Di wilayah Kecamatan Reban Kabupaten Batang Jawa Tengah, hampir semua lahan tegalan ditumbuhi pohon teh. Baik yang dijadikan pagar pembatas pekarangan maupun yang sengaja ditanam sebagai tanaman produktif. Pohon-pohon teh ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap dan budaya setempat. Di antara banyak cerita yang lahir dari wilayah ini, ada satu kisah tentang bagaimana pandemi COVID-19 mengubah cara pandang saya terhadap kebun teh yang saya miliki.
Saat pandemi COVID-19 melanda, saya memutuskan untuk stay action di kebun saya yang luasnya mendekati dua hektar. Di tengah masa-masa sulit, kebun ini menjadi tempat pelarian sekaligus ruang refleksi. Saya mulai memperhatikan pohon-pohon teh yang tumbuh di sana. Banyak di antaranya sudah berumur puluhan tahun, tetapi sayangnya kurang terawat. Cabang-cabangnya tumbuh liar, dedaunannya lebat namun tak teratur, dan beberapa pohon tampak lemah karena persaingan dengan gulma.
Saya memutuskan untuk mengambil langkah sederhana namun berarti: memangkas pohon-pohon teh tersebut. Saya membentuk dahan-dahan mereka agar memutar rimbun. Setiap potongan yang saya lakukan terasa seperti mengembalikan kehidupan pada pohon-pohon ini. Perlahan, saya menyadari bahwa tindakan ini bukan hanya soal mempercantik kebun atau meningkatkan produktivitas teh. Ini juga soal merawat warisan, menghormati alam, dan menyambung kembali hubungan dengan tanah kelahiran istri saya. Tanah ini hampir 40 tahun kami telantarkan, karena kami fokus hidup di Jakarta.
Teh cap Pager, begitu kami menyebut hasil dari pucuk-pucuk teh yang diambil dari pagar kebun. Filosofi di baliknya sederhana namun mendalam: teh ini melambangkan kearifan lokal, kebersahajaan, dan rasa syukur atas berkah yang diberikan alam. Teh cap Pager hanya memakai satu pucuk daun yang belum mekar. Pucuk daun teh yang belum mekar disebut peko. Peko merupakan bagian dari tanaman teh yang paling atas dan dipetik untuk membuat teh putih. Â Memanen peko harus dengan hati-hati dengan tangan kosong agar tidak rusak. Kemudian diproses dengan penjemuran dalam wadah steril dan kedap agar kotoran dan serangga tidak masuk. Saya membayangkan setiap tegukan teh ini membawa cerita dari tanah yang telah menyuburkannya.
Seiring waktu, kebun ini tidak hanya menjadi tempat kerja, tetapi juga ruang meditasi dan inspirasi. Saya belajar untuk lebih sabar dan peka. Setiap helai daun teh yang saya petik mengajarkan tentang siklus kehidupan, bahwa selalu ada waktu untuk bertumbuh, mekar, dan pada akhirnya, memberikan sesuatu yang berarti bagi dunia.
Kini, ketika orang-orang menikmati teh cap Pager, mereka mungkin hanya merasakan aroma dan rasanya. Namun bagi saya, teh ini membawa cerita tentang kerja keras, cinta terhadap alam, dan semangat untuk bangkit meskipun keadaan tidak selalu mudah. Saya berharap kisah ini menginspirasi orang lain untuk melihat nilai dalam hal-hal kecil di sekitar mereka, sebagaimana saya menemukan nilai dalam satu pucuk teh yang belum mekar.
Bagi yang berminat merasakan teh putih, monggo mampir!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H