Bisa dipahami jika dengan sederet fakta laporan menunjukkan tingginya angka stunting di Indonesia kemudian membuat Presiden Prabowo Subianto mencanangkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak Indonesia. Program Makan Bergizi Gratis bisa dimaknai sebagai salah satu wujud ikhtiyar untuk meningkatkan mutu asupan makanan bagi anak-anak kita. Meskipun juga perlu dicermati beberapa hal terkait program ini agar bisa berjalan dengan baik.
Berbagai Persoalan di Lapangan
Dalam benak saya sebagai seorang guru SD saat mendengar program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak sekolah maka terbayang setiap pagi menjelang siang ada petugas mengantarkan makanan ke sekolah untuk dibagi-bagikan pada siswa. Mirip seperti tradisi Jumat berkah di banyak masjid kita. Ternyata dari apa yang terlihat pada uji coba program MBG di beberapa sekolah, anak-anak mendapatkan makanan berikut tempat atau wadah makannya. Mirip seperti piring khusus yang kerap digunakan taruna Akademi Militer (Akmil) pada masa pendidikan. Terbuat dari bahan stainless steel dengan harga mahal tentunya. Bukan model nasi bungkus yang dibagikan.
Memang konon makanan yang dibagikan dalam program MBG ini sudah melewati pemeriksaan dari para ahli gizi di setiap dapur umumnya. Sehingga makanan tersebut sudah memenuhi standar gizi berimbang. Di era dulu disebut makanan empat sehat lima sempurna. Sekarang disebut dengan istilah makan bergizi seimbang. Terlihat ada itikad baik dari pemerintah untuk meningkatkan mutu gizi makanan pada anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
Tetapi menjadi agak dilematis karena bisa saja terjadi tidak lama setelah anak menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) ia pergi ke kantin sekolah untuk mengonsumsi makanan yang kurang sehat, seperti mengandung pewarna, pengawet, dan penyedap rasa. Setelah pulang sekolah ia juga bisa saja mengonsumsi makanan siap saji (junkfood) yang sekarang gerainya ada dimana-mana. Persoalan semacam ini umum ditemui. Dimana anak-anak lebih suka makan mie instant misalnya, atau makan makanan yang banyak mengandung micin. Kantin-kantin di sekolah juga banyak menyediakan model makanan semacam itu.
Bagaimana dengan kondisi ini semua? Apakah cita-cita untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui asupan nutrisi makanan bergizi bisa tercapai? Di luar negeri program ini berhasil karena ekosistem di sana mendukung. Di Indonesia berbeda ekosistem masyarakatnya dengan di luar negeri.
Kemudian apakah program makan bergizi gratis ini akan diberikan pada seluruh siswa atau kalangan siswa tertentu saja? Karena kalau hanya untuk siswa kalangan tertentu juga menjadi agak aneh. Bagaimana cara menentukan kriteria antara yang berhak dan tidak berhak menerima program ini? Lalu bagaimana juga jika dalam satu sekolah ternyata siswa berasal dari beragam kalangan ekonomi? Ada berlatar belakang mampu dan tidak mampu. Yang mampu ini dalam keseharian bisa mengonsumsi makanan bergizi bahkan mungkin lebih baik dari menu milik pemerintah. Apa juga akan tetap mendapat dan menyantap makanan bergizi gratis bersama siswa lainnya?
Persoalan lain yang menyertai adalah terkait masalah teknis di lapangan, seperti rasa yang kurang enak, makanan yang sudah basi, jam pengantaran yang molor, juga kasus beberapa siswa keracunan setelah menyantap makanan MBG ini. Itu terjadi dimana belum lama puluhan siswa SD keracunan akibat menyantap makanan yang mungkin sudah basi. Persoalan dan temuan semacam ini harus dicari jalan keluarnya. Sumber di sini.
Terakhir ingin saya sampaikan bahwa ketika ada temuan kasus di lapangan terkait program MBG ini jangan serta merta menyalahkan pendapat siswa atau pihak sekolah. Mereka adalah siswa yang perlu di dukung untuk berani berpendapat dan bersuara atas pikirannya sendiri. Atas masalah yang ia temui. Saya dan guru lain di sekolah juga berjuang keras menanamkan budaya berpikir kritis sebagai bagian dari paradigma pembelajaran abad 21. Akan berdampak negatif pada siswa di Indonesia jika enggan dan takut berpendapat serta mengucapkan masalah atas apa yang ia temui dalam hidupnya.
Semangat dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini sejatinya sangatlah baik. Meskipun tidak mudah dalam implementasinya. Ekosistem pendidikan dan sosial kemasyarakatan kita agaknya masih belum begitu mendukung untuk terlaksananya program ini secara berkelanjutan. Kerawanan masalah seperti celah untuk tindakan korupsi tentu bukan tidak mungkin terjadi pada pelaksanaan program ini. Apakah program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini hanya akan menjadi sebuah program kebijakan populis saja demi menarik simpati masyarakat? Atau kelak akan berjalan dengan baik sebagaimana banyak negara maju di luar negeri sana berhasil menjalankan kebijakan semacam ini. Mari kita tunggu dan kita lihat bersama. Tetap semangat dan salam blogger persahabatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI