Pengantar
Pemilu 2029 di Indonesia semakin mendekat, dan salah satu isu yang mulai memancing diskusi hangat adalah rencana penghapusan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden). Kebijakan ini, yang selama ini menjadi mekanisme penyaringan dalam sistem politik Indonesia, diusulkan untuk dihapus guna memberikan ruang yang lebih luas bagi kompetisi politik. Namun, apakah langkah ini benar-benar solusi terbaik, atau justru menjadi sumber kegaduhan besar?
Apa itu Presidential Threshold?
Presidential threshold adalah persyaratan ambang batas bagi partai politik atau koalisi partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejak diberlakukan, ketentuan ini mengatur bahwa hanya partai atau koalisi yang memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional yang berhak mengajukan pasangan calon. Tujuan awalnya adalah menyederhanakan jumlah kandidat, mendorong stabilitas politik, dan memastikan kompetisi yang sehat.
Namun, kritik terhadap kebijakan ini tidak sedikit. Banyak yang menilai ambang batas tersebut terlalu tinggi, sehingga membatasi pilihan rakyat dan memperkuat dominasi partai-partai besar. Wacana penghapusannya pun mengemuka dengan argumen demokrasi yang lebih inklusif.
Potensi Kegaduhan Akibat Penghapusan
Meskipun penghapusan ambang batas bisa membuka ruang demokrasi lebih luas, ada risiko signifikan yang perlu diwaspadai, terutama dalam konteks sosial-politik Indonesia:
1. Fragmentasi Politik
Tanpa ambang batas, kemungkinan akan ada lebih banyak pasangan calon yang maju dalam Pemilu 2029. Hal ini bisa menyebabkan suara rakyat terpecah dalam banyak kubu, mempersulit konsolidasi kekuatan politik pasca pemilu. Fragmentasi ini dapat menciptakan ketidakstabilan politik yang merugikan proses pemerintahan.
2. Budaya Politik yang Belum Dewasa