Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dalam Geliat Citra Sosial Media

15 Januari 2025   16:19 Diperbarui: 15 Januari 2025   16:19 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru dan sosial media | Sumber : Olahan pribadi

Pembaca masih ingat konten video "Surat Terbuka untuk Guru SD" yang beberapa waktu lalu sempat viral di tiktok? Video yang diunggah oleh akun @tidaksukasepi menuai prokontra. Pemilik akun bernama Wika Primi Rahayu diketahui adalah seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di SMAN 16 Luwu Utara Sulawesi Selatan. Dalam unggahannya Wika mengeluhkan tulisan dari para siswanya sulit untuk dibaca. Ia menunjukkan sekumpulan kertas berisi tulisan siswanya tidak bisa dibaca dan tidak berspasi. Ia menyampaikan kritikan pedas pada guru SD di seluruh Indonesia agar lebih tekun lagi dalam mengajari para siswanya untuk bisa menulis dengan rapi.

Video unggahan tersebut menuai polemik. Lantaran beberapa pihak khususnya para guru SD merasa tersinggung oleh karena gestur dan cara penyampaian Wika dirasa kurang etis. Bahasa tubuh yang terkesan memojokkan dan menghakimi membuat sebagian kalangan geram. Tidak sedikit guru bereaksi dengan membuat video balasan sekaligus jawaban dari surat terbuka itu. Belakangan diketahui Wika membuat video klarifikasi dan permintaan maaf. Ia akhirnya mendapat teguran dari atasannya di dinas pendidikan setempat.

Saya sebagai seorang guru SD bisa menangkap isi pesan dari video tersebut. Persoalannya bukan pada kritiknya tetapi pada cara penyampaiannya yang terlalu berlebihan. Jikapun memang siswa belum bisa menulis dengan baik di tingkat SMA merupakan kesalahan dari guru SD saya secara pribadi bisa menerima itu. Ada andil kesalahan dari guru SD tetapi menjadi tidak bijak jika semua kesalahan itu ditimpakan hanya pada guru SD semata. Karena pendidikan juga merupakan tanggung jawab bersama. Tentu orangtua dan guru di tingkat sekolah selanjutnya juga punya andil yang sama. Juga terdapat faktor-faktor lain sebagai penyebabnya. Faktor penyebab eksternal di luar guru itu sendiri.

Cara penyampaian kritik yang ugal-ugalan dibumbui dengan sensasi dan drama inilah akar masalahnya. Banyak konten kreator semacam itu semata bertujuan menarik viewers dan mendatangkan followers sebanyak-banyaknya. Sosial media menawarkan prestise tersendiri jika unggahan video ditonton banyak orang, masuk fyp, menjadi viral, dan akhirnya mendatangkan banyak cuan bagi pemiliknya. Secara tidak sadar kita sudah terjebak dalam jeratan kapitalisme yang dibalut pencitraan semu. Jika unggahan bermasalah ujungnya pasti ada klarifikasi dan permintaan maaf. Selalu berulang pola semacam itu.

Celakanya tidak sedikit guru terjebak dalam jeratan citra sosial media. Wika Primi Rahayu hanyalah salah satu contoh saja. Banyak juga guru membuat konten yang sejatinya minim esensi. Hanya dengan dalih sebagai hiburan atau sebagai sarana melepas kepenatan dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Tetapi jikalau kontrol sosial dan nilai moral etika tidak lagi menjadi pertimbangan sebagai tolak ukur sebuah perilaku, lalu akan kemana akhlak bangsa ini kedepan?

Sosial Media dan Citra Diri

Dikutip dari Wikipedia sosial media adalah pelantar digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berinteraksi atau membagikan konten berupa tulisan, foto, dan video. Sosial media menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial bagi setiap penggunanya. Sosial media juga merupakan sebuah sarana untuk bersosialisasi satu sama lain. Dilakukan secara daring yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Dewasa ini agaknya sosial media hampir digunakan oleh semua kalangan. Dari anak-anak hingga orang dewasa. Semua kalangan termasuk kalangan guru dan pendidik menjadi pengguna aktif sosial media. Adanya sosial media seperti banyak produk teknologi lainnya memiliki dua sisi : positif dan negatif. Ibarat pedang bermata dua, di satu sisi bisa untuk melindungi diri, tetapi jika tidak berhati-hati malah justru melukai diri. Artinya perlu kehati-hatian dan sikap bijak dalam penggunaan sosial media.

Apapun konten unggahan perlu dipikirkan secara masak terkait kemanfaatannya bagi diri sendiri dan orang lain. Sehingga menjadi sebuah konten edukatif dan mencerdaskan. Bukan semata mengejar viralitas dan mengumbar sensasi tetapi minim esensi. Selalu ada godaan-godaan untuk memancing perhatian publik dengan memproduksi konten sensasional. Sehingga tak jarang disertai gimmick-gimmick tertentu sebagai bumbunya. Orang kita memang lebih senang dengan konten heboh dan sensasional. Maka jangan heran jika konten-konten serius dan edukatif justru terkadang sepi penonton.

Dikutip dari www.rri.co.id, berdasarkan data dari databoks.katadata.co.id di tahun 2024 terdapat 5 (lima) platform sosial media terpopuler di Indonesia. Dari yang tertinggi Youtube : 139 juta pengguna (53,8% dari populasi), Instagram : 122 juta pengguna (47,3% dari populasi), Facebook : 118 juta pengguna (45,9% dari populasi), Whatsapp : 116 juta pengguna (45,2% dari populasi), Tiktok : 89 juta pengguna (34,7% dari populasi). Dengan frekuensi penggunaan rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 14 menit per hari untuk bersosial media. Sumber di sini.

