolah berkata,
"Hidup adalah tentang memberi, tanpa pernah meminta."

Tapi apa yang kami lakukan?
Kami memotongmu, membakarmu, mengubahmu menjadi rumah, kertas,
atau sekadar abu yang terbang tanpa arti.
Kami lupa... lupa bahwa kau bukan hanya kayu.
Kau adalah penopang hidup.

(Dia mengangkat tangannya, menatap daun yang digenggamnya.)

Kata orang, pohon adalah saksi waktu.
Aku percaya.
Kau melihat kami tumbuh, berlari, dan jatuh.
Kau mendengar cerita-cerita kami,
dari bisikan kecil anak-anak, hingga teriakan perang yang memecah sunyi.
Kau diam saja, tak pernah menilai, hanya menerima.

(Dia melangkah maju, menatap kerumunan.)

Apa yang kita cari di dunia ini?
Kebesaran? Kemakmuran?
Lalu, untuk apa jika akhirnya hanya ada gurun tandus yang tersisa?
Pohon, kau tak pernah meminta kami memuliakanmu.
Tapi sudah sepatutnya kami sadar, bahwa hidup kami ini
berakar pada kesetiaanmu menjaga bumi.

Jadi, hari ini...
Aku tak datang untuk meminta maaf.
Maaf adalah kata yang terlalu kecil untuk semua yang telah kami lakukan.
Hari ini, aku hanya ingin berkata,
aku melihatmu.
Aku menghormatimu.
Dan aku, manusia ini,
akan memulai langkah untuk memuliakanmu.

(Dia menanam daun itu ke dalam tanah, seolah sedang menanam pohon baru.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun