"Pertahankan kemerdekaannya sebulat-bulatnya. Sejengkal tanah pun tidak akan kita serahkan kepada lawan, tetapi akan kita pertahankan habis-habisan. Meskipun kita tidak gentar akan gertakan lawan itu, tetapi kita pun harus selalu siap sedia.". (Panglima Besar Jendral Soedirman)
Sebentuk Ungkapan bijak penuh keteladanan dari seorang pejuang sejati. Panglima Besar Jeendral Soedriman. Hal ini sangat relevan dengan keadaan geopolitik saat ini di kawasan Laut Cina Selatan. Betapa tidak, Cina yang sekarang menjelma menjadi kekuatan super power , baik dibidang ekonomi maupun politik dan persenjataan. Siap menghegemoni wilayah perairan Laut Cina Selatan. Maka negara indonesia tetap menatap kedaulatanya dengan tegar dan tanpa menyinggung perasaan negara negarakawasan.
Ketegangan di Laut China Selatan mendekati titik didih setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo pada bulan Juli menolak klaim China atas 90 persen Laut China Selatan sebagai tindakan yang sepenuhnya melanggar hukum. Pompeo lantas memberikan dukungan kepada penggugat lain seperti Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia dan Taiwan.(Baca juga: Pompeo kepada ASEAN: Jangan Biarkan Partai Komunis China Menginjak-injak Kita ) Dalam beberapa pekan terakhir, Beijing berusaha keras untuk melawan upaya Washington dan menopang hubungan dengan negara-negara utama di Asia dan Eropa di tengah kekhawatiran akan Perang Dingin baru antara dua ekonomi terbesar dunia itu
Wilayah perbatasan yang didasarkan pada batas fisik dinamis, seperti sungai, laut, dan sebagainya cenderung memberikan konsekuensi pada suatu negara. Konsekuensi kemudian muncul yaitu adanya sengketa antara dua belah pihak maupun beberapa pihak dengan klaim pada wilayah yang sama. Kasus-kasus tersebut bukan sebuah kasus yang baru saja terjadi, sebelumnya ada kasus sengketa laut yang melibatkan Cina dengan Filipina, dan sekarang kasus Laut Cina Selatan yang namanya diubah oleh Pemerintah Indonesia menjadi Laut Natuna Utara.
Penggantian nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara menimbulkan ketegangan, karena Indonesia mengklaim bahwa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia benar. Terkait hal ini didasarkan pada aturan Hukum Laut internasional yang mengatur tentang ZEE, dan Perairan Natuna memang masih bagian dari ZEE, sejauh 200 mil. Penggantian nama tersebut sebagai reaksi Pemerintah Indonesia dalam rangka menegakkan kedaulatan di wilayah perbatasan. Cina melakukan klaim atas Perairan Cina Selatan didasarkan pada nine dash line yang merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Cina ketika lepas dari pendudukan Jepang tahun 1947. Selepas pendudukan Jepang,
Pemerintah Kuomintang menerbitkan peta dengan klaim teritorial di zona yang jauh dari territorial Cina, yaitu dengan 11 garis putus-putus yang mencakup Perairan Laut Cina Selatan. Ketika itu tidak ada respon atas kebijakan Pemerintah Cina tersebut. Dalam perkembangannya, 11 garis putus-putus tersebut dikurangi menjadi 9 garis putus-putus atau yang dikenal sekarang dengan istilah nine dash line. Berdasarkan klaim itulah Cina bertindak sebagai negara yang berhak melakukan aktivitas di Perairan Cina Selatan (Natuna), seperti penangkapan ikan di wilayah Perairan Natuna. Hal tersebut membuat gusar Pemerintah Indonesia karena Perairan Natuna, sesua dengan aturan Hukum Laut Internasional termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sejauh 200 mil. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia memberikan kebijakan tegas dengan mengeluarkan peta dengan klaim bahwa Perairan Natuna adalah hak milik Indonesia yang ditunjukkan dengan penggantian nama Laut Cina Selatan dengan Laut Natuna Utara.
Pemerintah Cina menganggap tindakan yang dilakukan oleh Indonesia sangat tidak masuk akal, karena Laut Cina Selatan telah dikenal secara luas oleh masyarakat internasional, sehingga penggantian nama tersebut tidak memiliki arti apapun bagi kedua belah pihak. Poin yang dapat diambil adalah geopolitik jangka panjang Pemerintah Cina berhasil pada satu sisi. Disisi lain klaim yang dilakukan Pemerintah Cina sama sekali tidak memiliki dasar, karena klaim wilayah territorial perairan Cina jauh dari garis pantai Cina (base line). Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ditentukan sejauh 200 mil dari base line yang dimiliki oleh suatu negara. Kondisi tersebut tidak dimiliki oleh Cina karena klaim atas wilayah Perairan Cina Selatan (Natuna) hanya didasarkan pada historis.