Sosial media sudah menjadi bagian tak terlepaskan dari keseharian kita. Kalangan guru dan pendidik juga tidak ketinggalan mengisi ruang-ruang sosial media kita dengan berbagai macam konten yang dibuatnya. Bahkan dulu di era Mendikbud Nadiem Makarim para guru dan pendidik yang rajin ngonten ini mendapat tempat tersendiri. Tersematlah sebutan Guru Konten Kreator (GKK) pada mereka kalangan guru yang rajin membuat video konten tentang pembelajaran, berbagi praktik baik, video ice breaking dan semacamnya. Mendapat tempat istimewa dan diundang pula ke kantor Kemendikbud di Jakarta kala itu.

Para guru di daerah juga didorong bahkan dilatih untuk memproduksi konten seputar pembelajaran dan pendidikan. Berpijak pada asumsi salah satu dalil pendidikan milik Ki Hajar Dewantara : didiklah anak sesuai dengan kodrat zamannya. Sederhananya sekarang sudah zaman digital dan sosmed maka masuklah dunia pendidikan ke sana. Mengikuti perkembangan zaman. Bukan menjadi sebuah persoalan. Karena memang sudah menjadi hukum alam. Barangsiapa yang tidak bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri maka ia akan punah bersamaan dengan terjadinya proses seleksi alam.

Hanya perlu diingat penggunaan sosial media juga secara langsung berdampak pada pembentukan citra diri para penggunanya. Citra diri akan nampak pada konten yang mengisi sosial media penggunanya. Meninggalkan jejak-jejak digital yang sulit terhapus. Pada banyak kesempatan bersamaan dengan boomingnya aplikasi sosial media video pendek saya kerap melihat para guru asyik mendokumentasikan segala aktivitasnya. Tak jarang bersama dengan muridnya melakukan aktivitas ice breaking dengan gerakan jogad-joged menggunakan backsound viral. Diunggah di salah satu platform sosial media video pendek dan otomatis ditonton oleh banyak orang.

Kerap saya menghela nafas dan mengelus dada. Karena kembali lagi penggunaan sosial media perlu kontrol sosial berupa norma dan etika. Kedua nilai tersebut haruslah menjadi rem agar para guru dan kaum pendidik tidak kebablasan karena begitu asyiknya bersosial media sehingga lupa bahwa adab dan akhlak selaku kaum pendidik tetap harus dijaga.

Sebagian guru berpendapat bahwa bersosial media setidaknya bisa menjadi sarana untuk melepas lelah dan rileks sejenak dari padatnya tuntutan pekerjaan. Sehingga senda gurau menjadi hal wajar saja untuk diunggah. Untuk seru-seruan saja katanya. Lalu kalau keseruan itu kemudian menabrak nilai-nilai kepantasan dan moral etika sebagai seorang pendidik apakah ini tidak menjadi sebuah persoalan baru?

Perlunya Pengendalian Diri

Peribahasa lama mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Murid akan mencontoh apa yang dilakukan guru biasanya pada hal-hal buruk. Peribahasa ini memiliki makna yang sama dengan konsep "digugu lan ditiru" dalam filosofi bahasa Jawa. "Digugu" berarti setiap perkataan dan perbuatan guru harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan "ditiru" berarti setiap sikap dan perbuatan guru pantas untuk dijadikan tauladan bagi siswa.

Menilik peran sentral guru sebagai kaum pendidik maka isu terkait moral etika sungguh perlu dipegang teguh. Pembentukan karakter baik paling efektif adalah melalui keteladanan dan contoh nyata. Sebagai pribadi pendidik tentunya tidak akan lepas segala tingkah laku guru dari sorot perhatian murid serta masyarakatnya.

Maka diperlukan rasa pengendalian diri serta teguhnya pendirian dalam persoalan norma etika bersosial media. Terkadang saya sering bergurau dengan beberapa sahabat. Saya sampaikan jika Ki Hajar Dewantara hari ini masih hidup apakah beliau juga akan membuat konten jogad-joged bersama dengan para muridnya seperti yang dilakukan oleh sebagian guru sekarang ini?

Karena saya meyakini bahwa alangkah lebih baik jika para guru dan kaum pendidik membuat konten yang lebih bersifat edukatif. Video tentang inovasi metode mengajar, berbagi ide praktik baik tentang program unggulan di sekolahnya, bedah buku yang sudah ia baca, dan semacamnya. Jadi akan semakin banyak video inspiratif lahir dari para guru kreatif. Tidak menambah sampah digital yang memenuhi banyak ruang sosial media kita.

Kegenitan-kegenitan kita dalam bersosial media terkadang justru menjadi kontra produktif serta mengundang masalah. Kasus yang dialami Wika Primi Rahayu menjadi salah satu contoh nyata jika hanya mengejar sensasi maka berujung klarifikasi dan permintaan maaf. Gimmick yang tidak perlu justru akan mengaburkan esensi dari pesan kritik yang disampaikannya. Menjadi jejak digital dan akan diingat selamanya.

Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Jika tidak berhati-hati maka di kemudian hari bukan lagi murid kencing berlari. Tetapi murid mengencingi gurunya oleh karena kurangnya adab dan rasa hormat sang murid pada guru. Keteladanan itu harus dihadirkan dimanapun dan kapanpun. Apalagi bagi guru sebagai kaum pendidik. Ia memiliki tanggung jawab moral untuk membentuk karakter bangsanya menjadi beradab, unggul, dan mampu bersaing pada tataran global. Tetap semangat para guru Indonesia. Salam santun, salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun