Menonton video Youtube anak-anak SD di Jepang sedang makan bersama di sekolah dengan tertib dan teratur membuat saya membayangkan alangkah indahnya jika anak-anak SD di Indonesia bisa seperti itu. Menuntut ilmu di sekolah dengan sarana dan prasarana baik, di dukung dengan tenaga pengajar profesional, sehingga anak-anak mendapat layanan pendidikan bermutu. Di tambah mereka mendapatkan asupan makanan bergizi gratis dari sekolahnya. Sebatas membayangkan saja sungguh rasanya bahagia dan menyenangkan.
Petugas catering datang mengantar makanan dengan meja dorongnya. Masuk ke dalam sebuah ruangan di mana para siswa sudah duduk dengan berjajar dan rapi. Salah satu siswa tampak berdiri dan menyiapkan teman-temannya sambil mengatur jalannya antrian proses pengambilan piring dan makanan. Berjajar, rapi, tertib, dan tidak gaduh. Selesai makan beberapa siswa bertugas untuk mencuci dan membersihkan piring kotor yang telah dikumpulkan dengan rapi di pojok ruangan dekat wastafel. Mereka yang bertugas hari itu mencuci piring kotor sampai bersih, dilap hingga piring kering, dan ditata dengan rapi di salah satu meja sebelum nanti piring itu dimasukkan ke dalam sebuah lemari khusus dalam ruangan itu.
Itu gambaran suasana makan siang pada salah satu SD di Jepang. Negara maju dengan tingkat kedisiplinan level super. Tentu situasi dan kondisinya akan berbeda dengan Indonesia. Di Jepang dan di negara maju lainnya program makan bergizi di sekolah semacam itu rasa-rasanya sudah biasa dan sudah menjadi tradisi sejak lama. Tidak mengherankan karena lingkungan pendidikan di sana sangat mendukung untuk itu. Bisa saja kantin atau catering penyedia layanan makan bergizi tersebut merupakan bagian internal dari pihak sekolah itu sendiri. Bukan rekanan dari pihak ketiga.
Di Indonesia jangankan sekolah dengan fasilitas dapur umum, fasilitas pokok saja terkadang belum begitu baik kondisinya. Banyak sekolah-sekolah di pelosok Nusantara beroperasi dengan sarana prasarana seadanya. Ruang kelas seadanya, guru juga seadanya bahkan kurang, jaringan internet juga belum masuk. Bagaimana mungkin bisa memiliki fasilitas dapur umum untuk pengadaan makan bergizi bagi para siswanya? Mungkin ada sebagian sekolah di Indonesia dengan ketersediaan dapur umum tapi jumlahnya tidak banyak. Hanya sekolah-sekolah bonafid dengan biaya masuk puluhan juta dan SPP mahal setiap bulannya yang bisa mewujudkan itu semua. Ya ada harga ada rupa.
Sementara rata-rata sekolah apalagi pada tingkatan sekolah dasar di Indonesia rasanya belum bisa mencapai level itu. Masih jauh panggang dari api. Dan sungguh di luar jangkauannya. Maka ketika saya mendengar dan menyimak pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyampaikan program makan siang gratis untuk anak sekolah waktu musim kampanye pilpres kala itu, saya terus terang meragukannya. Karena janji manis dan angin surga sudah biasa diucapkan serta dihembuskan para politisi untuk menarik simpati publik demi mengeruk dukungan calon pemilih. Sudah menjadi tidak mengherankan jika di musim kampanye banyak calon pejabat publik jualan janji manis. Diobral murah seperti obral baju menjelang hari lebaran. Rame, riuh, dan kelihatan menyenangkan.
Tapi faktanya sekarang setelah pasangan Prabowo-Gibran terpilih dan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia, program makan siang gratis betul dilaksanakan. Meskipun terminologinya berubah menjadi Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini resmi dimulai pada tanggal 6 Januari 2025 dengan target awal pada bulan Januari sampai dengan Maret sekitar 3 juta penerima manfaat terdiri dari anak sekolah, balita, dan ibu hamil. Jumlah penerima manfaat juga akan terus ditingkatkan hingga pada bulan Agustus 2025 mencapai target 15 juta penerima. Lalu dengan segala hiruk pikuk yang ada akankah program ini kan terus berjalan? Mengingat begitu banyak tantangan dan tentunya menyedot biaya besar untuk realisasinya.
Dari Stunting sampai Perbaikan Gizi
Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi diadakannya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pertama, tingginya angka stunting di Indonesia. Kedua, isu terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menuju Indonesia emas 2045. Ketiga, mengurangi ketimpangan sosial.
Stunting merupakan keadaan dimana pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak terhambat akibat kurangnya asupan gizi terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting ditandai dengan tinggi badan anak lebih rendah dibandingkan dengan tinggi badan rata-rata anak seusianya. Di tahun 2022 Indonesia menjadi negara penyumbang stunting terbesar keempat di dunia setelah India, Nigeria, dan Pakistan. Sementara berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting nasional sebesar 21,5%, mengalami penurunan sekitar 0,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 22,3%. Artinya tingkat stunting pada anak-anak di Indonesia masih tinggi. Sumber di sini.
Ada sederet faktor yang bisa meningkatkan risiko stunting, yang paling sering adalah tidak terpenuhinya asupan gizi dalam jangka panjang. Selain itu stunting juga bisa disebabkan karena faktor infeksi seperti diare, pneumonia, dan penyakit lainnya, perawatan anak yang kurang baik, serta kondisi sanitasi yang buruk dan faktor genetik.