Secara hukum internasional, kekuatan Indonesia terhadap klaim atas Perairan Cina Selatan (Natuna) lebih kuat dibandingkan klaim yang dilakukan oleh Cina. Penggantian nama perairan terkait, juga dinilai sebagai langkah tegas Pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan negara di wilayah perbatasan. Kondisi tersebut adalah kondisi positif bagi Indonesia karena Perairan Natuna kaya akan sumberdaya alam, maka wajar bila wilayah tersebut menjadi incaran beberapa negara untuk memanfaatkannya. Namun, berkaitan dengan upaya tersebut, satu pertanyaan yang akan muncul yaitu apakah klaim Indonesia atas wilayah Perairan Natuna mendapat dukungan dari ASEAN? Forum ASEAN pernah membahas terkait masalah sengketa ini, namun tidak dilakukan secara mendalam.
Secara umum, ASEAN sebagai pihak netral dalam penyelesaian kasus ini. Masalah ini bukan masalah yang sepele karena melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Cina menunjukkan bahwa alur politik Cina untuk membangun diri sebagai penguasa regional sangat terlihat, dengan menguasai jalur perdagangan dan sumberdaya di sekitar Perairan Cina Selatan (Natuna) maka Cina secara tidak langsung memiliki kuasa atas wilayah tersebut.
Secara umum, Indonesia sangat membutuhkan dukungan ASEAN dalam mewujudkan kedaulatannya atas Perairan Cina Selatan (Natuna). Dukungan solid ASEAN terhadap Indonesia akan turut membangun kawasan regional ASEAN yang kuat dan mampu menghadapi rongrongan dari negara adidaya lainnya. Jika Indonesia berjalan sendiri tanpa dukungan ASEAN, maka klaim yang dilakukan Indonesia tersebut justru menimbulkan kelemahan bagi Indonesia mapun ASEAN. Perlu melihat pandangan A.L. Conelly, bahwa strategi Pemerintah Indonesia dapat melemahkan negara-negara ASEAN di hadapan Cina, maksudnya negara-negara tetangga akan berpikiran untuk melakukan claiming atas wilayah perairan yang sama, dan ini akan meruntuhkan kekuatan ASEAN, karena negara ASEAN yang akan memiliki klaim antara lain Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Pandangan Conelly tersebut dapat terjadi jika forum ASEAN tidak solid, dan memang benar dapat melemahkan negara-negara ASEAN di hadapan Cina. Jika ditindaklanjuti dari pandangan Conelly tersebut maka akan terjadi konflik berlarut di wilayah Perairan Cina Selatan (Natuna) yang dapat mengundang pihak ketiga yaitu Negara adidaya untuk turut campur dalam proses sengketa dengan dalih membantu penyelesaian sengketa, namun pada akhirnya turut mengambil keuntungan dari sengketa tersebut.
Solusinya adalah penentuan batas perairan didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, dalam hal ini Pemerintah Indonesia dan Cina. Namun, keduanya tidak menggunakan dasar yang sama dalam melakukan klaim atas wilayah Perairan Cina Selatan (Natuna). Oleh sebab itu, adanya forum internasional dalam penyelesaian hal ini sangat dibutuhkan. Terlebih jika ada peraturan tambahan terkait klaim batas yang didasarkan pada batas zonasi dan historis, dengan kesepakatan-kesepakatan yang merujuk pada penyelesaian konflik.
Maka, setelah melalui perenungan, Indonesia ingin melihat kawasan Laut China Selatan (LCS) damai dan stabil, prinsip-prinsip internasional yang diakui secara internasional ditegakkan termasuk UNCLOS 1982. Hal itu diungkapkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam ASEAN Regional Forum (ARF). "UNCLOS 1982 adalah satu-satunya basis untuk penentuan maritime entitlements, kedaulatan dan hak berdaulat, juridiksi dan legitimite interest di perairan dan laut," tegas Retno, Menteri Luar negeri RI itu mengungkapkan secara khusus, ia merujuk kepada hasil Komunike Bersama Menteri Luar Negeri ASEAN ke-53 yang tegaskan bahwa UNCLOS 1982 sebagai kerangka hukum internasional untuk semua aktivitas di perairan dan laut. Selain itu The Code of Conduct in the South China Sea harus konsisten dengan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982.Dalam kesempatan itu, Retno juga menyampaikan pentingnya ARF untuk tetap dan selalu relevan untuk memperkokoh kerja sama antar negara untuk hadapi tantangan di kawasan yang semakin kompleks. .##. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H